Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Politik Identitas di 2024 Bisa Dikikis dengan 3 Paslon, Efektifkah?

Pangi menilai Pemilu 2024 sebaiknya diikuti setidaknya 3 pasangan calon. Efektifkah mencegah polarisasi politik?

Politik Identitas di 2024 Bisa Dikikis dengan 3 Paslon, Efektifkah?
Ilustrasi partai politik Indonesia. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Kampanye menolak politik identitas terus mengemuka jelang Pemilu 2024. Terbaru, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menegaskan, NU dilarang menjadi firqoh atau kelompok identitas. Ia pun menyinggung firqoh adalah hal yang diharamkan dalam Alquran.

“Kami menolak politik identitas apa pun. Apakah itu identitas etnik, ataupun identitas agama. Termasuk identitas. Tidak boleh ada politik identitas. Kami menolak itu,” kata pria yang karib disapa Gus Yahya dalam Launching Press Conference Religion Forum (R20) International Summit of Religious Leaders di The Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Gus Yahya mengatakan, pendekatan tanpa identitas adalah cara NU dalam menyelesaikan masalah. Ia pun mengingatkan agar tidak memicu permusuhan dengan kelompok muslim mana pun, termasuk wahabi yang disebut sebagai kelompok radikal.

“Ya sama Yahudi saja saya santai, bisa engage (melakukan kontak), ya kok sama sesama muslim tidak bisa," kata dia.

Menurut Gus Yahya, yang terpenting selama mereka bersedia hidup berdampingan dan bisa menerima platform negara yang kita hidupi bersama. “Terkait kelompok-kelompok radikal kita tidak mau engage mereka dengan perspektif permusuhan. Tidak. Ini cara untuk bisa hidup berdampingan dengan damai," kata dia.

Kampanye anti-politik identitas memang kerap disampaikan oleh para tokoh, termasuk Presiden Joko Widodo. Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2022, Jokowi juga menyinggung agar tidak ada lagi politik identitas dan politisasi agama dalam pemilu mendatang.

“Tahapan pemilu yang sedang dipersiapkan oleh KPU harus kita dukung sepenuhnya. Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa. Konsolidasi nasional harus diperkuat,” kata Jokowi kala itu.

Harus Lebih dari Dua Paslon

Analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai Pemilu 2024 sebaiknya diikuti oleh setidaknya 3 pasangan calon. Ia khawatir, Pemilu 2024 akan memicu polarisasi dan politik identitas bila hanya dua pasangan calon seperti yang terjadi pada 2014 dan 2019.

“Pada Pilpres 2024 kita sangat berharap lebih dari dua poros koalisi, sebab konsekuensi dari 2 poros koalisi membuat keterbelahan. Kita tentu saja sangat risih dengan pendapat politisi yang merasa tidak mempermasalahkan kalau kontestasi elektoral Pilpres 2024 nanti hanya diikuti 2 kandidat capres-cawapres, kembali head to head (bipolar) seperti yang pernah terjadi dalam dua kali pemilu sebelumnya ‘rematch pilpres’ kontestasi elektoral diikuti dua pasangan capres-cawapres,” kata Pangi.

Pangi menilai, pihak-pihak yang menyinggung bahwa pemilu dengan dua pasangan capres-cawapres akan berjalan aman adalah pihak yang tidak belajar dari fakta politik masa lalu. Ia mengingatkan bagaimana publik merasakan dan menyaksikan langsung dampak dari polarisasi isu dan politik identitas yang berujung pada keterbelahan publik pada 2019.

Ia pun mencontohkan kisah pemukulan terhadap Ade Armando yang dilakukan sekelompok orang karena aksi Ade saat pemilu lalu.

“Polarisasi isu, politik identitas telah menyebabkan kerusakan yang nyata merobek tenun kebangsaan pada Pilpres 2019,” kata Pangi.

Oleh karena itu, kata Pangi, kita sebagai bangsa yang kuat, tidak boleh ada lagi tempat atau ruang untuk membuka kotak pandora politik identitas dengan polarisasi isu yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

“Karena kerusakannya begitu nyata dan dampaknya terlalu besar, polarisasi dan politik identitas tidak boleh terulang kembali," kata Pangi.

Menurut Pangi, ada 3 upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah politik identitas dan keterbelahan publik dalam Pemilu 2024. Cara pertama yang disarankan Pangi adalah harus ada 3 pasang sehingga tidak ada kejadian dua kutub.

“Calon presiden minimal harus ada 3 pasang calon presiden, sehingga ada pemecah gelombang agar tidak terulang kembali kontestasi rematch Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan head to head (bipolar) bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden," tegas Pangi.

Kedua, kata Pangi, perlu penegakan hukum yang adil tanpa diskriminatif pada tim sukses maupun relawan. Ketiga, perlu ada konsensus dan komitmen bersama untuk tidak menggunakan narasi politik identitas dan isu SARA.

Ia pun mengatakan, permintaan pasangan calon lebih dari dua juga disampaikan publik. Berdasarkan data Survei Voxpol Center Research and Consulting pada Juli 2022, menunjukkan 40,6 persen preferensi masyarakat menginginkan Pilpres 2024 sebaiknya diikuti lebih dari dua pasang calon.

Dalam pertanyaan lanjutan mengenai alasan pilpres diikuti lebih dari 2 pasangan capres-cawapres, kata Pangi, sebesar 41,9 persen menjawab agar rakyat mendapatkan pilihan pemimpin alternatif, sebesar 41,1 persen agar tidak terjadi konflik sosial dan perpecahan, 9,2 persen agar memberi kesempatan kepada para pemimpin muda, 7,2 persen agar tidak terjadi eksploitasi politik identitas dan tidak tahu atau tidak jawab sebesar 0,6 persen.

Komunikasi dan Pesan yang Disampaikan

Pengajar Komunikasi Politik Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin justru beranggapan permasalahan politik identitas dan polarisasi tidak bisa diselesaikan dengan cara hanya jumlah paslon lebih dari dua. Ia menilai, permasalahan yang muncul adalah soal komunikasi dan pesan yang disampaikan dari pelaku politik Pemilu 2024.

“Jumlah paslon capres-cawapres sebanyak apa pun tetap saja akan memunculkan politik identitas bila komunikator atau pengirim pesan ingin memainkan strategi tersebut. Sehingga saya melihat jumlah paslon yang akan maju bukan persoalan,” kata Alvin.

Alvin menambahkan, "Kuncinya ada di si komunikator atau pembuat dan pengirim pesan. Bila memang mau meminimalisir politik identitas, maka strategi komunikasi politiknya lebih mengedepankan usulan kebijakan bagi para pemilih.”

Alvin mengingatkan politik identitas memiliki dua sisi. Pertama, politik identitas bisa membawa persatuan, tapi sisi lain adalah perpecahan. Sebagai contoh, upaya masyarakat Indonesia bersatu mendukung atlet bulutangkis dalam All England Indonesia dapat disimbolkan sebagai politik identitas.

“Namun, politik identitas di ranah praktik politik pemilu ini perlu diwaspadai karena bisa membawa pada perpecahan. Hal ini tidak lepas dari peta geopolitik dan demografi Indonesia yang begitu multikultural. Ketika terlalu mengkotak-kotak, maka perpecahan bisa terpicu,” kata Alvin.

Alvin beranggapan, politik identitas sulit untuk dihilangkan. Amerika, negara yang sudah lama menjalankan praktik demokrasi saja masih memiliki masalah dalam isu politik identitas. Jika mengacu pada pendekatan komunikasi politik, umumnya pemilih berada dalam pihak yang menerima pesan dan memberi feedback atas pesan yang dikirimkan.

Oleh karena itu, Alvin mengatakan, "Urusan politik identitas ini saya rasa sebagai hasil respons dari pengiriman pesan-pesan yang misleading dari oknum-oknum politik.”

Alvin menerangkan, faktor lain yang berpotensi memicu politik identitas adalah masih banyak pemilih yang menggunakan suara berdasarkan ikatan emosional. Dalam lingkup komunikasi pemasaran politik, situasi pemilih tersebut begitu menggiurkan untuk meraup suara.

Ia mengingatkan, pesan politik identitas bisa sangat viral dan sulit diakses di tengah perkembangan dunia digital. Ia mencontohkan bagaimana pesan-pesan misinformasi politik identitas itu disampaikan lewat pesan terenkripsi seperti Whatsapp dan sulit disentuh para penegak hukum. Hal itu, kata Alvin, akan menjadi tantangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Salah satu cara mencegah politik identitas dan polarisasi yang ditawarkan Alvin adalah mendorong kompetisi kebijakan yang ditawarkan dari masing-masing kontestan politik. Dengan demikian, partai tidak lagi menjual kedekatan identitas dalam pemilu.

Cara lain adalah perlunya penyuluhan atau literasi politik bagi publik, terutama pemilih Gen Z. Pemilih muda ini perlu diberi pemahaman bahwa memilih kandidat secara meritokrasi dan bukan identitas belaka.

“Meski demikian, tipe pemilih kita masih ada yang memilih berdasarkan ikatan emosional di mana identitas bisa membawa kedekatan emosional. Tentunya, dalam lingkup komunikasi pemasaran politik, hal ini begitu menggiurkan untuk dilewati,” kata dia.

Menurut dia, salah satu cara mencegahnya adalah kompetisi kebijakan yang ditawarkan dari masing-masing kontestan politik. Jadi yang dijual bukan lagi kedekatan identitasnya.

“Jadi dari sisi komunikator harus ada kebulatan niat tidak menggunakan narasi politik identitas, sementara dari sisi penerima pesan harus dibentengi dengan literasi politik yang baik," tutur Alvin.

Sementara itu, pemerhati keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, politik identitas bisa membawa masalah serius di masa depan meski hadir secara alamiah di dunia. Ia mengingatkan bahwa politik identitas wajar muncul dalam upaya politik.

“Sebenarnya politik identitas itu adalah sesuatu yang alamiah. Diferensiasi tertua di dunia, ya identitas. Toleransi itu hadir karena kesadaran kita akan identitas yang berbeda,” kata Fahmi kepada reporter Tirto.

Fahmi mengakui, tidak sedikit orang mengaitkan fenomena post-truth dengan politik identitas karena kerap digunakan untuk memompa ketidaksukaan atau kebencian. Namun, situasi tersebut justru dinilai sebagai pseudo-problem.

Post-truth sudah eksis sejak awal peradaban. Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, sejak dulu umat manusia sudah membuat fiksi, berdongeng. Dulu bahkan parah. Tidak ada metode untuk menguji dongeng. Sekarang perkembangan media justru telah memungkinkan pengujian itu," kata Fahmi.

Fahmi menilai, permasalahan polarisasi pada 2019 lalu bukan karena isu politik identitas, tetapi upaya penebalan identitas lewat strategi politik tertentu. Hal itu yang memicu situasi masyarakat Indonesia saat ini.

“Pemilu 2019 diwarnai polarisasi yang tajam dan ketegangan bukan karena politik identitasnya, melainkan karena penebalan identitas dibumbui oleh maraknya penyebaran kebohongan dan informasi palsu, penyesatan informasi, aksi saling olok, saling fitnah dan pemompaan kebencian satu sama lain,” kata dia.

Hal itu kemudian menjadi berbahaya karena adanya pembiaran, perlakuan yang cenderung tak imparsial terhadap para pelaku perbuatan melawan hukum dan kelemahan regulasi yang membatasi praktik 'black hat marketing' dalam politik, khususnya pemilu, kata Fahmi.

Fahmi menilai, potensi keamanan dan ketertiban tetap akan berpotensi muncul meski ada upaya menghapus politik identitas. Ia beralasan, perebutan suara tidak lepas dari benturan dan gesekan demi meraih kemenangan.

Lantas, apakah politik identitas bisa dihapus? Fahmi menjawab bahwa hal tersebut tidak logis.

“Ide menghapus politik identitas itu enggak masuk akal. Identitas itu digunakan sebagai sarana identifikasi target, asosiasi dan menjadi preferensi konstituen. Jadi yang harus dihapus itu adalah politisasi identitas untuk memompa ketidaksukaan dan kebencian terhadap kontestan atau kelompok lain," kata Fahmi.

Fahmi juga menilai upaya konsep pemilu dengan minimal 3 paslon sebagai jalan menghilangkan politik identitas dan polarisasi tidak sepenuhnya tepat. Ia mengingatkan bahwa politik identitas adalah salah satu alat untuk mengetahui perbedaan pemilih.

“Maka berapapun kontestannya, masing-masing pasti akan menebalkan identitasnya untuk menunjukkan perbedaan dengan kontestan-kontestan lain dan membantu pemilih menentukan pilihannya. Selain itu, guliran wacana tiga calon untuk mencegah politik identitas, menurut saya justru merupakan bentuk cipta kondisi yang berpotensi mengancam proses demokrasi itu sendiri," kata Fahmi.

Fahmi menilai, berapapun kontestan pemilu tidak ada masalah selama proses komunikasi politik dan akomodasi sehat tanpa dasar untuk memompa kebencian. Apabila aksi memompa kebencian masuk dalam strategi politik, tentu akan berimbas pada keamanan dan ketertiban pemilu.

“Mau tiga calon atau lebih, jika memompa kebencian kemudian menjadi bagian dari strategi pemenangan, maka potensi kekerasan, gangguan keamanan dan perbuatan melawan hukum lainnya akan selalu hadir dalam pemilu," kata Fahmi.

Di luar gagasan minimal 3 calon, Fahmi menilai perlakuan penegakan hukum imparsial, tegas serta adil harus dilakukan. Hal ini penting untuk menindak kelompok pendengung atau buzzer yang menyebarkan informasi palsu.

Di sisi lain, solusi yang ditawarkan pertama adalah perlu komitmen bersama tanpa paksaan lewat regulasi. Dengan demikian, peserta pemilu tidak mempraktikkan black hat marketing atau upaya memompa kebencian secara tidak patut untuk menarik pemilih. Kedua, penegakan hukum secara imparsial dan adil harus dikedepankan bagi pelaku dan korban kebencian.

Ia mencontohkan pemilihan ketua RT yang bisa saja membentuk kelompok-kelompok. Mereka pun bisa saja baku hantam dalam pemilihan ketua RT. Hal ini sama seperti narasi 3 paslon sebagai solusi pemilihan presiden bebas politik identitas dan polarisasi.

“Nah, sebenarnya kekhawatiran atas perpecahan itu muncul sebagai akibat dari kebencian yang dipelihara. Ibarat pesta, setelah usai tak ada pihak yang mau merapikan arena. Dibiarkan berantakan. Jadi, narasi tiga calon atau lebih itu cipta kondisi, bukan solusi," kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz