tirto.id - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru saja terpilih pada Pemilu 2024 ramai-ramai menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan ke bank sebagai jaminan pengajuan pinjaman usai dilantik.
Sejumlah bank bahkan berani menawarkan pinjaman kepada anggota DPRD dengan nilai mulai dari Rp500 juta hingga Rp1 miliar selama masa jabatan mereka lima tahun.
Di Kota Serang misalnya, tercatat sudah ada 10 anggota DPRD Kota Serang yang telah menggadaikan SK-nya ke bank untuk pinjaman. Fenomena gadai SK ini juga terjadi di beberapa daerah Jawa Timur, seperti Bangkalan dan Malang.
Dilansir dari Antara, di Bangkalan setidaknya ada 20 anggota DPRD yang mengajukan pinjaman dengan agunan SK Pengangkatan. Sementara di Malang ada sebanyak 17 dari total 45 anggota DPRD dilantik yang sudah menggadaikan SK.
Fenomena “menyekolahkan” SK ini sebenarnya relatif jamak dilakukan oleh pejabat politik atau pejabat publik Indonesia, tidak hanya anggota DPRD saja. Bahkan, bukan hanya di lembaga politik, tapi juga pada jabatan-jabatan lembaga negara independen yang anggota atau komisionernya diisi melalui rekrutmen terbuka.
“Di lembaga politik dipengaruhi khususnya oleh sistem keuangan yang memungkinkan itu dilakukan dan juga akibat ongkos politik atau biaya pemilu yang mahal,” ujar pengajar hukum tata negara sekaligus pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, kepada Tirto, Senin (9/9/2024).
Maka, wajar kemudian ketika mereka menjabat SK digadaikan sebagai sumber uang tunai cepat yang bisa didapatkan para anggota dewan baru terpilih. Apalagi, kata Titi, kebanyakan dari kehabisan dana akibat biaya kampanye yang jor-joran.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, mengatakan, fenomena ini sebenarnya bukan hanya karena kampanye mahal. Tapi, ini juga buah dari perubahan cara masyarakat melihat pemilu.
Pola perubahan terpotret dari hasil penelitian Guru Besar Bidang Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, bertajuk “Votes For Sale Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi”.
Dalam penelitian ini menggarisbawahi politik uang adalah usaha terakhir dalam mempengaruhi keputusan pemilih dalam memberikan suara di pemilu, yang dilakukan sebelum pemungutan suara, dengan cara memberikan uang tunai, barang, atau imbalan material lainnya kepada pemilih.
Metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa banyak politik uang digunakan di Indonesia adalah survei representatif dan metode eksperimen. Semua pengukuran yang dirinya pakai dalam survei pasca-pemilu 2014 dan 2019 memakai standar internasional, sehingga bisa dibandingkan dengan negara-negara lain.
Berdasarkan riset yang dilakukannya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam data pemilihan tetap pada 2014 terlibat dalam politik uang. Begitu pun pada 2019, total responden survei yang menjawab “sangat sering, sering, dan jarang” mencapai 33,1 persen, sama persis dengan temuan di tahun 2014.
Dalam hal ini, pemilih yang menjadi simpatisan merupakan target utama politik uang dan jumlahnya mencapai 15 persen dari total pemilih, sedangkan 85 persen lainnya adalah swing voters. Survei juga menunjukkan bahwa operator politik uang berasal dari semua partai.
Strategi pembelian suara hanya mempengaruhi pilihan 10 persen pemilih dimana jumlah tersebut lebih dari cukup banyak bagi kandidat untuk memenangkan pemilihan umum (Pemilu). Rata-rata margin kemenangan untuk mengalahkan rival dalam Pemilu hanya 1,6 persen. Jadi, (10 persen) bisa membuat perbedaan calon yang menang dan yang kalah.
“Dulunya, pemilu dilihat sebagai pesta demokrasi, sebuah kemewahan untuk memilih pemimpin secara langsung. Tapi, sekarang demokrasi dilihat sebagai 'pesta' dalam artian yang sebenarnya,” jelas Musfi, kepada Tirto, Senin (9/9/2024).
Maka, tidak heran ketika mendengar pemilu saat ini, kata Musfi, ada di benak banyak pihak adalah bagi-bagi amplop. Sekalipun bukan bagi amplop, banyak yang terbayang proyek baliho, sablon baju, proposal pemenangan, ongkos bensin kampanye, dan seterusnya.
“Jadinya, masyarakat melihat pemilu seperti objek pemasukan. Ini yang membuat pemilu sangat mahal. Mungkin si kandidat tidak ingin politik uang, tapi demand atau permintaannya tinggi,” jelas dia.
Selain itu, masalah gaya hidup juga mempengaruhi fenomena tersebut. Saat pejabat politik atau legislator biasanya dilengkapi fasilitas yang “wah”, sehingga anggota dewan juga perlu menyesuaikan. Apalagi stigma di masyarakat, anggota parlemen identik dengan pejabat yang punya banyak uang.
“Ini bertalian erat dengan kebutuhan ekonomi para anggota dewan yang terpilih. Seolah ada kewajiban kalau mereka harus naik kelas dengan menunjukkan perubahan gaya hidup,” pungkasnya.
Picu Terjadi Praktik Korupsi
Meski sebenarnya tidak melanggar hukum, fenomena wakil rakyat menggadaikan SK ini dinilai Titi Anggraini justru memicu terjadinya praktik korupsi. Maka sudah semestinya pemerintah serius memikirkan cara bagaimana bisa menurunkan biaya politik di pemilu Indonesia.
“Kalau SK digadaikan, hal itu bisa mendorong politisi terus mencari uang tambahan. Risikonya, bisa terjadi penyalahgunaan wewenang dengan tujuan untuk menutupi kebutuhan membayar cicilan dan biaya-biaya politik lainnya,” ujar Titi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan fenomena menggadaikan SK ini adalah titik awal lingkaran setan tuntutan akan uang dari anggota DPRD. Kondisi ini tentu membuka peluang baik mereka untuk mendapatkan uang itu dari sumber-sumber ilegal memanfaatkan fungsi dan kewenangan DPRD.
“Jika sejak awal sudah mulai menggadaikan SK, ya tentu saja berikutnya mereka juga dengan mudah mencari celah melalui fungsi dan peran mereka demi mendapatkan tambahan baru. Apalagi kebutuhan sebagai pejabat juga semakin bertambah,” jelas Lucius kepada Tirto, Senin (9/9/2024).
Lucius menilai penggadaian SK ini seperti melupakan jati diri anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Karena kata Lucius, "bagaimana mereka bisa berbicara tentang politik anggaran ketika mereka justru dituntut oleh kebutuhan diri sendiri akan uang?"
Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, mengatakan dampak dari fenomena ini memang akan menjadi lebih luas jika kemudian berdampak pada korupsi politik. Karena tidak menutup kemungkinan mereka anggota DPRD akan mencari dana alternatif dengan cara-cara ilegal.
“Kondisi hari ini kalau kita melihat dari KPK kan banyak orang yang berkontestasi baik itu legislatif ataupun eksekutif itu terjerembab dalam kasus korupsi kan gitu kan,” jelas Arfianto kepada Tirto, Senin (9/9/2024).
Arfianto mengatakan fenomena ini menandakan bahwa ongkos politik selama mengikuti pemilihan umum, baik itu pemilihan legislatif, tingkat pusat dan daerah maupun eksekutif pilpres, biaya operasionalnya cukup tinggi. Dengan biaya tinggi tersebut, mau tidak mau akhirnya wakil rakyat yang terpilih itu menggadaikan SK-nya.
“Menjadi pertanyaan, sampai kapan ini fenomena akan terjadi? Jika kita tidak memiliki sebuah aturan yang cukup tegas mengatur pengeluaran biaya kampanye,” ujarnya.
Menurutnya, perlu ada aturan main agar kampanye itu dilakukan secara adil. Artinya, kampanye itu bukan hanya soal kandidat atau caleg yang memiliki uang yang cukup banyak, tapi juga buat caleg-caleg mungkin tidak memiliki modal cukup besar. Karena logikanya, caleg yang tidak memiliki modal cukup besar tentunya dia akan berutang terlebih dahulu untuk Alat Peraga Kampanye (APK) dan lain-lain.
“Nah ini yang harus diatur juga kenapa pentingnya pengaturan pengeluaran biaya kampanye gitu. Agar persoalan ini diputus gitu loh, persoalan korupsi politik bisa terputus diawali dengan bagaimana pengaturan kampanye dengan biaya yang cukup adil gitu tidak berbiaya tinggi,” pungkas Arfianto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto