Menuju konten utama
Mozaik

Politik Flamboyan Subchan Z.E. Menantang Dua Rezim

Dari latar pengusaha, Subchan ZE lalu masuk NU dan membangun koneksi dengan militer. Kritis terhadap Orde Baru, meski pernah turut menegakkannya.

Politik Flamboyan Subchan Z.E. Menantang Dua Rezim
Header Mozaik Subchan ZE. tirto.id/Quita

tirto.id - Medio 1960-an, H.M. Subchan Z.E., pemimpin muda Nahdlatul Ulama (NU), berkunjung ke Matraman untuk menemui Nyai Hj. Sholichah, istri K.H. Wahid Hasjim. Setibanya di sana, Aisyah Hamid Baidlowi, putri kedua K.H. Wahid Hasjim dan Sholichah, menyambut Subchan.

“Mas, kapan, nih, datang dengan pendampingnya?” tanya Aisyah Hamid kepada Subchan.

“Ah, Mbak Is, ada-ada saja nanyanya,” timpal Subchan.

“Kan banyak, lho, anak-anak PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang cantik-cantik. Ada yang dari Jawa Barat, Sumatera Utara, atau Jawa Timur. Mas Subchan, kan, bisa memilih salah satunya,” tanggap Aisyah.

“Mbak Is, kalau yang disebutkan tadi itu sudah susah dibentuk. Pokoknya di atas 20 tahun itu sudah susah dibentuk,” tegas Subchan.

“Jadi, yang sampeyan cari itu yang umur berapa? Atau mau dari pondok pesantren ya, Mas,” terka Aisyah.

“Dari pondok mana, Mbak? Apa ada yang mau dengan saya,” jawab Subchan, sedikit berharap.

“Kalau perlu saya bantu carikan, ya,” Aisyah memberikan asa.

Aisyah mengabadikan percakapan itu dalam memoarnya yang terhimpin dalam bunga rampai Subchan Z.E.: Sang Maestro, Politisi Intelektual dari Kalangan NU Modern (2001, hlm. 241). Darinya, kita bisa taksir bahwa Subchan bukanlah seorang konservatif. Oleh banyak kalangan di masanya hidup, Subchan memang jamak disebut sebagai seorang modernis dan flamboyan.

Dia memang bukan laiknya tokoh NU kebanyakan yang dikenal tradisionalis oleh awam.

Kesaksian yang sama juga datang dari Cosmas Batubara, salah satu eksponen Angkatan 1966.

Pada akhir 1965, mahasiswa-mahasiswa anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengadakan pesta akhir tahun. Seperti diingat Cosmas dalam bunga rampai yang sama, Subchan diundang dalam pesta itu. Cosmas Batubara menyaksikan Subchan dengan luwesnya mengajak mahasiswi untuk berdansa.

“Waktu istirahat saya menanyakan kepada almarhum, ‘Apakah tidak dilarang seorang tokoh Islam untuk berdansa?’” tulis Cosmas.

Subchan menimpali, “Saya, kan, masih lajang. Dengan demikian, saya bebas saja berdansa dengan wanita manapun.”

“Mendengar jawaban itu, saya tidak tanya lagi,” tukas Cosmas.

Besar Jadi Borjuis di Kudus

Lahir di Kepanjen, Malang, pada 22 Mei 1931, Subchan meniti hidup dari keluarga terpandang. Majalah Aula edisi Agustus 2023 menyebut Subchan adalah anak keempat dari 13 bersaudara keluarga H. Rochlan Ismail dan Hj. Siti Masnichah.

Pada usia empat tahun, Subchan harus pisah dari ibu kandungnya. Sejak saat itu, di rentang usia empat hingga sembilan tahun, dia diasuh oleh keluarga H. Zaenuri Echsan, seorang pengusaha rokok kaya di Kudus, Jawa Tengah.

Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU, 1952—1967 (2012, hlm. 292) menyebut Subchan menempuh pendidikan sekolah dasar Muhammadijah. Jiwa kewirausahaannya tumbuh kala dia diberi kepercayaan untuk memimpin pabrik rokok cap Kucing milik ayah angkatnya.

Pada akhir 1940-an, Subchan bertransformasi menjadi pengusaha sukses. Di usia amat muda, dia mendirikan PT Inter Asia yang bergerak di bidang ekspor-impor bahan pokok.

Secara akademis, Subchan tidak punya gelar formal, tapi dia disebut aktif menyambangi beberapa universitas luar negeri, di antaranya Stanford dan Washington, untuk menimba ilmu. Dia pun kerap diundang jadi dosen tamu di universitas-universitas tersebut.

“Pengetahuan Subchan dalam bidang perdagangan dan kemampuannya berbicara di depan umum meningkatkan popularitasnya sebagai dosen dan komentator dalam masalah ekonomi,” catat Greg (2012, hlm. 292).

Mulai 1955, kesibukan Subchan kian bertambah dengan berlalu-lalang menjadi anggota delegasi bahkan wakil ketua ke konferensi internasional dalam bidang ekonomi, macam GATT, Afro-Asian Economic Conference, hingga International Chambers of Commission ECAFE.

Pada titik ini, dia pun mulai berjejaring dengan orang militer. Kesempatan untuk terjun ke politik pun terbuka ketika dia memulai karier di NU sebagai anggota Departemen Pendidikan NU (Ma’arif).

Menurut Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994, hlm. 42), karier Subchan makin moncer setelah itu. Dia dapat jabatan sebagai ketua Departemen Perekonomian dan kemudian sebagai penghubung NU dan pimpinan militer, A.H. Nasution.

“Tentu saja, kepentingan bisnis pribadinya juga diuntungkan berkat pengaruh politik dan koneksinya yang baru, tetapi dia tidak pernah menunjukkan ketamakan yang membabi buta,” tulis Martin (1994, hlm. 54).

Dalam pertengahan 1950-an, Subchan telah mapan sebagai kelas atas. Dia memiliki beberapa rumah mewah di Jakarta dan Singapura, di samping vila-vila di beberapa tempat peristirahatan. Kehidupan glamornya ditunjukkan dengan menerbangkan sendiri pesawat pribadinya dan menggemari mobil balap.

Namun, yang lebih penting dari itu semua: Subchan menguasai betul kehidupan sosial-politik di Jakarta.

“Sebagai seseorang yang memesona dan populer di kalangan sosialita di Jakarta, dia sering menghabiskan malamnya dengan menari bersama perempuan-perempuan di berbagai tempat hiburan malam elite,” catat M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013, hlm. 188-189).

Vis-à-vis dengan Bung Besar

Kedudukan politik Subchan kian strategis pada awal dekade 1960-an. Menurut Alwi Shahab dalam tulisannya di Harian Republika (21 November 1999), dalam Muktamar NU di Solo, Subchan didapuk menjadi Wakil Ketua IV Pengurus Besar (PB) NU.

“Subchan pilihan yang tepat karena ia belum menikah di usia 34 tahun, cakap, terkenal antikomunis dan memiliki banyak kontak, tidak saja dengan beberapa jenderal Angkatan Darat (AD), tetapi juga dengan kelompok-kelompok pemuda dari lingkaran NU,” tulis Greg Fealy dalam buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (1997, hlm. 68).

Posisi demikian meletakkan Subchan semakin merapat bersama kekuatan antikomunis dan berhadapan dengan Sukarno.

Lalu, meletuslah Gerakan 30 September (G30S) 1965. Kekuatan antikomunis yang dikepalai AD berkonsolidasi. Subchan, bersama dengan Jusuf Hasjim dan Zamroni, mengambil inisiatif untuk menentukan sikap anti-PKI.

Pada 2 Oktober 1965, Brigjen Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, mengundang para pemimpin partai politik—termasuk Subchan. Dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008, hlm. 927), Benny G. Setiono menyebut bahwa mereka bersepakat untuk membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu yang dinakhodai Subchan dan Harry Tjan Silalahi, Sekretaris Jenderal Partai Katolik.

Dua hari pasca-Gestapu, PBNU juga membentuk Badan Koordinasi Keamanan Djama’ah Nahdlatul Ulama (BKKDJNU). Badan ini dibentuk untuk mengoordinasikan tindakan NU dengan militer untuk “memulihkan ketertiban negara”. Jeremy Menchik dalam Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism (2016, hlm. 116) menyebut Subchan bergerak sebagai koordinator logistik.

Dalam menjalankan tugasnya, KAP Gestapu berkoordinasi dengan Soeharto. Konsolidasi antikomunis berlanjut dengan usaha pembentukan partai dan organisasi-organisasi antikomunis oleh Subchan dengan nama Front Pancasila.

“Tindakan awalnya adalah mengoordinasi aktivitas pemuda dalam demonstrasi dan penyerangan fisik terhadap orang-orang komunis,” tulis Baskara T. Wardaya dalam Membongkar Supersemar!: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2009, hlm. 234).

Banyak sekali kader-kader Subchan yang kemudian bergabung dengan Front Pancasila kala diadakan pengorganisasian “kesatuan-kesatuan aksi” pada Desember 1965.

Beberapa aksi demonstrasi sistematis kemudian dilancarkan di Jakarta pada 14 Januari 1966. Subchan tentu jadi pentolan aksi itu bersama David Napitupulu dari Mahasiswa Pancasila (Mapancas) dan Ketua Presidium KAMI Pusat, Cosmas Batubara.

Hingga, suatu kesempatan aneh mempertemukan Subchan dengan Sukarno. Sukarno yang “gemas” atas aksi-aksi Subchan lantas menanyakan padanya, “Chan, kamu dulu itu orang baik, tetapi sekarang menjadi nakal dan ikut-ikut demonstrasi.”

Subchan membalas, “Tidak, tidak, saya tidak ikut-ikut demonstrasi.”

Sukarno menukasnya dengan cepat, “Jelas, kamu ikut demonstrasi.”

“Tidak, tidak, saya tidak ikut demonstrasi, tetapi saya memimpin demonstrasi. Jadi saya tidak ikut,” jawab pamungkas Subchan sebagaimana dicatat J.B. Soedarmanta dalam Biografi I.J. Kasimo: Politik Bermartabat (2011, hlm. 188).

Tentang tujuannya menggalang berbagai demonstrasi menentang Sukarno, Subchan membebernya dalam penutupan Konferensi NU di Ponorogo pada 8 Mei 1966.

Sebagaimana dikutip harian Duta Masjarakat (13 Mei 1966), Subchan bersama kekuatan antikomunis lain berupaya “menyelamatkan revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi dari penyimpangan konstitusi”.

Berbagai pukulan dari mahasiswa berimplikasi pada pemretelan kekuasaan Sukarno. Menurut Greg Fealy, enam bulan sejak 11 Maret 1966, Subchan mendukung penuh tuntutan Jusuf Hasjim dari Ansor untuk meminta penyelidikan peran Sukarno dalam G30S 1965.

Hingga Menemui Ajal

Subchan selalu berkomitmen dengan AD. Namun, hubungan mesranya dengan militer rupanya cepat layu.

Muktamar NU ke-24 di Bandung pada 1967 menyetujui disahkannya RUU Pemilu. Nur Khalik Ridwan dalam Ensiklopedia Khittah NU Jilid III (2020, hlm. 183-184) menerangkan bahwa RUU tersebut menjadi dasar penting bagi Golongan Karya (Golkar) dan militer dalam gelanggang politik.

Subchan menolak RUU tersebut. Dalam wawancara dengan Harian KAMI (5 Februari 1968), Subchan menjelaskan bahwa tidak adanya struktur demokrasi yang sehat dan secara terang-terangan mendukung ide untuk merehabilitasi posisi Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam politik.

Dari pijakan UU Pemilu, Subchan menjadi gencar mengkritik Orde Baru terkait kecurangan Golkar. Tak tanggung-tanggung, Subchan berencana menggugat Golkar ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Internasional.

“Subchan juga menilai bahwa penunjukan MPRS terhadap Soeharto sebagai pejabat presiden sebenarnya kurang tepat karena menurutnya presiden pasca-Sukarno semestinya dipilih oleh MPR hasil pemilu,” terang Nur Khalik (2020, hlm. 179).

Tidak hanya itu, Subchan juga berulang kali terlibat polemik dengan Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Machmud. Arief Mudasir dalam “Subchan ZE dan Politik Pasca-1965” di majalah PRISMA (1991) menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Nomor 12 yang dikeluarkan Amir menjadi pemantik Subchan untuk mengkritik.

Ketika kelompok Ali Moertopo menggagas konsep politik “massa mengambang”, Subchan kembali memprotes gagasan tersebut. Dalam tulisannya di majalah TEMPO (17 Juli 1971), dikutip dari buku Rahasia-rahasia Alie Moertopo (2014, hlm. 29—30), Subchan menilai gagasan massa mengambang terilhami dari konsep kediktatoran proletariat ala Marxisme.

“Bisa menghilangkan sistem cek dan kontrol,” tulis Subchan.

Keberanian Subchan untuk senantiasa mengoreksi Orde Baru menemui titik baliknya ketika dia merasa diawasi gerak-geriknya. Subchan pun khawatir.

Menurut Nasution dalam Jenderal tanpa Pasukan, Politisi tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution (1998, hlm. 234), Subchan meminta perlindungan di rumahnya kepada Nasution bila suatu saat nyawanya terancam.

Dalam Muktamar NU ke-25 di Surabaya pada 1971, kelompok radikal pimpinan Subchan berupaya merebut tonggak gerakan ulama saat itu. Dalam buku NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (1999, hlm. 148—149), Andree Feillard mengungkap bahwa Subchan harus berhadapan dengan Idham Chalid.

“[Idham] calon yang tetap populer dan dihormati, dan saat itu telah menarik simpati pemerintah,” catat Feillard (1999, hlm. 149).

Pada akhirnya, Subchan nyaris menang dan mendapat posisi sebagai Wakil Ketua I. Namun, Subchan tak lama memegang posisi itu. Pada 21 Januari 1972, seperti ditulis Amien Rais dalam Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (1986, hlm. 135), PB Syuri’ah NU melalui surat Nomor 004/Syuriyah/C/1972 yang ditandatangani oleh Rois Aam K.H. Bisri Sjamsuri memutuskan memecat Subchan.

Keputusan pemecatan Subchan itu dilandasi alasan moral terkait dengan gaya hidup Subchan, bukan garis politiknya.

“Beberapa oknum tertentu (nama Idham dan Ali Moertopo biasanya disebut dalam kaitan ini) memberi sang Kiai foto-foto Subchan yang sedang berdansa mesra dengan beberapa perempuan dan minum-minum,” terang Martin (1994, hlm. 55).

Subchan tentu saja menentang putusan tersebut. Dia juga menyerang balik dengan meminta dilaksanakan penyelidikan “atas perilaku moral beberapa pemimpin PB”.

Surat-surat dukungan pada Subchan pun mulai berdatangan ke PBNU. Surat dari Kudus menganjurkan agar menarik kembali keputusan pemecatan “dengan air mata yang berlinang-linang”. Surat lain mencari justifikasi teologis untuk mengampuni Subchan dari dosa “berenang di depan umum” (1999, hlm. 153).

NU Cabang Cengkareng, misalnya, membenarkan Subchan dengan menulis, “Nabi pun pernah terbuka atau kelihatan pahanya.”

Kendati telah dipecat, Subchan masih tetap diundang ke daerah-daerah untuk menyampaikan ceramah. Satu tahun kemudian, tepatnya 21 Januari 1973, Subchan meninggal pada sebuah kecelakaan lalu lintas di Makkah.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Alvino Kusumabrata

tirto.id - Politik
Kontributor: Alvino Kusumabrata
Penulis: Alvino Kusumabrata
Editor: Fadrik Aziz Firdausi