tirto.id - Saat berbicara di hadapan sejumlah warga Minang yang merantau di Jakarta, Ma’ruf Amin yang sebelumnya menjabat sebagai Rais Aam PBNU berjanji akan “berjualan” Alquran.
“Jadi di Sumatra Barat nanti, saya akan ‘jualan’ Alquran. Kalau saya terpilih, saya menjanjikan tidak akan ada lagi buta Alquran di Sumbar,” ujarnya dalam acara silaturahmi bersama kelompok Minang Pemilih Jokowi di Rumah Makan Padang Sederhana, Sabang, Jakarta Pusat (6/2/2019).
“Maksudnya bukan jualan [arti sebenarnya]. Kan orang Sumatra Barat itu suka Alquran, akan kita gerakkan baca Alquran di Sumbar,” sambungnya.
Beberapa hari sebelumnya, sebanyak 200 kiai dan pimpinan pesantren di Jawa Timur mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Untuk membuktikan komitmennya, mereka berencana segera membangun sejumlah posko di desa-desa untuk memenangkan pasangan tersebut.
“Hari ini juga setelah deklarasi, kami akan bangun posko di pesantren-pesantren […] Kami akan menghimpun suara santri, alumni pesantren, hingga para kiai kampung,” ujar K.H. Ahmad Fahrurrozi, koordinator Forum Kiai Bersatu Jawa Timur, Rabu (30/1/2019), seperti dikutip Kompas.
Menurutnya, forum tersebut mendukung Jokowi karena selama kepemimpinannya terbukti berpihak kepada santri dan dunia pesantren. Sebagai contoh, ia menyebut Hari Santri yang mulai diperingati saat Jokowi menjabat sebagai presiden.
“Jadi tidak ada alasan lagi bagi kami untuk tidak mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Apalagi, Jokowi terbukti punya komitmen kuat menyejahterakan warga NU,” terangnya.
Setiap menjelang pemilu, Islam memang menjadi barang niaga paling laris di negeri ini. Pesantren, kiai, dan ulama menjelma sosok-sosok manis yang diperebutkan. Pilpres 2019 yang diikuti dua peserta jauh-jauh hari telah riuh oleh saling klaim dukungan ulama.
Kubu Prabowo yang akhirnya memilih Sandi, sempat mendaku didukung para ulama lewat forum Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional yang digelar pada 27-29 Juli 2018.
Hampir dua pekan setelah forum tersebut digelar, Ma’ruf Amin yang dipilih Jokowi untuk mendampinginya dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan lima tahunan menyindir kubu lawannya.
“Ada pula sono ngomongnya menghargai ulama, tapi usul Ijtima Ulama enggak didengerin gitu loh. Malah wakilnya bukan ulama,” ujarnya di kantor DPP PPP, Jakarta, Jumat (10/8/2018).
Pernyataan Ma’ruf Amin itu sontak mengundang reaksi. Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik menuding Istana telah memainkan politik agama lewat sindiran Ma’ruf Amin. Namun, hal tersebut dibantah Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB, partai yang mendukung petahana, juga ikut membantah tudingan tersebut. Ia mengaku telah meminta konfirmasi Ma’ruf Amin ihwal pernyataannya.
“Saya kira salah kutip, saya sudah cek ke Kiai Ma’ruf, yang dimaksud Kiai Ma’ruf bukan seperti itu. Kemarin saya komplain juga ‘loh Pak Kiai ngapain ngomong kayak gitu’, ‘ah enggak saya (Ma’ruf) enggak pernah ngomong begitu,” ungkap Muhaimin seperti dikutip Republika.
Ketiga peristiwa tersebut mempunyai irisan yang jelas. Selain Islam sebagai narasi utama, NU juga hadir dalam pusaran. Setelah menyatakan diri kembali ke khitah pada Muktamar di Situbondo tahun 1984, lewat sejumlah tokohnya NU tak pernah benar-benar bisa meninggalkan politik. Dalam tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, paling tidak sejak 1952 ketika NU menjadi partai politik, politisasi agama kerap terjadi.
Tarekat NU Merapat ke Golkar
Pemilu pertama sepanjang rezim Orde Baru berkuasa berlangsung pada 1971. Golkar menang telak atas sejumlah saingannya dengan raihan suara lebih dari 60 persen. NU berada di posisi kedua di kisaran 20 persen, disusul Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) sekitar 9 sembilan. Dan sisanya diraih partai-partai gurem.
Golkar sebagai kendaraan penguasa otoriter rupanya belum puas dengan kemenangan dan segala kelebihannya. Mereka mulai mendekati komunitas muslim, salah satunya kalangan tarekat yang berafiliasi dengan NU yang dianggap mempunyai pengikut yang banyak dan taat.
Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (2008) mencatat, salah seorang guru tarekat yang bersedia bekerja sama dengan Golkar pada saat itu adalah Kiai Musta’in Romli dari Rejoso, Jombang.
Sejak 1957 Musta'in menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin pesantren dan jaringan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang menyebar di seluruh Jawa Timur.
“Para pengikutnya terdiri dari puluhan ribu orang desa, yang tergabung dalam ratusan kelompok lokal yang secara teratur berkumpul untuk menjalankan amalan spiritual di bawah pimpinan seorang badal (wakil) Kiai Musta'in, dan kadang kala juga dikunjungi oleh Kiai Musta'in sendiri atau salah seorang khalifahnya,” terang van Bruinessen.
Kedekatan Musta’in dengan elite Orde Baru pada akhirnya membuat ia bergabung dengan Golkar pada 1973. Sikapnya ini kemudian menimbulkan perpecahan dalam federasi jamaah tarekat yang berafiliasi dengan NU, yakni Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah.
Meski demikian, NU belum segera mengambil sikap. Pada 1975, saat jamiah ini mengadakan kongres di Madiun, yang dihadiri banyak guru tarekat berpengaruh di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Mustain terpilih sebagai ketua.
Jelang pemilu 1977, terang Bruinessen, saat sejumlah partai politik berfusi ke dalam PPP dan PDI, dan NU melebur ke dalam PPP, Musta’in mulai ditindak. Ia yang waktu itu aktif berkampanye untuk Golkar dianggap mengkhianati NU yang berafiliasi dengan PPP.
“Ini berarti bahwa dia, sebagai ketua organisasi yang berafiliasi ke NU, berkampanye melawan PPP, partai yang didukung NU. Dalam pandangan sebagian aktivis PPP, tindakan ini adalah pengkhianatan dan diputuskan menghukum Kiai Mustain,” tulisnya.
Setelah kasus tersebut, tulis Ahmad Syafi’i Mufid dalam Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa (2006), Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah terpecah menjadi dua. Pertama dipimpin Musta’in dengan memakai nama asli, dan satu lagi dipimpin K.H. Idham Chalid dan K.H. Arwani dengan menambah nama An Nahdliyah setelah frasa Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah.
Pengukuhan Jam’iyah Ahl ath-Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah yang dipimpin Idham Chalid dan Arwani dilakukan pada saat Muktamar NU ke-26 tahun 1979 yang digelar di Semarang, lewat surat keputusan PB Syuriyah NU nomor 137/Syur. PB/V/1980.
Ahmad Syafi’i Mufid menambahkan, organisasi tarekat yang menginduk ke NU pada perjalanannya lebih populer dibandingkan dengan tarekat yang dipimpin Musta’in yang mendukung Golkar.
Peristiwa perpecahan ini, imbuh Ahmad Syafi’i Mufid, sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan mursyid tarekat sehingga ragu akan kepemimpinan Idham Chalid. Mereka takut dibawa kembali ke tujuan politik.
“Hal ini terlihat pada pernyataan seorang utusan Muktamar Jam’iyah Tharekat Al Mu’tabarah An Nahdliyah ke-7 di Mranggen, 21-24 November 1989: ‘Barangkali pada muktamar ini Dr. Idham Khalid akan berusaha untuk menyatukan kedua organisasi tarekat mu’tabarah untuk mencapai tujuan politik tertentu’,” tulisnya.
Kampanye Ugal-ugalan
Politisasi agama yang paling brutal di tubuh NU terjadi pada saat organisasi ini melepaskan diri dari Masyumi pada 1952. Sebagai partai politik baru, tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2009), NU pada mulanya kewalahan sebab banyak kadernya yang memilih tetap bertahan di Masyumi.
Selanjutnya kedua partai politik yang sempat bersatu ini bertarung memperebutkan konstituen. Untuk meraih simpati, mereka saling mengirimkan sejumlah warta berkala dan delegasi ke sejumlah organisasi Islam.
“Ajakan-ajakan berbau sentimen keagamaan dan konsep tradisional tentang kekuasaan merupakan menu utama kampanye NU,” tulisnya.
Sebagai saingan, imbuh Greg Fealy, NU menggambarkan Masyumi sebagai partai yang tidak menghormati wewenang ulama dan tidak serius mengamankan nilai-nilai dan kepentingan Ahlussunnah wal Ja’maah. Artinya, NU memosisikan diri sebagai partai yang menegakkan tradisi dan prinsip Islam tersebut.
Untuk mendukung propagandanya, NU mengandalkan dukungan kiai-kiai yang berada di basis konstituen yang mereka bidik. Di tempat yang kiainya memihak NU, keanggotaan dan aktivitas cabang meningkat pesat. Namun, di wilayah yang kiainya tetap mendukung Masyumi, NU terseok-seok.
Bersaing dengan sejumlah partai Islam, NU melancarkan strategi yang menghunjam posisi lawan-lawannya. Dalam catatan Greg Fealy, strategi itu adalah memosisikan NU sebagai partai Islam yang mengusung Ahlussunnah wal Jama’ah. Kaum tradisionalis yang cenderung mengklaim sebagai golongan ini tentu tertarik dengan NU.
K.H. Wahab Hasbullah, seperti dikutip Greg Fealy dari sebuah media bertitimangsa 17 Februari 1955, menyampaikan strategi tersebut saat berbicara dalam suatu rapat.
“Di antara partai2 jang berideologi Islam, seperti NU, Masjumi, PSII, Perti, dan PPTI, NU berdjuang atas dasar achlusunnah wal djamaah, sedang Partai2 Islam atau Nasional lainnja adalah partai2 jang tidak bermadzhab,” ucapnya.
Para juru kampanye NU pun menggedor-gedor titik sensitif keagamaan lain. Dikutip dari Surabaja Post edisi 31 Agustus 1955, serta lewat wawancara dengan Syafi’i Sulaiman dan Hasyim Latief tanggal 19 Oktober 1991, Greg Fealy menyebutkan, pemilih diberi tahu bahwa dengan memilih NU mereka akan masuk surga.
Hal ini, imbuhnya mengutip Duta Masjarakat edisi 27 September 1955, karena para juru kampanye menekankan bahwa mencoblos gambar NU berarti telah menjalankan amal saleh sebagai bukti ikut berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah).
“NU juga menyerukan kepada para pemilih agar menggunakan hak suara mereka dalam pemilu karena itu merupakan kewajiban agama, meskipun pemungutan suara sebenarnya bersifat sukarela. Mereka mengingatkan kaum muslimin bahwa mendukung partai yang bertentangan dengan Islam merupakan dosa. Beberapa kali bahkan mewajibkan santrinya memilih NU,” terangnya.
Ia menambahkan, pelbagai kegiatan keagamaan pun tak luput dari kampanye. Upacara perkawinan, pemakaman, pengajian, dan yasinan dijadikan tempat untuk mendorong jamaah agar mendukung NU. Selanjutnya kampanye untuk menjaring simpati konstituen semakin ugal-ugalan. Greg Fealy menyebutnya: “beberapa pemimpin NU bahkan ada yang melangkah terlalu jauh”.
Menurutnya, langkah terlalu jauh itu salah satunya adalah mendesak kaum tradisionalis untuk memboikot upacara keagamaan yang diadakan kaum modernis “seperti upacara perkawinan dan pemakaman, serta menolak melakukan salat jenazah bagi anggota Masyumi yang meninggal.”
Acara keagamaan yang memang rutin dilakukan NU selama masa kampanye itu tiba-tiba menjadi tunggangan kepentingan politik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan