tirto.id - Dua desa di Kabupaten Bogor menarik perhatian publik. Wilayah tersebut dilelang sebagai jaminan kredit ke bank. Kabar itu awalnya disampaikan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto, saat rapat bersama Komisi V DPR RI, Selasa (16/9/2025) lalu.
"Ini ceritanya lebih seru lagi, Pak. Jadi, desa ini berdiri sebelum Indonesia merdeka. Tahun 1980 ada seorang pengusaha pinjam duit ke bank yang dijadikan agunan desa, Pak. Sekarang desanya dilelang, sudah dikasih plang bahwa akan disita," kata Yandri, menukil siaran TVR Parlemen.
Ia mengaku sudah melakukan pendekatan keras dalam mengatasi permasalahan ini. Lebih jauh, Yandri pun menyatakan telah menyurati berbagai pihak dalam rangka menyelidiki kasus tersebut.
"Enggak boleh di republik ini ada desa yang dilelang. Sudah saya lakukan pendekatan keras ini, Pak. Masa rakyat akan diusir, tidak boleh," tuturnya dalam kesempatan itu.
"Di Bogor, dekat sama kita. Dua desa menjadi agunan. Jadi bagaimana dulu check and recheck-nya di lapangan? Masa desa dijadikan agunan, Pak. Sementara desa ini sebelum merdeka sudah ada. Ini lucu tapi menyedihkan," sambung Yandri.
Dua daerah yang dimaksud Mendes Yandri merupakan Desa Sukaharja dan Desa Sukamulya. Keduanya berlokasi di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Menurut Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, persoalan ini berawal dari sengketa lahan sitaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama terpidana Lee Darmawan K H alias Lee Chin Kiat.
Lee mendapat vonis berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1622 K/Pid/1991 pada 21 Maret 1992. Isi putusannya: Aset-aset Lee akan dirampas untuk negara dan diserahkan kepada Bank Indonesia (BI).
Berdasarkan dokumen Desa Sukaharja, pada 1983, Lee Darmawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur PT Bank Perkembangan Asia, telah memberikan pinjaman Rp850 juta kepada PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu atas nama Haji Mohammad Madrawi. Pinjaman itu dijaminkan dengan tanah seluas 406 hektare, di wilayah yang sekarang termasuk Desa Sukaharja dan Desa Sukamulya.
"Haji Madrawi ini, menurut warga atau menurut perangkat desa, adalah pekerja atau pegawai dari Lee Chian Kiat. Kalau kita berspekulasi, tidak mungkin (hanya) mereka berdua, mungkin di pemerintah desa dulunya juga ada keikutsertaan (kongkalikong) karena kok bisa dengan bukti girik Letter C bisa diterima jadi agunan?" kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMDesa) Jawa Barat, Ade Afriandi, dilaporkan kumparan, Senin (22/9/2025).

Tanah Desa Tak Boleh Jadi Jaminan ke Bank
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Walhi Ferry Widodo, mempertanyakan tanah desa yang diagunkan, apakah berupa tanah kas desa atau aset desa. Sebab secara aturan, tanah desa berstatus aset desa atau tanah kas desa dilarang dijadikan jaminan atau agunan ke bank.
“Kalau kita lihat aturannya, tanah desa itu statusnya aset desa atau tanah kas desa, dalam Undang-Undang Desa dan juga Permendagri tentang Pengelolaan Aset Desa, jelas dilarang dijadikan jaminan atau agunan ke bank. Jadi, secara hukum seharusnya nggak boleh,” tutur Ferry kepada Tirto, Selasa (23/9/2025).
Dalam pasal 6 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa tersebut, dikatakan bahwa aset desa dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
Aset desa sendiri merupakan barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli milik desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) atau perolehan hak lainnya yang sah. Kekayaan asli desa itu mencakup tanah kas desa.
“Memang kasus di Bogor ini kejadiannya sudah lama, tahun 80-an, tapi prinsipnya tetap sama, tanah desa itu milik bersama, bukan milik pribadi. Jadi tidak sah kalau dijadikan jaminan utang,” tegas Ferry.
Girik tak bisa jadi bukti alat kepemilikan tanah
Selain status tanah desa yang menjadi persoalan, girik sebagai bukti akad kredit juga sarat masalah. Menurut Ferry, jika merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bukti kepemilikan tanah yang sah adalah sertifikat yang diterbitkan melalui pendaftaran tanah.“Kalau girik atau Letter C hanyalah bukti administrasi pembayaran pajak dan tidak termasuk kategori hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan. Sesuai UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, hanya tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), atau hak tertentu lain yang dapat didaftarkan yang sah dijadikan jaminan,” tutur Ferry.
Aturan yang dimaksud berisi tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UU itu, hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.
Menurut Ferry, girik atau Letter C bukanlah sertifikat hak milik, melainkan hanya catatan pajak tanah di desa. Maka, status hukumnya lemah. Meski dahulu ada praktik bank kecil atau Bank Perekonomian Rakyat (BPR) masih menerima girik sebagai jaminan, tapi hal itu penuh risiko lantaran nihil kepastian hukum yang kuat.
“Secara resmi, yang bisa dijadikan agunan hak tanggungan itu tanah dengan sertifikat, misalnya SHM atau HGB. Jadi kalau benar dasar kreditnya cuma girik, itu dari awal sudah bermasalah secara hukum,” katanya.
Meski demikian, pengamat perbankan, Agus Wibowo menyampaikan tanah berstatus girik bisa dijadikan agunan dalam perjanjian kredit dengan dibebankan hak tanggungan. Hal itu tercantum dalam UU yang sama, yakni UU 4/1996 dan tambahan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Jika ditelisik lebih jauh, dalam bagian penjelasan pasal 10 UU 4/1996 memang dimuat keterangan bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
“Girik itu dokumen kepemilikan tanah tradisional, namun tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan sertifikat tanah resmi. Hal ini sebenarnya tidak kuat secara hukum karena girik pada dasarnya hanyalah bukti tertulis berupa surat yang menunjukkan penguasaan seseorang atas sebidang tanah namun bukan sebagai bukti kepemilikan,” ungkap Agus saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (23/9/2025).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, ia bilang, sertifikat girik dan dokumen tanah adat lainnya tidak akan berlaku lagi sebagai alat bukti kepemilikan tanah mulai tahun 2026.

Negara Perlu Ambil Langkah Lanjutan
Menurut Agus, persoalan ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam, apakah pengikatan girik tanah tersebut pada saat itu disertai dengan pengikatan hak tanggungan dan apakah di bank yang memberikan fasilitas kredit, hal tersebut diatur dalam regulasi kredit dan bagaimana mitigasi risiko kreditnya?
Oleh karenanya perlu penelusuran komprehensif dan dari pihak-pihak yang terkait kasus tersebut. “Dari penelusuran yang komprehensif, akan terlihat miss-nya dimana,” kata Agus.
Negara memang sudah seharusnya tidak lepas tangan lantaran yang dirugikan dalam kasus ini adalah masyarakat. Para warga setempat juga bahkan diketahui sudah tak berada di kediamannya. Bahkan daerah yang diplot dengan BLBI itu sudah dikosongkan.
Ferry dari WALHI mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) untuk turun langsung mengecek ulang status tanah, dokumen dan batas-batasnya. Warga yang punya bukti kepemilikan sah juga harus dilindungi, jangan sampai mereka jadi korban padahal sama sekali tak berkaitan dengan kasus kredit tersebut.
“Kalau ada kelebihan luas lahan yang disita, harus dikoreksi. Dan ketiga, pemerintah harus pastikan ada kepastian hukum, kalo agunannya tidak sah, ya dibatalkan. Kalaupun ada tanah yang diambil untuk negara, warga harus dapat kompensasi yang adil,” tegas Ferry.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id

































