tirto.id - Apa yang Anda bayangkan tentang pisah ranjang? Ketika saya melempar pertanyaan tersebut ke sejumlah rekan, sebagian besar menautkannya dengan hubungan yang negatif.
"Hah, ngapain pisah ranjang? Nggak akur?"
"Amit amit, jangan sampai pisang ranjang. Kalau ada masalah mendingan dibicarakan baik-baik."
Ungkapan senada juga lazim dijumpai di masyarakat saat seseorang mengetahui ada saudara, tetangga, teman, atau kolega mereka yang berbeda kamar tidur atau kasur dengan pasangannya. Pisah ranjang dianggap sebagai hal yang tabu untuk dilakukan.
Namun selain keberadaan segala stigma negatif tersebut, pisah ranjang ternyata juga memiliki sejumlah alasan baik yang tak kalah penting.
Tak Selamanya Berarti Buruk
Tidur dalam satu kasur dengan pasangan memang dapat membawa dampak emosional yang baik, salah satunya adalah dengan menyentuh dan menatap pasangan. Maka tak heran jika ranjang kerap diandaikan sebagai sebuah simbol perkawinan, sama seperti cincin.
Artinya, ketika ada pasangan suami-istri yang tidur di kamar berbeda, orang akan mengaitkan dengan keretakan rumah tanggal. Padahal, tak sepenuhnya demikian.
Pada tahun 2018, lembaga riset YouGov melakukan sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris Raya. Dalam survei itu, 15 persen pasangan mengaku bahwa mereka memilih untuk tidur terpisah dengan pasangannya. Dari jumlah tersebut, 5 persen tidur di kasur terpisah dalam kamar yang sama dan 10 persen sisanya tidur dalam ruang yang berbeda.
Riset mandiri oleh ABC sementara itu menemukan bahwa 75 persen orang mengalami masalah kesulitan tidur sehingga mereka memilih untuk memiliki tempat tidur terpisah dengan pasangannya.
Jacqueline Hallyer, seorang terapis psikoseksual klinis dan konsultan hubungan, mengatakan bahwa sepasang suami istri ataupun kekasih lebih baik pisah ranjang jika merasa 'diselimuti' oleh 'nuansa negatif.' Namun, hal ini tak melulu soal pertengkaran.
"Pertanyaannya adalah bukan tentang sebaiknya kamu tidur di ranjang yang sama, tetapi apa artinya itu [tidur seranjang] dan bagaimana kamu bisa memenuhi 'kebutuhanmu'?” ungkap Hallyer, masih dari ABC.
Kendati demikian, Hallyer tidak menampik bahwa sebagian besar orang akan menganggap bahwa tidur di ranjang yang berbeda adalah bentuk penolakan terhadap pasangannya.
The New York Times pernah mengulas survei dari National Sleep Foundation yang menemukan bahwa satu dari empat orang Amerika memilih tidur di kamar terpisah. Alasannya tak melulu pertengkaran. Ada yang menimbang alasan kesehatan, misalnya, orang yang mengidap apnea, hingga sindrom kaki gelisah.
Ada yang berpisah ranjang karena sang pasangan gemar menonton tayangan olahraga hingga larut malam. Lainnya lebih suka bangun pagi untuk yoga. Pasangan-pasangan tersebut memilih saling menghargai waktu tidur mereka. Ada yang memilih tidur terpisah karena sang istri, misalnya, tidak dapat tidur karena sang suami mengorok terlalu keras dan mengganggu tidurnya.
"Bukannya tidak saling mencintai, tetapi pada titik tertentu Anda hanya ingin kamar Anda sendiri," kata Barbara Tober, mantan ketua Museum Seni dan Desain, masih The New York Times.
Membawa Dampak Positif?
Dalam makalah yang ditulis oleh Kneginja Richter dan empat orang koleganya, ditemukan bahwa masalah tidur memang memiliki dampak jangka panjang bagi sebuah hubungan.
Richter, dkk. (2016) memaparkan bahwa tidur yang tak nyenyak bisa membawa dampak meningkatkan masalah emosional dan fisik bagi seseorang. Mereka mengambil contoh pasangan yang salah satunya memiliki gangguan tidur seperti mengorok dan insomnia. Secara sadar atau tidak, mereka yang mengalami hal tersebut akan menganggu pasangannya yang sedang terlelap dan ini akan berpengaruh terhadap keadaan emosional mereka.
Dalam makalah ini, Richter, dkk. pun menyinggung studi El-Sheikh, dkk. berjudul "Quick to berate, slow to sleep: Interpartner psychological conflict, mental health, and sleep" (PDF, 2013) yang dilakukan terhadap 135 pasangan menikah atau tinggal bersama. Mereka mendapati hasil bahwa masalah tidur pada pasangan bisa membawa dampak kesehatan mental, misalnya depresi dan rasa gelisah.
"Di antara segala keuntungan dari tidur bersama, jika salah seorang dari sepasang kekasih memiliki masalah tidur atau kebiasaan tidur yang buruk, ia dapat memengaruhi lainnya dan meningkatkan produksi dari hormon kortisol yang memicu stres, ini tentu berdampak pada hubungan mereka," kata Mary Jo Rapini, seorang psikoterapis hubungan dan kemesraan di Houston, masih dari The New York Times.
Jika seseorang kurang tidur, tentu konsentrasinya bisa terganggu kala bekerja. Selain itu, membawa kendaraan dalam kondisi mengantuk juga berbahaya bagi keselamatan jiwa.
Tentu saja, kondisi ini tak bisa diterapkan oleh semua pasangan. Mereka yang memilih untuk berpisah ranjang atau kamar tidur harus memiliki hubungan emosional yang kuat dengan partner mereka, sehingga keduanya masih bisa menikmati kebersamaan saat nantinya kembali berada di ranjang yang sama.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara