Menuju konten utama
Misbar

Petualangan Sherina 2 dan Nostalgia Satu Generasi

Petualangan Sherina 2 menghadirkan elemen nostalgia yang terbilang sukses mengail emosi penonton. Membayar tuntas penantian selama 23 tahun.

Petualangan Sherina 2 dan Nostalgia Satu Generasi
Petualangan Sherina. foto/Rilis Miles

tirto.id - “Dia pikir dia yang paling hebat...

Betapa bahagianya... Punya banyak teman... Betapa senangnya...

Sebagian besar Generasi Y, atau kerap disebut Milenial, pasti familiar dengan cuplikan lirik tersebut. Ketika film drama musikal di mana lagu itu jadi bagiannya rilis di bioskop, mereka berusia sekitar 6 hingga 15 tahun. Itulah film Petualangan Sherina (2000).

Ia hadir ketika perfilman Tanah Air tengah lesu. Itu pun masih ditambah situasi sosial-politik yang belum cukup stabil usai Reformasi 1998. Begitu pun situasi ekonomi masih terseok-seok akibat resesi ekonomi 1997.

Namun, selaiknya oasis di tengah padang gurun, Petualangan Sherina tetap mampu menggaet animo besar penonton dan sukses besar. Sekarang, ia malah terhitung jadi salah satu klasik dalam khazanah perfilman Indonesia.

Bersama Ada Apa Dengan Cinta? (2002), ia lalu dianggap sebagai simbol kebangkitan film nasional pasca-Orde Baru.

Kekuatan Petualangan Sherina kala itu terletak pada tangan dingin Mira Lesmana dan Riri Riza yang mengemas kisah persahabatan sepasang bocah SD dalam bingkai petualangan nan seru. Pun ia didukung oleh lagu-lagu yang begitu membekas nada dan liriknya.

Lekas itu, tren anyar pun tercipta. Anak-anak kecil hingga remaja pada masa itu berebut meniru karakter Sherina M. Darmawan (Sherina Munaf) dan Sadam Ardiwilaga/Yayang (Derby Romero).

Model tas yang dikenakan Sherina di sepanjang film laku keras di pasaran. Buku berisi poster Sadam dan Sherina mejeng di berbagai etalase toko buku papan atas. Jenama permen karet yang kerap dikonsumsi Sherina bahkan juga turut booming.

23 tahun setelah film pertama rilis, sekuel yang lama dinanti akhirnya tiba dalam wujud Petualangan Sherina 2. Bagi mereka yang pernah tumbuh bersama Sherina dan Sadam, nostalgia tentu tak dapat ditolak begitu saja.

Dalam sekuelnya ini, Sherina kecil yang tangkas dan penuh semangat itu bertransformasi menjadi seorang jurnalis. Sementara itu, Sadam bekerja di NGO yang fokus pada isu konservasi orang utan di Kalimantan.

Lantas, apa saja elemen yang berubah dan berkembang dari film pendahulunya? Bagaimana pula penerimaan penonton masa kini terhadap lanjutan kisah Sherina dan Sadam yang beranjak dewasa?

Semesta Paralel

Yang dapat segera disadari penonton dari Petualangan Sherina 2 adalah adegan dan desain produksi yang mengandung banyak similaritas dengan film pendahulunya. Sekuens pembukanya bahkan langsung memantik memori masa kecil anak-anak milenial lewat lagu “Menikmati Hariku”.

Kali ini, selain berakting sebagai karakter utama, Sherina turut mengambil peran music director. Dia nyaris tidak mengubah sedikit pun nada dasar tembang-tembang fenomenal dari film pertama. Yang berubah adalah liriknya, tapi itu semata-mata menyesuaikan kondisi terkini karakter Sherina yang telah matang secara usia dan pengalaman.

Alhasil sensasi nostalgia itu telah harum semerbak sejak babak pertama film dimulai.

Motivasi protagonis pun serupa belaka dengan film terdahulu. Sherina kembali harus pergi ke tempat yang tak dia inginkan. Jika sebelumnya mesti pindah dari Jakarta ke Bandung, dia kini mesti menggeser liputannya dari Davos ke Kalimantan.

Namun, keengganan Sherina berangkat ke Kalimantan sirna tatkala sang ayah (Matias Muchus) membuka kotak lama berisi barang-barangnya semasa bocah. Isi kotak itu tak hanya mengingatkan Sherina pada pengalaman serunya dulu, tapi juga membuat penonton kian hanyut dalam arus besar memori masa lampau.

Sesampainya di Kalimantan, Sherina mendapati rentetan kejutan demi kejutan. Bermula dari reuni yang tak disangka-sangka dengan Sadam hingga mesti berhadapan dengan pemburu satwa langka. Semua itu lantas menggiring mereka berpetualang kembali.

Dalam petualangan tersebut, terdapat pula elemen-elemen mirroring yang ciamik. Bila di film pertama Sadam yang angkuh berubah menjadi lebih baik berkat Sherina, kali ini Sherina-lah yang belajar menjadi lebih baik berkat refleksi Sadam.

Maka kehadiran lagu-lagu, seperti “Nostalgia Bersama” hingga remake romantis “Mengenang Bintang”, tak sekadar menghadirkan kesegaran, tapi juga mengacak-acak sanubari penonton yang tumbuh besar bersama petualangan mereka berdua.

Puncaknya, setelah segala konflik teratasi, Sherina merefleksikan pencerahan baru yang dia peroleh dalam lagu “Hari Kita Berdua”.

Kini “betapa bahagianya punya banyak teman” bertransformasi menjadi “betapa bahagianya bersama berdua”. Sebuah konklusi yang memuaskan bagi penantian sekain banyak orang akan kelanjutan hubungan Sadam dan Sherina.

Overall, sekuel ini tampaknya memang diniatkan untuk membangkitkan kenangan manis penonton setianya. Strategi tersebut sejauh ini sangat berhasil sebab Petualangan Sherina 2 mampu meraup lebih dari 1 juta penonton dalam seminggu perdana masa penayangannya.

Similaritas yang hadir secara bertubi-tubi di sepanjang film sungguh ampuh mengeksploitasi perasaan rindu. Seakan menyaksikan dimensi paralel yang memboyong jiwa para penonton milenial kembali ke masa-msa bocah mereka dulu.

Cerita Nostalgia

Film bukan hanya soal pathos, tapi juga soal logos. Konstruksi kisah dan bangunan logika yang terjalin dalam Petualangan Sherina 2 sesungguhnya amat sederhana, termasuk dalam upayanya menyajikan isu konservasi lingkungan yang sangat esensial.

Tampaknya Mira Lesmana dan Riri Riza beserta segenap tim produksi menyadari betul kekurangan dari segi plotting tersebut. Atas dasar itu, taktik mereka sejatinya sudah tepat untuk berkonsentrasi memperkuat elemen-elemen nostalgik dalam filmnya.

Penantian 23 tahun rasanya terbayar lunas lewat adegan-adegan dansa, set musikal, serta balutan lantunan lagu dan musik yang dihadirkan. Bila sudah demikian, tak bakal ada lagi yang peduli dengan alur kisah yang bolong-bolong di sana-sini.

Terlepas dari itu, saya hendak memberi apresiasi khusus bagi penampilan Isyana Sarasvati selaku salah seorang karakter antagonis dalam film ini. Pembawaannya begitu natural ketika menghidupkan kepribadian biduan asal kampung yang mendadak kaya raya usai diperistri konglomerat nan problematik.

Di luar dugaan, Isyana amat luwes meresapi karakter komikal bergaya hidup glamor dengan hobi yang sungguh sangat tidak lazim dan lingkaran pergaulan sosialitanya. Kualitas vokalnya dalam sekuens musikal tentu tak perlu kita ragukan lagi.

Pada akhirnya, Petualangan Sherina 2 adalah parade nostalgia sebuah generasi yang begitu manis. Hebatnya lagi, nostalgia itu berlangsung secara serentak di seluruh tanah air.

Orang-orang kembali riuh membicarakan pendewasaan Sherina dan Sadam, melantunkan lagu-lagu teranyar dalam siul tanpa sadar, serta berbondong-bondong mencari photocard eksklusif milik karakter kesayangan masing-masing.

Rasanya hype baru telah tercipta. Akankah ini sinyal bagi kelanjutan petualangan berikutnya, mengingat epilog film yang sengaja dibuat mengambang?

Apapun itu, biarlah semesta yang bekerja.

Betapa bahagianya... Denganmu lagi, bertualang kembali.

Mensyukuri hari kita berdua!

Baca juga artikel terkait SHERINA atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi