tirto.id - Dipupuk sejak lama, hubungan Jerman dan Turki mampu melewati gejolak global walaupun tak sedikit halangan yang bergerak naik turun menghadang posisi mereka. Namun, jalinan relasi tersebut terancam buyar setelah kondisi kedua negara belakangan ini berada di titik nadir.
Saling-serang pendapat, klaim, dan pembelaan mewarnai tajuk berita yang berasal dari pernyataan petinggi pemerintahan keduanya. Baik Jerman maupun Turki menganggap pihaknya paling benar serta menampik segala tuduhan yang datang dari seberangnya.
Kondisi Jerman dan Turki berada pada suhu panas disertai perang kata dan pembelaan diplomatik. Ketegangan yang awalnya hanya berpendar dalam riak kecil memuncak setelah Menteri Luar Negeri Jerman mengimbau warga negaranya untuk tidak bepergian ke Turki melalui kebijakan travel warning.
Pemerintah Jerman mengeluarkan pengumuman travel warning setelah Turki menahan enam aktivis hak asasi manusia yang di dalamnya terdapat warga negara Jerman, Peter Steudtner. Penangkapan mereka dilatarbelakangi indikasi bahwa keenam orang tersebut terhubung dengan gerakan oposisi. Rencananya, pihak berwenang akan memasukkan mereka dalam proses pra-pengadilan.
Kanselir Angela Merkel mengutuk keras segala bentuk penahanan tanpa dilandasi bukti kuat dan menyebutnya sebagai tindakan ketidakadilan di samping pihak pemerintah akan berusaha keras menyelesaikannya dari segala aspek untuk menjamin bebasnya Steudnter.
Steudtner merupakan perwakilan Amnesty International yang datang ke Turki untuk pertama kalinya guna mengikuti konferensi. Saat ditangkap, Steudtner sedang menjalani pelatihan keamanan IT dan penyelesaian konflik tanpa tindak kekerasan.
Tak hanya Steudtner, pihak pemerintah Turki juga menahan sembilan warga Jerman lainnya dalam kasus terpisah, termasuk dua wartawan Deniz Yucel dan Mesale Tolu. Otoritas berwenang Turki menuduh mereka telah melakukan praktik Nazi dengan menolak kedatangan delegasi parlemen Jerman saat hendak mengunjungi pasukan Jerman yang sedang menjalani operasi gabungan melawan ISIS.
Pengamat menganggap penahanan warga Jerman oleh Turki adalah upaya Instanbul dalam mendesak Berlin untuk mendeportasi warga negara Turki yang terkait dengan tindak terorisme di Jerman. Jerman sendiri merupakan rumah bagi sekitar 3 juta warga asli Turki.
Rupanya, tak hanya kebijakan peringatan perjalanan saja yang diteriakkan pemerintah Jerman. Menurut Gabriel, pemerintahnya juga akan meninjau ulang tentang kebijakan penanganan pengungsi bersama Uni Eropa serta proyeksi investasi, ekspor-impor, maupun aktifitas perekonomian lainnya yang melibatkan Turki.
“Pemerintah dan partai koalisi akan mendiskusikan lebih lanjut mengenai konsekuensi dari kebijakan ini,” ungkap Gabriel seperti diwartakan The Washington Post.
Pemerintah Jerman, seperti ditulis Al Jazeera, juga menekan Turki untuk kembali ke nilai-nilai yang dianut Eropa apabila ingin keharmonisan kedua negara dipertahankan. l
Sikap Turki dan Gertakan yang Beralasan
Pemerintah Turki tak tinggal diam. Mevlut Cavusoglu, Menteri Luar Negeri Turki menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Jerman perihal peringatan untuk perusahaan agar tidak melakukan bisnis di negaranya dan pedoman travel advisories dengan tegas.
“Jerman tahu betul jika orang-orang Turki tidak pernah membungkuk menghadapi segala bentuk ancaman atau gertakan. Kami akan melakukan evaluasi terhadap ancaman yang dibuat dengan keseriusan dan tentu saja kami akan meresponsnya,” katanya seperti dilansir The New York Times.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meluapkan emosinya kepada Jerman karena memberikan suaka kepada para mantan perwira Angkatan Darat Turki serta pejabat lainnya yang dianggap memainkan porsi penting dalam usaha kudeta pemerintahan Erdogan tahun lalu di Turki. Erdogan juga menyatakan Jerman sudah menempatkan anggota Partai Pekerja Kurdistan dan FETO yang berafiliasi kepada Gulen selama beberapa dekade terakhir.
Ucapan Erdogan dibuktikan dengan arsip setebal 4.500 yang dikeluarkan pemerintahannya menyoal afiliasi dukungan kepada Gulen.
"Pemerintah yang menyembunyikan teroris Turki di Jerman pertama-tama harus menjelaskan hal ini," kata Erdogan.
"Mengapa mereka bersembunyi di Jerman? Bagaimana mereka bisa menjelaskan dukungan material yang diberikan? "
Gangguan lain yang mengusik Erdogan adalah penyelidikan jaksa Jerman kepada perwakilan direktur urusan agama Turki. Erdogan menganggap pihak jaksa menuduh perwakilan Turki melakukan tindak mata-mata kepada orang-orang Turki di Jerman.
Tak hanya itu saja. Pada musim semi kemarin terjadi perselisihan yang melibatkan masyarakat diaspora Turki. Saat itu pejabat Jerman menolak izin partai politik Erdogan untuk meraih dukungan menjelang referendum yang mana referendum tersebut bakal memperluas kekuasaan Erdogan selaku presiden.
Beberapa Minggu lalu surat kabar Jerman Die Zeit memberitakan bahwa pemerintah Turki telah melaporkan 68 perusahaan asal Jerman yang memiliki relasi dengan Gulen. Di antara daftar tersebut terdapat nama BASF dan Daimler, dua perusahaan besar di Jerman.
Tudingan Die Zeit dibantah oleh Deputi Perdana Menteri Mehmet Simsek. Mehmet beralasan bahwa Jerman merupakan destinasi utama perdagangan Turki pada 2016 dengan total pembelian barang sebesar 14 miliar lira. Selain itu, Jerman juga menjadi tujuan impor kedua setelah China dengan nilai perdagangan 21,5 milyar lira.
Gejolak antara Jerman dan Turki mempertaruhkan banyak hal. Mengingat selain kedua negara tersebut merupakan sekutu di NATO, Jerman juga adalah mitra dagang terbesar Turki. Di lain sisi, masyarakat asli Turki sendiri membentuk minoritas terbesar di Jerman ditambah menurut kamar dagang Jerman-Turki lebih dari 6.800 perusahaan Jerman beroperasi di wilayah Turki.
Selain dari sisi ekonomi, yang dipertaruhkan dari konflik Jerman dan Turki saat ini ialah masa depan persetujuan penanggulangan pengungsi antara Uni Eropa dan Turki. Jerman mengingatkan Turki bahwa persetujuan tersebut berpeluang dibatalkan. Angela Merkel dipandang menjadi sosok kunci guna mengubah pikiran Erdogan, mengingat Turki mendapatkan bantuan miliaran euro dan potensi diterima sebagai anggota Uni Eropa.
Di waktu lampau, Jerman mungkin enggan memusuhi Turki karena Turki bisa membendung arus pengungsi di Eropa. Hasilnya jelas: tekanan migrasi berkurang pada tahun lalu. Namun, sekarang kehadiran Turki dirasa tidak penting. Hal itu dapat dilihat saat Jerman mempersiapkan pemilihan umum federal dan para politikusnya menjadikan isu Turki demi mendapatkan posisi.
Dalam kolom tulisannya di surat kabar Aksam yang pro-Erdogan, Kurtulus Tayiz menjelaskan Turki sebetulnya ingin menjadi mitra strategis bagi Jerman sampai kapan pun. Akan tetapi dia menambahkan, wacana itu perlu dikaji ulang sebab Jerman dan Amerika Serikat telah bertransformasi menjadi pusat kegiatan yang menimbulkan ancaman internal maupun eksternal terhadap kelangsungan hidup Turki.
Ozgur Unluhisarcikli, perwakilan Ankara dari organisasi penelitian German Marshall Fund of the United States melihat sikap Turki percaya bahwa Jerman yang akan melunak.
“Turki sedang menerapkan permainan dengan harapan Jerman akan takut. Tapi itu mungkin tidak terjadi saat ini,” terang Unluhisarcikli.
Profesor hubungan internasional asal Near East University, Siprus Utara, Huseyin Pazarci seperti dikutip Bloomberg, mengatakan konflik Jerman dan Turki merupakan krisis terburuk sejak Perang Dunia II.
“Ini adalah krisis terburuk yang pernah terjadi semenjak meletusnya Perang Dunia II saat Turki dan Jerman mengambil posisi berlawanan meskipun Turki tidak mengikuti perang,” ungkap Pazarci.
Renggangnya hubungan Jerman dan Turki dirasa Galip Dalay, direktur riset di Al Sharq Forum—sebuah kelompok pemikir berbasis Instanbul—tidak akan meningkat sampai relasi kedua negara berakhir. Apabila berakhirnya hubungan itu memang benar-benar terjadi, hempasan besar bakal melanda Jerman dan Turki. Sebab pada dasarnya, kedua negara tersebut saling tergantung satu sama lain.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Maulida Sri Handayani