Menuju konten utama

Perempuan di Balik Poster "We Can Do It"

Beberapa simbol memunculkan interpretasi penguatan peran perempuan, tetapi masih tetap ada yang menuai kritik dari kaum perempuan.

Perempuan di Balik Poster
Naomi Parker Fraley. FOTO/Istimewa

tirto.id - Pernahkah Anda melihat poster perempuan berbandana merah polkadot, menyingsingkan lengan pakaian biru, seraya menunjukkan bisepnya dan berkata “We Can Do It!”? Karya seni yang sering dianggap simbol kekuatan perempuan ini dibuat oleh J. Howard Miller, seniman grafis dari Amerika Serikat, pada tahun 1942.

Kisahnya berawal setahun setelah pangkalan militer AS di Pearl Harbor diserang pada 1941. Negara Paman Sam kian gencar memperkuat industri pertahanannya. Perempuan pun terlibat dalam industri tersebut menyusul para laki-laki yang lebih dulu mendominasi di sana.

Dalam tulisan Chitose Sato (PDF) yang dimuat di The Japanese Journal of American Studies (2000) dinyatakan, sebanyak 486.073 perempuan masuk ke industri penerbangan AS, mengisi 36,6% jumlah pekerja sepanjang Perang Dunia II. Pada awal tahun 1942, The San Diego Tribune-Sun mewartakan ada 60 janda korban penyerangan Pearl Harbor yang mendaftar kerja di Lockheed and Vega Aircraft Companies di California. Ada satu moto yang mereka pegang kala itu: “Buat pesawat-pesawat tetap terbang untuk membalas dendam kematian suami-suami kita”.

Perusahaan lain yang juga menyokong industri pertahanan AS adalah Westinghouse Electric & Manufacturing. Tahun 1941, perusahaan ini mulai memasuki bisnis elektronik militer. Pada dekade 1940-an ini, Westinghouse menjadi kontraktor nomor wahid untuk produksi radar yang dipakai untuk keperluan perang. Untuk membakar semangat patriotisme warga AS, Westinghouse menyewa Miller untuk membuat poster berpesan motivasi.

Foto salah satu perempuan pekerja di pabrik merekalah yang menjadi inspirasi Miller dalam membuat “We Can Do It!”. Mulanya poster Miller hanya ditampilkan di sekitar pabrik-pabrik Westinghouse. Tapi beberapa dekade kemudian, gambar tersebut beredar di mana-mana dalam berbagai bentuk, bahkan menjadi bagian dari budaya populer yang terus direproduksi dengan wajah-wajah lain.

Siapa Tokoh di Poster "We Can Do It"?

Tokoh yang digambarkan dalam “We Can Do It” kerap dikenal sebagai Rosie the Riveter—karakter perempuan pekerja pabrik. Berbagai narasi soal Rosie the Riveter sempat beredar. Ada yang berpendapat bahwa Rosie the Riveter yang sebenarnya merupakan karakter fiktif dalam lukisan berbeda karya Norman Rockwell pada tahun 1943 yang muncul di kover The Saturday Evening Post. Untuk mengabadikan karakter fenomenal ini, lagu bertajuk “Rosie the Riveter” pun sempat dirilis oleh Redd Evans dan John Jacob pada awal 1943.

Kendati “We Can Do It!” dan sosok Rosie the Riveter telah menjadi populer, tidak pernah diketahui jelas siapa sosok model yang digambar Miller. Berbagai klaim pun muncul di macam-macam media. History.com menulis pada tahun 2010 bahwa Geraldine Doyle-lah yang menjadi inspirasi pembuatan poster tersebut.

Pada usia 17 ketika bekerja di pabrik, seorang fotografer sempat memotret dirinya dan foto yang dihasilkannya tersebut dianggap sebagai sumber ide Miller. Sekitar tahun 1980-an, Doyle membaca sebuah majalah dan mengidentifikasi wajah perempuan di “We Can Do It!” sebagai dirinya. Klaim Doyle seputar “We Can Do It!” sudah beredar sejak tahun 1994 di Michigan History Magazine, disusul kemudian di media cetak lain, buku sejarah, dan tulisan di internet. Tahun 2002, senator Michigan bahkan memberikan penghargaan kepadanya.

“Sedih rasanya saya tidak mengetahui bahwa model di poster “We Can Do It!” adalah saya jauh-jauh hari sebelumnya,” tutur Doyle pada Lansing State Journal.

Infografik Perempuan dalam Tanda

Sementara dalam situs Norman Rockwell Museum disebutkan, perempuan di balik lukisan Rosie the Riveter adalah Mary Doyle Keefe. Ketika berusia 19, Rockwell yang merupakan tetangga Keefe menghubungi dan memintanya untuk menjadi model lukisan propaganda semangat juang perempuan AS.

Klaim lain seputar perempuan di balik “We Can Do It” datang dari profesor bidang Komunikasi dari Seton Hall University, James Kimble. Berdasarkan risetnya yang dipublikasikan di Rhetoric & Public Affairs (2016), ia menyebut model poster tersebut bukan Doyle, melainkan Naomi Parker Fraley.

Dalam situs Seton Hall University dilaporkan, Kimble menelusuri data-data foto yang menjadi inspirasi poster “We Can Do It!”. Dari situ, ia menemukan bahwa model yang dijepret sang fotografer adalah pekerja di Alameda Naval Air Station di Oakland, California. Karenanya, klaim Doyle yang berdomisili di Michigan dianggapnya tidak valid.

Untuk membuktikan bahwa perempuan yang menjadi inspirasi Miller adalah warga California, Kimble pergi ke kota tersebut sampai akhirnya bertemu dengan Fraley. Dalam perbincangan dengan Kimble, Fraley mengulas kembali pengalamannya saat fotografer mengabadikan aktivitasnya semasa bekerja di Alameda, mengafirmasi dugaan Kimble. Selanjutnya, berbagai media pun mengakui bahwa Fraley-lah sosok asli di balik “We Can Do It!”, terlihat dari artikel-artikel yang dipublikasikan selepas wafatnya perempuan ini pada Januari 2018 silam.

Namun tak selamanya pose ala "We Can Do It" menuai hasil yang menggembirakan. Beberapa malah mendapat kritik. Saat penyanyi Beyonce memasang pose itu, ada beberapa tanggapan negatif yang muncul. Penulis dan aktivis buruh, Rebecca Winson, menulis di The Guardian bahwa poster itu memang menimbulkan impresi adanya penguatan serta peran perempuan dalam membela negara atau terjun ke ranah publik. Namun, menurut Winson, Miller tidak mempunyai maksud membuat pesan itu.

Lebih lanjut Winson mengkritisi, glorifikasi sosok yang kerap dikenal sebagai Rosie the Riveter ini membuat fakta bahwa perempuan pekerja pabrik harus kembali ke rumah dan tetap mengurusi hal-hal domestik—peran ganda perempuan klasik yang masih ditemukan sampai sekarang. Selain itu, ada banyak hak-hak perempuan lain yang masih terabaikan, misalkan kesenjangan upah antara lelaki dan perempuan.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Humaniora
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono