Menuju konten utama

Penyidik Polisi 'Jual' Kasus, KPK Perlu Membentuk Satgas Intelijen?

DPR mengusulkan KPK membentuk unit teliksandi untuk mencegah kasus pemerasan oleh penyidik. Aktivis antikorupsi menilai itu bukan solusi.

Penyidik Polisi 'Jual' Kasus, KPK Perlu Membentuk Satgas Intelijen?
Petugas menunjukkan barang bukti pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali disorot bukan karena prestasi. Setelah beberapa waktu lalu informasi penggeledahan bocor sehingga penyidik gagal menyita barang bukti dari PT. Jhonlin Baratama dalam kasus suap pajak Angin Prayitno Aji, kali ini masalah muncul dari penyidik unsur kepolisian.

AKP Stefanus Robin Pattuju, mantan Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang ditugaskan Mabes Polri ke KPK pada Agustus 2019, diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai Syahrial sebesar Rp1,5 miliar dengan iming-iming tidak lagi melanjutkan penanganan perkara.

Pada Selasa (20/4/2021) kemarin, tim KPK menggeledah rumah dinas Syahrial di Kelurahan Pahang, Sumatera Utara, terkait dugaan penerimaan hadiah atau janji lelang jabatan tahun 2019.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menilai kasus ini menjadi pekerjaan berat bagi Dewas KPK. Ia dan komisinya pun memberikan solusi: Agar Dewas KPK membentuk unit baru semacam satgas intelijen untuk mengawasi proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. “Yang secara terpisah melakukan pekerjaan pengumpulan dan pendalaman informasi ada tidaknya perilaku menyimpang dari penyelidik, penyidik, dan penuntut umum KPK beserta jajaran ke atasnya,” kata Arsul saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (22/4/2021) siang.

Arsul yakin keberadaan unit atau satgas “yang setiap saat siap bergerak, maka isu bahwa penyelidikan dan penyidikan di KPK bisa 'dimainkan' akan dapat diminimalisasi.”

Selain membentuk unit intelijen, Arsul juga berharap KPK “mengembangkan kerja sama dengan Propam Polri” dengan maksud yang sama.

Arsul belum bisa menjawab apakah unit atau satgas tersebut hanya dalam konteks mengawasi dan memberikan laporan saja atau bisa melakukan penindakan. “Kalau KPK mau, bisa mereka buat peraturan yang mengatur soal itu, karena UU-nya KPK bisa tangani korupsi termasuk suap aparat penegak hukum,” kata dia.

Tidak Tepat

Namun, bagi Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, usulan tersebut bukan solusi atas ragam permasalahan yang terjadi di komisi antirasuah. Toh saat ini Dewas KPK telah memiliki organ pelaksana pengawasan yang mirip dengan unit intelijen, tapi tetap saja terjadi masalah.

“Itu organ pelaksana memiliki jabatan fungsional yang dapat melakukan pengawasan secara aktif dengan menerima mandat dari Dewas untuk mengawasi hal-hal tertentu,” kata Zaenur saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore. “Apalagi, membentuk unit atau satgas belum jelas usulannya seperti apa, tanggung jawabnya seperti apa, perintah dari siapa dan kepada siapa,” tambahnya.

Semakin salah kaprah jika Dewas KPK membentuk unit atau satgas baru yang mencontoh Divisi Propam Polri. Menurutnya divisi tersebut justru memiliki banyak masalah. “Justru di sana masalah etik yang terus mendera di lembaga. Kok malah KPK harus mencontoh ke sana? Menurut saya itu tidak tepat.”

Untuk mengatasi hal serupa tak terjadi, menurutnya tidak lain dengan mengoptimalisasi yang sudah ada. “Saya setuju jika Dewas melakukan pengawasan proaktif terhadap pelaksana tugas tanpa membuat satgas baru. Sudah ada barang dan orangnya. Kalau mau ditambah orangnya silakan. Dimanfaatkan yang ada.”

Menurut Zaenur, masalah akut yang terjadi di komisi antirasuah adalah efek dari revisi UU KPK yang dilakukan pada 2019 lalu. Sebelum revisi UU KPK, komisi antirasuah memiliki pengawasan internal yang sangat efektif dari Kedeputian Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM). “Sebelum ada Dewas, bukan berarti KPK bobrok. Justru sebelum revisi, adalah lembaga yang sangat keras dalam menjaga integritas pegawai,” kata dia.

Berkat revisi yang didukung penuh partai-partai di parlemen itu, KPK menjadi lembaga yang birokratis dalam melakukan kerja-kerja penindakan seperti geledah, sadap, dan sita, katanya.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berpendapat senada. “Dewas KPK sudah punya kewenangan untuk bergerak menelusuri dugaan pelanggaran kode etik,” kata Kurnia kepada reporter Tirto, Kamis. Selain itu, KPK dikhawatirkan makin birokratis dengan semakin banyaknya divisi yang dibentuk.

Kurnia mengatakan pemeriksaan harus bekerja lebih komprehensif dan investigatif. Misalnya, menyelidiki apakah penyidik tersebut sudah sering melakukan pemerasan atau tidak. Kemudian mencari tahu penyidik memeras Walikota Tanjungbalai bergerak sendiri atau diperintahkan dari pihak tertentu.

“Jadi pemeriksaan harus berjenjang, tidak hanya kepada penyidiknya, tetapi kepada atasannya, deputi penindakan, itu semua harus diperiksa,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SUAP PENYIDIK KPK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan & Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan & Haris Prabowo
Penulis: Riyan Setiawan & Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino