Menuju konten utama

Pembatasan Medsos dan Gadget untuk Siswa Bak Pisau Bermata Dua

Saat ini memang harus ada pembatasan penggunaan gadget bagi siswa termasuk dalam konteks pemberian tugas sekolah. Bagaimana menurut Anda?

Pembatasan Medsos dan Gadget untuk Siswa Bak Pisau Bermata Dua
Sejumlah siswa mengerjakan soal UASBN 2019 menggunakan ponsel di MAN 2 Model Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (20/3/2019). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/ama.

tirto.id - Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengusulkan pembatasan penggunaan media sosial (medsos) maupun gadget untuk anak. Usulan ini disampaikan kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Salah satu yang didorong adalah tidak lagi memberikan tugas lewat gadget.

Menteri PPPA, Arifah Fauzi, mengusulkan agar sekolah tak menugaskan anak-anak melalui gadget karena penugasan anak kini banyak disampaikan melalui gadget oleh guru kepada orangtua siswa.

"Kami sedang mengusulkan kepada Mendikdasmen, 'Prof, boleh enggak kami dari kementerian mengusulkan untuk tidak menugaskan sekolah ke anak-anak tidak lagi melalui gadget, tetapi melalui manual saja'. Sekarang kan semua lewat WhatsApp," ujarnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2025).

Kini, Kementerian PPPA sedang membahas usulan tersebut juga bersama pihak terkait selain Kemendikdasmen. Arifah pun mengaku menyetujui pembatasan media sosial atau penggunaan gadget tersebut.

Sebab, ada negara lain yang juga menerapkan pembatasan media sosial yang sama, salah satunya Australia. Namun, ia menekankan bahwa penerapan rencana pembatasan gadget atau media sosial itu harus dilakukan melalui kajian terlebih dahulu.

Bagaimana pembatasan media sosial terhadap anak di negara lain?

Belajar dari Prancis Hingga Australia

Berdasarkan penelusuran Tirto, sejumlah negara memang melakukan aturan pembatasan penggunaan media sosial pada anak. Prancis misalnya, pada 2023 lalu baru saja menyetujui undang-undang yang mengharuskan platform media sosial seperti TikTok untuk memverifikasi usia pengguna dan mendapatkan persetujuan orang tua bagi pengguna di bawah usia 15 tahun, sebagai upaya untuk melindungi anak-anak secara online.

Dilansir dari Le Monde FR, upaya ini merupakan bagian dari serangkaian langkah pemerintah baru-baru ini yang bertujuan mengurangi waktu layar anak-anak dan melindungi mereka dari perundungan siber dan ancaman online lainnya.

Berdasarkan data dari Asosiasi e-Enfance untuk Perlindungan Anak Daring Prancis, 82 persen anak di bawah umur di Prancis terpapar konten berbahaya secara daring, seperti penjualan narkoba, senjata, serta gambar dan video yang tidak pantas. Penggunaan media sosial juga memicu meningkatnya kasus perundungan verbal dan pengucilan sosial di sekolah.

Sementara negara eropa lain yaitu Inggris lewat Undang-Undang Keamanan Online (Online Safety Bill) direncanakan akan membuat aturan larangan pembuatan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 13 tahun yang bertujuan untuk melindungi pengguna internet, termasuk anak-anak, dari konten berbahaya di platform media sosial.

Australia menjadi negara pertama yang memberlakukan larangan anak-anak dan remaja menggunakan media sosial seperti dikutip dari Antara. Lewat Undang-Undang yang disahkan oleh Senat Australia pada Kamis (28/11/2024) lalu, Pemerintah Australia resmi melarang siapapun yang berusia kurang dari 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, Snapchat, Facebook, Reddit, dan X.

Larangan penggunaan medsos tersebut dianggap penting untuk melindungi kesehatan mental dan kemaslahatan anak-anak muda. Lewat UU baru ini, mereka juga akan menjatuhkan denda maksimal hingga 50 juta dolar Australia (Rp516 miliar) bagi perusahaan pelanggar teknologi seperti Facebook, Instagram, dan TikTok.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Dalam sebuah studi, United Nations Children's Fund (UNICEF) menemukan bahwa 89 persen anak-anak di Indonesia menggunakan internet selama rata-rata 5,4 jam per hari. Waktu selama itu lebih banyak mereka habiskan untuk mengobrol dan berteman melalui media sosial (86,5 persen) dan mengakses konten video.

Namun, dampak buruk penggunaan internet di kalangan anak-anak yang diungkap dalam studi tersebut cukup mencengangkan. Sebanyak 48 persen anak pernah mengalami perundungan oleh anak lain; 50,3 persen anak terpapar konten bermuatan seksual melalui media sosial; dan 2 persen anak pernah diperlakukan atau diancam untuk melakukan kegiatan seksual. Parahnya di kalangan anak-anak dengan disabilitas, seluruh dampak tersebut lebih signifikan.

Menurut studi tersebut, 86,2 persen orang tua memberlakukan aturan atau pembatasan terkait penggunaan internet bagi anak mereka, dan 89,2 persen orang tua percaya bahwa ada bahaya di internet. Namun, sayangnya pemahaman orang tua mengenai aktivitas internet anak-anak masih rendah.

Sementara, data Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa penggunaan gawai di kalangan anak usia dini (di bawah usia 15 tahun) di Indonesia telah mencapai angka 36,99 persen.

Dalam konteks penggunaan gawai untuk belajar temuan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020 mengungkap lebih dari 71,3 persen anak usia sekolah memiliki gadget dan memainkannya dalam porsi yang cukup lama dalam sehari serta sebanyak 79 persen responden anak boleh memainkan gadget selain untuk belajar.

Penggunaan gadget, salah satunya artificial intelligence (AI) memang tak terhindarkan. Hal ini tergambarkan dari survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat, pada 21-27 Mei 2024, terkait penggunaan AI untuk pengerjaan tugas sekolah dan kuliah.

Hasil survei menunjukkan, dari 1.501 responden pelajar berusia 15-21 tahun, di tingkat SMA dan mahasiswa, sebanyak 86,21 persen mengaku menggunakan bantuan AI, setidaknya sekali dalam sebulan, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Lalu, bagaimana kata ahli tentang penggunaan gadget untuk kegiatan belajar mengajar termasuk untuk pengerjaan tugas di sekolah?

PELAKSANAAN UJIAN BERBASIS DIGITAL DI ACEH BARAT

Sejumlah siswa mengerjakan soal saat mengikuti ujian akhir semester berbasis digital atau 'online' dengan menggunakan telepon genggam di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 23 Aceh Barat Desa Alue Raya, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Senin (5/12/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nym.

Penting Membatasi Gadget Bagi Pelajar

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang usulan untuk tidak lagi memberikan tugas kepada siswa lewat gadget masuk akan namun tetap harus dikaji lebih jauh.

Ia memandang penggunaan gadget bagi siswa mempunyai dua sisi positif dan negatif. Dari sisi positif, ia menilai penggunaan gadget dapat mempermudah siswa mendapatkan informasi-informasi dan pengetahuan yang bermanfaat dari saluran di media sosial seperti YouTube, Instagram, dan lainnya.

Namun, di satu sisi ia menilai penggunaan gadget yang berlebihan pada siswa dinilai bisa menimbulkan efek yang berbahaya. Di antaranya menjadikan fokus belajar siswa terdistraksi, menurunkan minat dan motivasi belajar bahkan terpapar pornografi hingga penyebaran informasi hoaks.

”Problemnya adalah tidak adanya mekanisme kontrol yang ampuh untuk dapat mengawasi anak-anak dalam penggunaan medsos. Bahkan orang tua di rumah juga sering kecolongan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (15/1/2025).

Edi menilai untuk saat ini yang paling perlu dipikirkan adalah bagaimana agar gadget dan media sosial di dalamnya tidak mendistraksi aktivitas belajar anak-anak usia sekolah. Di level sekolah, ia menilai perlu ada regulasi untuk menjaga konsentrasi belajar siswa dengan cara mengatur penggunaan gadget hanya untuk keperluan tertentu saja.

“Untuk pembelajaran bahasa misal ya cukup pakai aplikasi semacam Duolingo atau lainnya itu pun juga harus dibatasi keperluan dan waktunya. Kalau tidak maka jelas akan mendistraksi fokus belajar siswa,” tambahnya.

Lebih lanjut, Edi juga menyinggung kebijakan pembatasan penggunaan atau pendaftaran akun medsos tidak boleh bagi anak di bawah usia 16 tahun yang dilakukan Australia. “Kita juga bisa melakukan itu, tapi tentu ini mekanisme yang perlu didiskusikan dengan pemilik platform media sosial itu sendiri. Walau sebenarnya tetap saja muncul celah untuk dapat dicurangi ketentuan tersebut,” ujarnya.

Gadget Ibarat Pisau Bermata Dua

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kebijakan pemerintah soal pendidikan dan anak harus konsisten dan berlandaskan penelitian yang mendalam. Termasuk soal usulan untuk tidak lagi memberikan tugas kepada siswa lewat gadget masuk akan namun tetap harus dikaji lebih jauh.

“Harus berdasarkan kajian yang sangat serius ya. Termasuk soal bagaimana cara kita menyikapi gadget ini gitu. Kalau cuman dilarang menggunakan gadget untuk ngasih tugas sekolah berarti di luar tugas boleh dong gitu,?” katanya saat dihubungi Tirto, Rabu (15/1/2025).

Meski begitu, ia sepakat penggunaan gadget di kalangan siswa saat ini sudah pada tahap mengganggu dan membuat kecanduan. Ia mencontohkan, banyak siswa yang memiliki masalah kesehatan mental akibat penggunaan gadget yang berlebihan.

Oleh sebab itu, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini harus berdasarkan penelitian yang mendalam yang melibatkan sejumlah pakar dan ahli. “Agar kebijakan yang dikeluarkan tidak hanya menjadi kertas ompong,” katanya.

Sama seperti artificial intelligence (AI), Ubaid menilai saat ini penggunaan gadget sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Maka dari itu, hal paling penting yang harus dilakukan adalah memikirkan strategi penggunaan gadget dengan baik dan bijak bagi siswa.

Ia mengibaratkan penggunaan gadget seperti penggunaan pisau. Bisa dimanfaatkan ke arah yang baik juga bisa dimanfaatkan ke arah yang buruk. Disinilah menurutnya peran lembaga pendidikan seperti sekolah untuk memberikan pemahaman terhadap ‘pisau’ bernama gadget ini.

“Menurut saya dampak buruknya (gadget) banyak. Dari pada sekedar melarang gitu ya. Larangan itu pasti tidak akan berdampak apa-apa bagi siswa tanpa ada pengetahuan yang cukup tentang bagaimana gadget, bagaimana teknologi, bagaimana AI hari ini,” katanya.

Ubaid menilai untuk saat ini memang harus ada pembatasan penggunaan gadget bagi siswa termasuk dalam konteks pemberian tugas sekolah sehingga porsi yang besar dalam pembelajaran itu tidak pada penggunaan gadget. ”Tapi dengan cara-cara yang konvensional seperti membaca buku, bersosialisasi, berkomunikasi dan seterusnya secara konvensional itu diberikan porsi yang lebih,” ujarnya.

Pelaksanaan ANBK di Ciamis

Siswa mengikuti ujian Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di SD Negeri 1 Gunungsari, Sadananya, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (4/11/2024).ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/rwa.

Siswa Berpikir Serba Instan

Berdasarkan pengamatannya, Ubaid dari JPPI menilai ada output yang berbeda dari penggunaan gadget sebagai media belajar dengan cara-cara konvensional seperti membaca buku atau menggunakan papan tulis.

Ia menilai penggunaan gadget sebagai media belajar sangat instan. Sementara, proses literasi, proses berpikir kritis itu butuh proses yang sistematis, terstruktur dan bangunan cara berpikirnya harus komprehensif dan panjang.

“Sehingga anak-anak tidak dilatih untuk menggunakan kemampuan membacanya itu untuk menalar sesuatu. Menggunakan kemampuan membacanya itu untuk membangun logika karena argumentasi terhadap apa yang dia pahami itu belum bisa dimanfaatkan lewat gadget ini,” katanya

Saat ini, Ubaid melihat, fenomena anak-anak yang masih usia sekolah cenderung menggunakan gadget untuk kepentingan-kepentingan yang sangat instan terutama untuk tugas sekolah. Imbasnya, tidak ada unsur nalar, unsur kritisisme dan unsur logika berfikir yang sistematis.

“Semua itu dapat kita temukan di cara-cara konvensional gitu. Baca secara sistematis, membangun argumentasi, menemukan titik-titik kritis dan juga paradoks dalam sebuah teks dengan konteks itu akan ketemu dengan model-model pembelajaran manual dan konvensional menurut saya,” tutup Ubaid.

Terbaru, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital dikabarkan akan mengeluarkan aturan soal pengaturan batas usia untuk mengakses media sosial.

Menkomdigi, Meutya Hafid, menyebut nantinya akan ada peraturan pemerintah yang mengatur hal tersebut. Usulan ini sudah dibahasnya dalam pertemuannya dengan Presiden Prabowo Subianto.

"Presiden kalau terkait anak-anak memang sangat atentif. Tadi beliau sampaikan lanjutkan, pelajari dan agar bisa dilaksanakan. Beliau amat mendukung bagaimana perlindungan anak ini bisa dilakukan ke depan di ranah digital kita," kata Meutya dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (15/1/2025).

Baca juga artikel terkait ANAK BERMAIN GADGET atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang