tirto.id - Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pembatasan terhadap 900 komoditas impor yang kini sedang dikaji.
Dia menilai kebijakan tersebut berpotensi memicu protes dari sejumlah negara-negara ekpsortir yang selama ini menjadi langganan Indonesia.
"Harus siap jika Indonesia [akan] digugat di WTO [Organisasi Perdagangan Dunia]. Kalau saya [eksportir] dari Cina, terus barang saya diotak-atik oleh pemerintah RI, saya akan lakukan retaliasi dagang dan itu enggak main-main," ujar Bhima di Jakarta, pada Selasa (28/8/2018).
Indonesia belum lama ini mendapat tuntutan retaliasi dari AS yang meminta ganti rugi sebesar Rp5 triliun. Tuntutan retaliasi, yang masih dibahas di WTO, itu berkaitan dengan regulasi Indonesia mengenai impor komoditas holtikultura, produk hewani dan hewan yang pernah diterbitkan pada 2012.
AS dan Selandia Baru yang menganggap regulasi itu bentuk pembatasan impor kemudian memperkarakan Indonesia ke WTO. Hasil sidang di WTO memerintakan RI mencabut regulasi itu. Meski pemerintah RI telah melaksanakan rekomendasi putusan WTO, AS ternyata menilai sebaliknya. Karena itu pemerintahan Trump mengajukan tuntutan retaliasi agar RI membayar denda Rp5 triliun.
Bhima berpendapat kasus sengketa dagang serupa berpeluang besar terjadi karena kebijakan pembatasan 900 komoditas impor akan berdampak pada banyak negara eksportir.
"Dan tim dagang kita kalau udah di WTO lemah, makanya kita kalah terus kalau mengajukan banding di WTO. Jadi ada konsekuensi yang panjang [dari kebijakan pembatasan impor]," ujar Bhima.
Meski Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menyatakan bahwa kebijakan pembatasan impor itu akan berlaku mayoritas pada komoditas konsumsi, Bhima berpendapat pemerintah harus lebih dulu mencermati ketentuan di WTO.
"Tapi kalau barang konsumsi sejauh mana pengendalian impor yang diperkenankan oleh aturan internasional? WTO dan tiap barang memang punya aturan berbeda tiap barang dan itu ribuan halaman. Saya belum berani komen kalau per produk," ujarnya.
Resiko paling besar apabila kebijakan itu memicu tuntutan retalisasi dari banyak negara eksportir dengan membatasi produk impor dari Indonesia.
"Yang kena dampak adalah ekspor kita. Jadi impor turun, ekspor juga turun," kata dia.
Menurut Bhima, kebijakan pengendalian impor paling ideal adalah dengan meningkatkan ketersediaan produk serupa dari dalam negeri. Dengan begitu, angka impor akan turun secara alamiah.
Namun, Bhima menilai saat ini ada situasi yang memang mendesak pemerintah untuk segera mengambil kebijakan pengendalian impor. "Waktu enggak ada lagi, sudah terdesak," ujarnya.
Meskipun demikian, kata Bhima, pembatasan impor komoditas konsumsi tetap bukan solusi terbaik untuk dapat menekan defisit transaksi berjalan yang terus membengkak hingga 3 persen terhadap PDB atau USD8 miliar pada kuartal II 2018.
"INDEF selalu konsisten yang paling bisa dikendalikan itu bukan barang konsumsi. Itu berdampak langsung kepada masyarakat. Barang modal dan bahan baku infrastruktur itu yang harusnya di-clearkan dulu. Bisa disisir satu per satu," kata Bhima.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom