Menuju konten utama

Pemerintah RI Sampaikan Keberatan ke WTO atas Tuntutan Retaliasi AS

Pemerintah sudah menyampaikan keberatan terhadap tuntutan retaliasi dari AS yang sedang dibahas WTO.

Pemerintah RI Sampaikan Keberatan ke WTO atas Tuntutan Retaliasi AS
(Ilustrasi impor) Suasana aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/8/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Pemerintah Indonesia telah mengirim perwakilannya ke Jenewa untuk mengikuti sidang World Trade Organization (WTO) yang membahas tuntutan retaliasi Amerika Serikat (AS).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Oke Nurwan mengatakan utusan Indonesia itu merupakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI). Mereka ditugaskan untuk menyampaikan keberatan dari Pemerintah Indonesia atas tuntutan retaliasi AS.

"Prinsipnya, Indonesia sudah menyampaikan keberatan atas retaliasi dan besaran 350 juta dolar AS kepada Amerika melalui DSB (Dispute Settlement Body) Chair dari WTO," ujar Oke kepada Tirto di Jakarta, pada Kamis (16/8/2018).

Retaliasi itu menuntut Indonesia membayar 350 juta dolar AS, atau sekitar Rp5 triliun, sebagai ganti atas kerugian industri AS akibat peraturan impor holtikultura, hewan dan produk hewani.

Peraturan impor itu semula diterbitkan pemerintah RI pada 2012. AS dan Selandia Baru kemudian menilainya sebagai kebijakan pembatasan dan pelarangan impor sehingga membawa masalah ini ke WTO.

Pada Februari 2017, WTO mengabulkan gugatan AS dan Selandia Baru sehingga Indonesia harus mencabut peraturan impor itu. RI sudah berupaya melaksanakan putusan WTO, tapi AS menilai sebaliknya. Pada Agustus 2018, pemerintahan Donald Trump resmi menuntut Indonesia membayar ganti rugi Rp5 triliun.

Meski sudah menyampaikan keberatan, persoalan belum selesai. Menurut Oke, Indonesia masih harus menunggu hasil penilaian WTO terlebih dahulu terhadap keabsahan keberatan tersebut, tanpa diketahui pasti tenggat waktunya.

"Selanjutnya kan mengikuti processing sesuai [yang berlangsung di] WTO. Kita tunggu dari WTO, apakah akan melalui compliance dan arbitrase," ujar Oke.

Dia mengungkapkan pemerintah Indonesia merasa sudah memenuhi putusan panel WTO dengan mengubah beberapa Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan tentang impor holtikultura, hewan dan produk hewani.

Pemerintah RI telah merevisi ketentuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) di Permentan Nomor 60 Tahun 2012, yang kemudian menjadi Permentan Nomor 47 Tahun 2013. Revisi lanjutannya lantas tertuang dalam Permentan Nomor 86 Tahun 2013.

Pemerintah RI juga telah menerbitkan revisi Permendag Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH), yang lantas tertuang dalam Permendag Nomor 16 Tahun 2013. Revisi lanjutannya pun dimunculkan dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2013.

Anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono menilai peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah itu sebenarnya sudah tepat karena untuk melindungi produksi di dalam negeri dengan membatasi keberadaan barang impor.

"Negara mana pun bisa mengatakan tidak impor. Pemerintah Indonesia berhak keberatan impor agar produk asing enggak mudah masuk, produk impor dapat masuk dengan catatan [...], dan untuk menstabilkan harga di dalam negeri yang kurang produksi," ujar Ono.

Apalagi, menurut dia, Indonesia memiliki sumber daya pertanian dan peternakan besar yang masih dapat terus dikembangkan.

"Kalau produk impor berlebih, [bisa] mempengaruhi pendapatan pertanian, akan merusak tata niaga produk lokal," ujar Ono.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom