tirto.id - Pada medio November tahun lalu, Presiden Donald Trump pernah berkicau di Twitter, yang bernada ancaman. Ia seolah sedang memperingatkan negara-negara mitra dagang AS khususnya di Asia, harus sudah siap dengan konsekuensi bila berdagang dengan AS dengan cara-cara yang tak adil.
"Setelah tur Asia saya, semua negara yang bermitra dagang dengan AS kini sudah tahu aturan main yang telah berubah. AS harus diperlakukan adil dan semangat imbal balik. Defisit perdagangan yang besar harus segera diturunkan lebih cepat!" seru Trump pada 13 November 2017.
Cuitan ini hanya berselang empat hari setelah pengumuman WTO yang menolak banding Indonesia dan memenangkan AS dan Selandia Baru dalam kasus sengketa perdagangan dalam bentuk restriksi atau hambatan impor hortikultura oleh Indonesia. Bagi AS penolakan WTO terhadap banding Indonesia dari keputusan sengketa yang sudah ada sejak akhir Desember 2016 adalah kemenangan besar. AS di bawah Trump sedang susah payah melawan defisit perdagangan yang terus membengkak, pada 2017 total defisit perdagangan AS menembus US$566 miliar.
Babak baru kasus ini yang belakangan jadi buah bibir adalah permintaan AS agar WTO memberikan sanksi denda US$350 juta terhadap Indonesia dari kerugian yang diterima AS dari praktik restriksi perdagangan pada 2017. Alasan mereka, karena setelah delapan bulan pasca-putusan WTO November 2017, hingga 22 Juli 2018 Indonesia dianggap gagal memenuhi rekomendasi WTO. Namun, Indonesia menganggap argumen AS tak relevan.
“Argumentasi AS yang bilang Indonesia belum menyesuaikan kebijakan sesuai keputusan banding ini yang harus dilihat berdasar atau tidak. Karena, Indonesia sudah mematuhi dan merevisi aturan-aturan yang menjadi keberatan AS," kata Hasan Kleib, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBPP) selaku wakil tetap RI untuk PBB, WTO dan organisasi internasional lainnya di Jenewa, Swiss kepada Tirto.
Pembelaan Indonesia, adalah sudah melakukan berbagai penyesuaian atau revisi kebijakan sesuai rekomendasi yang diberikan DSB WTO. Di antaranya penyesuaian ketentuan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Holtikultura) di Permentan Nomor 60 Tahun 2012, yang kemudian menjadi Permentan Nomor 47 Tahun 2013. Revisi lanjutan juga tertuang dalam Permentan Nomor 86 Tahun 2013. RIPH ini dianggap sebagai bagian dari restriksi perdagangan yang tidak sesuai kaidah perdagangan internasional. RIPH adalah semacam pengendalian impor sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan petani dan peternak dalam negeri.
Ketentuan lain yang juga direvisi adalah Permendag Nomor 60 Tahun 2012 tentang KIPH (Ketentuan Impor Produk Holtikultura), yang tertuang dalam Permendag Nomor 16 Tahun 2013. Revisi lanjutan ada dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2013.
Indonesia juga harus mempertanyakan hitungan $350 juta atau setara Rp5,04 triliun (kurs= Rp14.400 per dolar AS), yang diklaim AS sebagai nilai ganti rugi yang diderita para pengusaha di negeri Paman Sam sejak 2017, akibat kesulitan ekspor produk holtikultura, hewan ternak maupun produk hewani ke Indonesia. Ihwal perbedaan itu akan dibahas kembali pada sidang Dispute Settlement Body (DSB) WTOpada 15 Agustus 2018. Artinya, babak baru sengketa Indonesia dan AS akan kembali dimulai. Bagaimana kansnya?
AS Sering Menang di WTO
Upaya mengurangi defisit perdagangan yang ditempuh oleh Presiden Donald Trump adalah mengurangi gempuran produk impor dan meningkatkan produksi dalam negeri, sebagai mana janji kampanye Trump yang ingin mewujudkan Make America Great Again. Sikap ini bakal digencarkan pada kasus sengketa dagang.
DSB WTO (PDF) mencatat sejak 1995, AS telah muncul sebagai penggugat dalam 122 kasus perdagangan internasional. Nama AS juga tercatat di 147 kasus yang diajukan berbagai negara di dunia sebagai pihak tergugat atau responden.
Presiden AS, Donald Trump dalam dalam wawancara di Fox Business pada 25 Oktober 2017 sempat mengeluh bahwa AS hampir selalu kalah dalam sengketa dagang yang diajukan kepada WTO. “WTO dibentuk untuk memberikan manfaat bagi semua negara kecuali AS. Kami kehilangan hampir semua tuntutan hukum yang diajukan ke WTO,” ucapnya.
Namun, keluhan itu dipatahkan oleh Dan Ikenson, Direktur Pusat Studi Kebijakan Perdagangan Herbert A. Stiefel – Cato Institue dalam tinjauannya yang dilakukan terhadap 2017 Trade Policy Agenda and 2016 Annual Report of the President of the United States on the Trade Agreements Program (PDF), menunjukkan bahwa AS memenangkan 91 persen dari kasus sengketa dagang melawan negara lain mulai dari 1995 sampai dengan Maret 2017. Sedangkan saat AS menjadi terlapor, negara adikuasa itu kalah sampai dengan 89 persen terhadap kasus yang diadukan negara lain di dunia.
“Itu sejalan dengan persentase menang-kalah untuk negara lain juga,” tulisnya seperti dilansir dari FactCheck.Org, Annenberg Public Policy Center, Philadelphia, AS.
Data yang sama juga diungkapkan oleh Stuart Malawer, Profesor Hukum dan Perdagangan Internasional di George Mason University, yang menungkap bahwa AS malah memenangkan sebagian besar gugatan sengketa dagang yang diajukan oleh mereka. Dalam jurnal penelitian International Law Practicum Vol 27 No.1 berjudul US-China Trade Relation – Litigation in the WTO 2001-2014 (PDF), Malawer menuliskan bahwa AS memenangkan 38 kasus sebagai pelapor atau penggugat antara tahun 1995 dan 2012.
Namun sebagai pihak tergugat atau responden atau dengan kata lain dalam kasus yang diajukan oleh negara lain terhadap AS, negeri Paman Sam itu memenangkan 17 kasus dan kalah di 50 kasus internasional. “Sebagian besar atau sekitar dua pertiga perselisihan dagang yang diajukan ke WTO, sudah diselesaikan melalui diplomasi antar negara yang bersengketa sebelum mendapat litigasi oleh panel WTO,” tulis Malawer (PDF).
AS memang menjadi penggugat di banyak kasus sengketa perdagangan internasional. Presiden Dewan Perdagangan Luar Negeri AS sekaligus wakil direktur jenderal WTO tahun 2002-2013, Rufus Yerxa bilang, AS adalah pengadu yang paling sering dalam kasus sengketa dagang yang ada di WTO dan telah memenangkan lebih dari 90 persen dari kasus yang diperkarakan.
“Kalaupun kalah dalam kasus saat AS sebagai terlapor atau tergugat atau responden, itu adalah hal wajar, begitu juga kebanyakan negara lain. Ini karena, sebagian besar negara hanya membawa kasus yang mereka tahu mereka bisa menang,” kata Yerxa masih melansir FactCheck.Org.
Sebagian besar kekalahan AS dalam sengketa dagang dunia internasional menurut Yerxa adalah karena AS menolak untuk mengubah metodologi anti-dumping yang diterapkan bahkan setelah mengalami banyak kekalahan di kasus sengketa dagang. Hal itu menurutnya bisa menimbulkan putusan berulang terhadap AS karena melanjutkan praktik anti-dumping yang sama.
“Jika dicermati mengenai kasus anti-dumping, AS memiliki catatan yang lebih baik sebagai terlapor atau tergugat daripada Cina atau sebagian besar negara lain,” imbuh Yerxa.
Ada fenomena menarik yang dicermati oleh Michael Forman, yang merupakan perwakilan perdagangan AS periode 2013-2017. Menurut Forman, selama tahun-tahun kepemimpinan Barack Obama sebagai Presiden, AS tidak terkalahkan dalam sengketa dagang yang diajukan hingga ke WTO. Ada 26 kasus yang dilaporkan AS kepada WTO selama masa kepemimpinan Obama, di mana sebanyak 16 kasus dari jumlah itu adalah melawan Cina.
“Kami (AS) memenangkan setiap kasus yang dibawa hingga ke WTO,” ucap Forman masih melansir sumber yang sama.
Ini sejalan dengan data yang terdapat dalam 2017 Trade Policy Agenda and 2016 Annual Report of the President of the United States on the Trade Agreements Program (PDF) halaman 170 yang mencatat bahwa AS memiliki beberapa keberhasilan penegakan hukum di tahun 2016. Keberhasilan tersebut termasuk sebuah kasus hambatan impor produk pertanian AS di pasar Indonesia, serta perselisihan dengan Uni Eropa atas pesawat sipil.
Secara historis AS berpeluang besar memenangkan total pertarungan sengketa dagang dengan Indonesia. Pemerintah Indonesia harus punya strategi jitu, apalagi Indonesia dalam posisi tawar yang lemah, karena saat bersamaan, AS mengancam akan mencabut fasilitas keringanan impor produk Indonesia dalam skema Generalized System of Preference (GSP). Indonesia nampaknya berada di posisi terjepit dan punya peluang yang sempit.
Editor: Suhendra