tirto.id - “Berdasarkan analisis awal dari data yang tersedia untuk produk tertentu, angka sebesar 350 juta dolar AS tersebut merupakan estimasi pada 2017. Amerika Serikat akan terus memperbarui angka, mengingat perekonomian Indonesia yang terus bertumbuh.”
Pernyataan itu tertuang dalam dokumen yang disampaikan Amerika Serikat kepada World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia seperti dilansir Reuters, Selasa (7/8/2018). Negeri Paman Sam itu sedang mengadukan Indonesia kepada WTO karena dinilai tidak melaksanakan putusan terkait sengketa perdagangan.
WTO memutuskan Amerika Serikat (AS) bersama Selandia Baru menang dalam perkara gugatan restriksi perdagangan pada November 2017. Kedua negara itu melaporkan Indonesia terkait kebijakan pembatasan impor oleh Indonesia yang meliputi makanan, tumbuhan, serta produk hewani terhadap produk AS dan Selandia Baru.
Sejumlah komoditas yang kemudian disorot antara lain apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah kering, sapi ternak, daging sapi, dan daging ayam. Desakan Amerika Serikat kepada WTO dalam rangka menagih sanksi tahunan sebagai kompensasi atas potensi kerugian yang diderita oleh AS akibat tindakan restriksi perdagangan oleh Indonesia.
Permintaan AS agar Indonesia membayar sanksi 350 juta dolar AS dengan nilai setara Rp5 triliun itu menjadi babak baru dari cerita lama tentang Amerika Serikat dan Selandia Baru yang tidak ingin produk impornya terhambat masuk ke Indonesia. Di tengah keinginan supaya bisa swasembada, kebijakan pembatasan impor malah acap kali menjadi senjata ampuh bagi negara maju untuk melaporkan Indonesia ke WTO.
Indonesia sendiri merupakan negara yang cukup sering digugat negara-negara lain. Sejak 2004, Indonesia sudah digugat sebanyak 13 kali, serta menggugat sebanyak 12 kali. Gugatan terhadap Indonesia umumnya terkait isu pertanian dan peternakan, sementara gugatan Indonesia cenderung mengarah pada produk sektor industri.
Gugatan dari Amerika Serikat dan Selandia Baru terjadi pada 2013. WTO pun lantas membentuk panel guna membahas keluhan Amerika Serikat itu pada 2015. Dalam laporan yang dirilis untuk umum pada Desember 2016, panel yang dibentuk WTO tersebut menemukan adanya inkonsistensi terhadap Artikel XI:1 yang tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) 1994. Temuan inkosistensi itu terkait dengan larangan impor terhadap produk hortikultura dan hewani oleh Indonesia.
Selain itu, panel juga memperoleh temuan bahwa Indonesia gagal menunjukkan apabila salah satu tindakan yang ditentang itu dibenarkan oleh Pasal XX pada GATT 1994. Sebelum akhirnya keluar putusan yang dimenangkan oleh AS dan Selandia Baru pada November 2017, Indonesia sempat mengajukan banding atas sejumlah temuan panel pada Februari 2018. Sayangnya, Indonesia juga harus kalah dalam banding tersebut.
“Ini adalah kemenangan yang signifikan bagi petani dan peternak di Amerika Serikat. Mengingat ukuran pasar Indonesia dan daya saing AS, kami harus menjual lebih banyak produk pertanian kepada konsumen Indonesia,” jelas perwakilan dari Departemen Perdagangan Amerika Serikat, Robert Lighthizer, dalam keterangan resminya.
“Administrasi Trump [Presiden AS Donald Trump] akan menggunakan seluruh alat, termasuk penyelesaian sengketa WTO dan mekanisme lainnya, guna memastikan produk Amerika Serikat mendapatkan akses yang adil ke pasar di seluruh dunia,” kata Lighthizer.
AS menilai Indonesia merupakan pasar ekspor yang potensial untuk banyak produk pertanian mereka. Pada 2016, misalnya, Indonesia adalah tujuan ekspor pertanian AS yang terbesar kesembilan berdasarkan nilainya.
Berdasarkan data yang dihimpun pemerintah AS, mereka mengekspor lebih dari 2,6 miliar dolar AS dalam produk pertanian ke Indonesia. Untuk ekspor produk hortikultura dan hewani yang terpengaruh kebijakan pembatasan impor Indonesia sendiri dilaporkan mencapai 170 juta dolar AS pada 2016.
Upaya AS yang mendaftarkan rencana balasan sebesar 350 juta dolar AS kepada WTO itu sudah diketahui pemerintah Indonesia. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengaku akan mempelajari sikap AS.
“Indonesia sendiri merasa sudah memenuhi putusan panel WTO dengan mengubah beberapa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang telah disampaikan kepada WTO,” kata Oke kepada Tirto, pada Selasa malam (7/8/2018).
Menurut Oke, langkah yang akan ditempuh pemerintah saat ini ialah memastikan kembali yang telah dilakukan pemerintah Indonesia sudah memenuhi putusan WTO. Sementara itu, soal munculnya angka denda sebesar 350 juta dolar AS, Oke mengatakan bahwa penentuan itu merupakan kewenangan pemerintah AS.
Ihwal regulasi produk hortikultura, pemerintah memang telah merevisi ketentuan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) di Permentan Nomor 60 Tahun 2012, yang kemudian menjadi Permentan Nomor 47 Tahun 2013. Revisi lanjutannya lantas tertuang dalam Permentan Nomor 86 Tahun 2013. RIPH ini dianggap sebagai bagian dari restriksi perdagangan yang tak sesuai kaidah perdagangan global. RIPH adalah semacam pengendalian impor sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan petani dan peternak di dalam negeri.
Sementara itu, pada domain Kementerian Perdagangan, pemerintah juga telah menerbitkan revisi dari Permendag Nomor 60 Tahun 2012 tentang KIPH (Ketentuan Impor Produk Hortikultura), yang tertuang dalam Permendag Nomor 16 Tahun 2013. Revisi lanjutannya pun dimunculkan dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2013.
Oke mengatakan bahwa penyesuaian yang telah dilakukan pemerintah terkait pembatasan waktu pengajuan permohonan izin impor serta pengaitannya dengan persyaratan masa panen, seharusnya tidak membuat Indonesia digugat agar membayar sanksi. Pasalnya dari segi regulasi, Indonesia sebetulnya telah menyederhanakan prosedur perizinan impor serta membuatnya jadi berbasis online.
“Kedua ketentuan tersebut dianggap tetap diberlakukan dan Indonesia dianggap tidak mematuhi putusan panel WTO atas DS (Dispute Settlement) 477/478,” ujar Oke.
Sejauh ini, memang baru Amerika Serikat yang meminta WTO agar menghukum Indonesia dengan sanksi sebesar Rp5 triliun. Selandia Baru yang juga dinyatakan sebagai pihak yang menang dalam kasus sengketa dagang, belum mengambil langkah apa-apa. Untuk permintaan sanksi oleh AS ke WTO, rencananya akan dibahas dalam sidang Badan Penyelesaian Sengketa WTO pada 15 Agustus 2018.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus berpendapat soal kasus yang sedang dihadapi Indonesia. Ia berharap pemerintahan Presiden Jokowi segera melakukan langkah-langkah diplomasi serius agar kasus ini bisa tuntas. Ia berpandangan upaya tuntutan sanksi oleh semestinya tak perlu terjadi bila Indonesia serius melakukan langkah-langkah diplomasi. Namun, tak bisa dipungkiri AS memang sedang mengalami defisit perdagangan, dan berada di bawah rezim proteksionisme.
"Ini berpotensi Selandia Baru mengajukan denda juga. Kalau hal ini terus dibiarkan negara lain selain AS dan Selandia Baru akan ikut-ikutan ingin minta ganti rugi ke Indonesia," kata Ahmad dalam sesi diskusi di Jakarta, Rabu (8/8)..
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz