Menuju konten utama

Pelecehan Seksual di KRL Nyata: Kenapa Kebanyakan Penumpang Diam?

Para korban mengaku banyak penumpang di KRL lebih memilih diam saat pelecehan seksual terjadi. Korban juga enggan melapor lantaran kerap diminta bukti oleh polisi.

Pelecehan Seksual di KRL Nyata: Kenapa Kebanyakan Penumpang Diam?
Pekerja Ibukota rela berdesak-desakan menggunakan Commuter Line demi memangkas waktu perjalanan mereka dari rumah ke kantor atau sebaliknya. (1/11/2017) tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Lani, bukan nama sebenarnya, pertama kali mencoba menaiki KRL dari Stasiun Kalibata ke arah Stasiun Depok sekitar 2016. Saat itu, Lani menaiki gerbong campur laki-laki dan perempuan.

Pengalaman pertamanya itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Di tengah perjalanan, ia mulai menyadari ada kejanggalan dari penumpang lain, yakni seorang bapak-bapak, yang berdiri di sebelahnya.

"Gue merasa paha gue dielus. tapi gue butuh waktu lama buat prosesnya. Gue perlu mastiin, ini orang sengaja apa enggak, soalnya kereta lagi penuh dan tasnya dia nutupin tangannya," ujar Lani kepada reporter Tirto, Selasa (12/3/2019).

Sampailah momen di mana Lani menyadari bahwa elusan yang dilakukan bapak tersebut memang disengaja. "Tangannya gue tepis, terus gue geser ke dekat pintu, dan bilang ke dia, permisi Pak."

Tak berhenti di situ. Selepas Lani berpindah tempat ke dekat pintu, ada bapak-bapak lain yang bertanya sejumlah hal kepada Lani. Mulai dari pertanyaan seputar mau ke mana, dari mana, hingga pertanyaan yang membuat Lani kembali risih.

"Lalu dia mulai ngomong yang enggak-enggak, kayak "kamu udah punya pacar belum?", "Sudah pernah diapain saja sama pacar kamu?", "jangan mau dibohongi laki", "saya tahu titik-titik lemahnya perempuan, di kuping, di leher"," ujar Lani mengulang sejumlah pertanyaan yang dulu diajukan kepadanya.

Saat Lani melihat ke sekitarnya, Lani yakin bahwa orang-orang di sekelilingnya menyadari posisi Lani yang terganggu. "Tapi enggak ada yang mencoba bantu gue. Ya, mungkin mereka enggak tahu, mungkin mereka emang enggak mau ikut campur," tuturnya.

Peristiwa serupa juga pernah dialami Gladia, bukan nama sebenarnya. Gladia mengalami pelecehan di KRL sekitar awal 2017.

Kala itu, kereta sedang ramai-ramainya dan posisi Gladia pun sedang terburu-buru. Kemudian ada seorang lelaki yang masuk ke gerbong tempat Gladia berdiri dari Stasiun Manggarai. Lelaki itu berdiri di belakang Gladia. Tak lama kemudian, lelaki menempelkan kelamin di bagian belakang tubuh Gladia.

"Setiap gue geser, dia ikutan geser. Sampai akhirnya gue turun empat stasiun sebelum tujuan gue, daripada jadi trauma," kisah Gladia kepada reporter Tirto, Selasa (12/3/2019).

Baik Lani maupun Gladia memilih tidak melaporkan pelecehan tersebut ke petugas, apalagi ke polisi. Gladia misalnya enggan melaporkan hal itu karena sulit untuk membuktikannya.

"Kondisinya penuh banget, dan susah juga buktiinnya kalau gue lapor," tutur Gladia.

Sementara Lani tidak terpikirkan untuk melapor karena takut dan terkejut saat peristiwa tersebut menimpanya.

"Gue takut dan kaget. Dan setiap kejadian kayak gitu, gue selalu ragu, apa dia memang sengaja atau nggak," ujar Lani.

Jumlah Laporan Meningkat

Lani dan Gladi tentu bukan satu-satunya korban pelecehan di KRL. Operator KRL Commuter Line, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) mencatat 20 laporan pelecehan sepanjang 2017. Namun tak ada satu pun kasus yang berlanjut ke kepolisian.

Laporan pelecehan kemudian meningkat pada 2018 dengan 34 kasus. Namun, 20 kasus di antaranya telah dibawa ke ranah kepolisian.

VP Komunikasi Perusahaan PT KCI, Eva Chairunisa mengatakan bentuk-bentuk pelecehan yang sering terjadi antara lain meraba paha, kemaluan, pantat, dada atau pinggang dari samping atau belakang, serta menggesekan kemaluan pada penumpang lain.

Sementara menurut Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, banyaknya korban yang akhirnya tidak melapor, penumpang lain yang membiarkan, hingga tidak adanya tindak lanjut dari kasus yang terjadi, merupakan dampak dari pelecehan seksual yang masih dianggap hal biasa, bukan tindak pidana.

"Pelecehan seksual menjadi sesuatu yang diwajarkan. Ini akibat dari budaya pembiaran, pelaku dibiarkan melakukan hal tersebut," kata Mariana di Stasiun Sudirman, Jakarta, Selasa (12/3/2019).

Pemisahan Gerbong Bukan Solusi

Salah satu jalan pintas yang diambil sejumlah transportasi umum, termasuk KRL, untuk menangani pelecehan seksual adalah dengan membuat gerbong khusus perempuan. Namun, Mariana menilai penyediaan gerbong khusus perempuan bukanlah solusi untuk menghilangkan pelecehan seksual.

"Gerbong wanita bukan solusi secara keseluruhan," ujarnya.

Menurut Mariana, kebijakan tersebut bukanlah langkah yang tepat untuk menghentikan pelecehan yang terjadi di KRL. "tu adalah kebijakan atau afirmasi agar penumpang perempuan bisa merasa nyaman."

Mariana mengapresiasi langkah yang diambil oleh PT KCI dengan melakukan kampanye dan edukasi terkait pelecehan seksual di KRL. Bentuk kampanye tersebut dengan cara menayangkan video terkait bentuk pelecehan dan mendorong korban untuk melaporkannya ke petugas.

"Kami jauh lebih apresiasi ketika ada edukasi publik karena efeknya untuk jangka panjang," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Eva mengatakan PT KCI tengah berupaya membangun kesadaran masyarakat untuk segera melapor apabila melihat atau mengalami pelecehan di KRL. Pasalnya, Eva mengakui, operator KRL sulit untuk melakukan pemantauan secara menyeluruh.

"Kami mau taruh 1.000 polisi pun, enggak mungkin mengawasi satu-persatu," ujarnya.

Melalui kampanye tersebut, Eva mengajak masyarakat berkontribusi mencegah pelecehan seksual yang ada di KRL. "Tujuan utama kami membangun awareness dari penumpangnya agar pelecehan seksual dapat dicegah."

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan