tirto.id - Harga gas domestik yang dinilai sudah melambung tinggi di atas harga gas internasional, dan bahkan belum pernah mengalami penyesuaian sejak awal 2015, membuat pelaku industri mengeluh. Mereka menilai, proses perizinan yang tidak efisien menjadi penyebab utama dari tingginya harga gas tersebut.
"Harga gas antara 8,2-12,8 dolar AS per MMBTU hingga sekarang. Padahal harga di pasar global hanya sekitar 3-7 dolar per MMBTU," ujar Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi, Achmad Safiun di Jakarta, Senin (10/10/2016).
Menurut Safiun, tingginya harga gas yang harus dibayarkan industri disebabkan inefisiensi baik di sektor hulu hingga hilir. Tingginya harga gas juga dipengaruhi oleh adanya pemburu rente yang terlibat dalam rantai distribusi pasokan gas di dalam negeri.
"Di hulu sebenarnya kalau harga belum cocok tidak perlu dikontrakkan. Harga gas mahal juga karena pemerintah sangat lamban memutuskan karena perizinan terlalu panjang dan bertele-tele," ungkap Safiun.
Pelaku usaha, lanjutnya, juga siap mengikuti harga pasar, asalkan penetapan harganya wajar. "Tidak masalah, kami kan juga sudah biasa misalnya harga BBM non-premium di pompa bensin," kata dia.
Sementara itu, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya W Yudha mengatakan harga gas domestik tidak bisa diukur dengan harga minyak dunia secara langsung. Pasalnya, formula harga gas domestik diukur dari tingkat kesulitan lapangan. Berbeda dengan harga gas ekspor yang memang formula harganya mengikuti indeks harga minyak dunia.
"Kalau sekarang formula harga gas berdasarkan kondisi tingkat kesulitan lapangan, yang harus diubah itu term yang ada dalam kontrak PSC-nya [production sharing contract]," kata dia.
Satya mengatakan setiap lapangan mempunyai term kesulitan yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan tingkat keekonomian sebuah lapangan. Kemudian baru muncul harga gas.
"Maka kenapa dalam satu lapangan itu bisa mempunyai harga gas yang berbeda-beda, walaupun dalam satu lapangan. Satu lapangan itu bisa dua PSC atau satu PSC karena mereka tergantung dari bagi hasilnya," kata dia.
Menurut Satya, yang harus dibenahi sebenarnya adalah kontrak bagi hasil (PSC). Karena pada dasarnya tidak ada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS ) yang mau mengembangkan lapangan jika harganya tidak sesuai dengan keekonomian. Untuk itu harus ada jalan tengah antara KKKS dan pemerintah.
"Mungkin term-nya tidak bisa lagi 85:15, mungkin 60:40 atau bahkan negara bisa lebih kecil dari kontraktor 40:60 tergantung dari kesulitan lapangan," kata dia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini mengkaji mekanisme hybrid dalam penetapan harga gas yang mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Jika simulasi yang dilakukan berhasil, Indonesia akan meninggalkan rezim penetapan harga gas tetap atau fixed dalam eskalasi tahunan.
"Skenario hybrid adalah salah satu cara yang sedang dibahas bersama seluruh stakeholder, termasuk badan usaha di sektor hulu, midstream, seperti trader, agar semuanya sejalan dan efektif dalam penyalurannya sehingga memiliki margin yang wajar," kata Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi.
Menurut Agus, mekanisme hybrid diharapkan bisa melindungi seluruh pihak, baik pembeli atau KKKS karena ada batasan dan perhitungan yang jelas terkait hubungannya dengan fluktuasi harga minyak dunia.
"Jika langsung seperti LNG, pada saat harga di atas 100 dolar AS per barel, gasnya nanti bisa 17-18 dolar AS per MMBTU. Dengan hybrid, ini kan jadi separuhnya hanya 10 dolar per MMBTU. Simulasi kita begitu," tandas Agus.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara