tirto.id - Seorang pengguna situs tanya-jawab Quora bertanya: "Mengapa kaum muslim gemar membakar perpustakaan, menghancurkan kuil-kuil dan situs-situs bersejarah lainnya setiap kali mereka menaklukkan suatu kawasan?"
Seorang pengguna yang lain menanggapi, "Karena mereka ingin orang mengira tidak ada apa-apa sebelum Islam ... Mereka ingin generasi baru hanya mengenal masa lalu mereka yang gemilang, dan bahwa astronomi, matematika, kimia, kedokteran, dan ilmu-ilmu pengetahuan lain dipetik dari Kitab Suci Al Quran."
Pertanyaan dan jawaban di atas tentu lahir dari penyamarataan yang tak adil, generalisasi yang mengabaikan rincian, sehingga tak patut dipegang sebagai kebenaran. Namun, tak berarti pertanyaan dan jawaban itu sepenuhnya keliru. Ada bidang luas yang terhampar di antara "semua" dan "tidak satu pun".
Simak apa yang terjadi pada 3 Januari 2014 di Tripoli, Lebanon. Saat itu, perpustakaan Al-Saeh yang menampung 80 ribu buku terbakar. Lebih dari 50 ribu buku dan manuskrip penting, atau sekitar dua per tiga koleksinya, tak terselamatkan.
Menjelang pembakaran, Al-Saeh adalah bahan pembicaraan besar di Tripoli. Konon, sehelai pamflet yang menghina Nabi Muhammad terselip di dalam salah satu bukunya, dan karena itu sebuah demonstrasi besar-besaran umat Islam hampir terjadi di kota itu. Salah satu pekerja Al-Saeh bahkan sampai kena tembak oleh orang tak dikenal.
Tetapi menurut bekas kepala kepolisian Lebanon Ashraf Rifi, dalam pernyataannya kepada Associated Press, sebab pembakaran Al-Saeh bukanlah ribut-ribut mengenai sehelai kertas yang pemiliknya tak jelas, melainkan dugaan bahwa pemilik perpustakaan itu, Padri Kristen Ortodoks Yunani Ebrahim Surouj, telah melecehkan Islam lewat tulisan-tulisannya di internet.
Kepolisian Lebanon gagal menemukan pembakar Al-Saeh. Penyebab kenahasan buku-buku di perpustakaan itu tinggal sebagai teka-teki. Tetapi mereka, sebagaimana semua orang di Lebanon, tahu bahwa peristiwa itu merupakan buah tegangan sektarian yang melanda Lebanon sejak perang sipil antara kelompok teroris dan pemerintah berlangsung di Suriah.
Di Mosul, Irak utara, gerombolan teroris ISIS menimpakan nasib yang lebih buruk lagi kepada buku dan perpustakaan sejak mereka menguasai kota itu pada Juni 2014.
Elijah J. Magnier, kepala koresponden internasional koran Kuwait Al Rai, menyampaikan kepada The Independent: setidaknya ada 112.709 manuskrip dan buku, sebagian terdaftar sebagai teks langka versi UNESCO, musnah setelah Perpustakaan Umum Mosul dirogol oleh ISIS.
Laporan lain yang diterima The Independent menyatakan bahwa ISIS membuat api unggun raksasa dari buku-buku sains, arsip koran-koran Irak sejak awal abad ke-20, peta-peta kuno, dan naskah-naskah warisan Kekhalifahan Utsmani di perpustakaan itu.
Dan mereka agaknya tak kenal sistem tebang pilih. Selain Perpustakaan Umum, para kecu itu juga menghancurkan perpustakaan satu gereja kuno yang telah berumur hampir tiga abad, perpustakaan biara Dominikan, Perpustakaan Museum Mosul, dan bahkan perpustakaan Muslim Sunni—tak peduli kata-kata yang tertera pada buku-bukunya sejalan, bertentangan, atau tak punya urusan dengan pandangan mereka.
Apakah mereka punya pembenaran atas perbuatan celaka itu? Dari siapakah mereka belajar untuk melakukan kekerasan terhadap ilmu dan pengetahuan? Jawabnya mungkin mengejutkan sebagian dari kita.
Cendekiawan muslim Ibnu Khaldun, dalam bukunya Muqadimmah (1377), tepatnya pada bab berjudul al-uloom al aqliyah wa asnafuha, menulis:
“Setelah memimpin pasukan Islam menaklukkan Iran, Saad bin Abi Waqqas meminta izin Khalifah Umar bin Khattab untuk menerjemahkan buku-buku Persia ke dalam bahasa Arab. Namun, Umar menjawab, 'Kita tidak membutuhkan buku-buku yang isinya sejalan dengan Al Quran dan kita jelas tidak membutuhkan buku-buku sesat yang bertentangan dengan Al Quran.'” Dan dengan demikian, habislah jejak-jejak ilmu dan pengetahuan yang dikumpulkan bangsa Persia selama ribuan tahun.
150 tahun sebelumnya, sejarawan Mesir Ibnu Qifti menyampaikan kisah serupa tentang penghancuran Perpustakaan Alexandria dalam bukunya Ta'rikh al-hukama' atau Sejarah Orang-orang Terpelajar. Ia bilang, atas perintah Umar bin Khattab, prajurit muslim menjadikan buku-buku perpustakaan itu bahan bakar tungku rumah-rumah pemandian selama berbulan-bulan.
Shibli Nu'mani (1857–1914), cendekiawan muslim kelahiran Uttar Pradesh, lewat risalah An Enquiry into the Destruction of the Ancient Alexandrian Library, menyampaikan sanggahan terhadap dua kisah itu. Mengapa, katanya, selain Abdul Latif Bagdadi dan Ibnu Qifti, tidak ada yang membicarakan penghancuran Perpustakaan Alexandria sewaktu pasukan muslim menaklukkan Mesir--termasuk sejarawan-sejarawan Nasrani taat seperti Almacin dan Eusex, yang jelas tak punya kepentingan membela nama baik Umar bin Khattab?
Pakar sejarah Islam Bernard Lewis, dalam artikelnya “The Vanished Library” yang diterbitkan The New York Times pada September 1990, sependapat dengan Nu'mani. Menurutnya cerita-cerita itu sudah tak laku di kalangan sejarawan Barat dan lumrah dianggap karang-karangan belaka.
Lewis punya sejumlah penjelasan, mulai dari persoalan logika internal cerita (pada masa itu, bahan baku buku umumnya adalah kulit samakan atau vellum, dan kulit samakan bukan umpan api yang baik) hingga motif politis Abdul Latif Bagdadi dan Ibnu Qifti yang patut dicurigai. Mereka adalah pendukung Salahuddin Al-Ayyubi. Boleh jadi, cerita itu diciptakan untuk melegitimasi tindakan Salahuddin terhadap perpustakaan Kekhalifahan Fatimiyah di Mesir, setelah ia menguasai negeri itu lewat kudeta pada 1171.
Tetapi memangnya ISIS peduli terhadap keragaman versi sejarah? Yang penting bagi mereka ialah setiap buah pikiran manusia layak dicurigai.
Diakui atau tidak, dianggap representatif atau tidak, di Indonesia, kita tak kekurangan orang yang berpikir bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dibutuhkan ialah teks-teks suci. Dan dengan semangat itulah mereka berteriak, “Nasionalisme dan demokrasi tidak ada dalilnya”, “Kita tidak memerlukan ilmu dan pengetahuan golongan kafir”, "Bumi datar karena kitab suci bilang ia datar", dan seterusnya.
Tetapi itu bukan yang terburuk.
“Ada kejahatan yang lebih mengerikan daripada membakar buku,” ujar penyair Rusia Joseph Brodsky suatu kali, “yaitu tidak membaca.” Dan di Indonesia, kejahatan itu jelas tak hanya dilakukan oleh para pembenci buku.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS