tirto.id - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu mengatakan pasien yang memiliki penyakit tuberkulosis atau TBC harus lebih mewaspadai potensi penularan virus Corona jenis baru COVID-19, Selasa (24/3/2020).
Menurutnya hal tersebut karena dampak yang diakibatkan oleh virus Corona akan lebih berbahaya dibandingkan dengan orang yang sehat.
"COVID-19 menyadarkan kita betapa rentannya jika pasien TBC tidak berobat, karena daya tahan tubuh dan kondisi paru mereka juga lebih rentan terinfeksi,” kata Wiendra dalam rangka Hari TB Sedunia melalui telekonferensi di Jakarta, seperti diwartakan Antara News.
Wiendra menekankan untuk pasien TBC yang dalam masa pengobatan harus minum obat teratur dan tetap menjaga daya tahan tubuh.
Oleh sebab itu, menurutnya peran komunitas sangat penting untuk mengingatkan pasien minum obat dalam skema pengobatan TBC, terutama bagi pasien TBC resistan obat (TBC RO).
“Kami sedang menyiapkan skema tersebut agar pasien TBC RO tidak harus ke RS setiap hari untuk berobat,” ujarnya.
Menurut Wiendra, rumah sakit harus menerapkan strategi Temukan-Pisahkan-Obati (Tempo) untuk tatalaksana TBC dan dapat menjadi pembelajaran untuk COVID-19. Dalam pengendalian TBC, ketika pasien batuk datang ke rumah sakit maka harus dilakukan triase saat penerimaan awal berdasarkan gejala utama TBC.
Kalau sudah batuk lebih dari dua minggu, pasien diberi masker dan edukasi tentang etika batuk, lalu menunggu di ruang terpisah dengan ventilasi yang baik sebelum dilayani.
Di samping pelayanan, riset implementasi juga memiliki peranan penting dalam penanggulangan penyakit.
Wiendra juga menghimbau pemangku kepentingan bisa lebih sinergis dalam melakukan promosi dan pencegahan penyakit. Pesan etika batuk dan Germas yang ada bisa dimanfaatkan oleh mitra-mitra implementasi di lapangan.
Setiap tahun 100 juta penduduk dunia jatuh sakit akibat Mycobacterium Tuberculosis yang menyebabkan penyakit TBC dan 845.000 di antaranya berada di Indonesia, atau negara dengan beban TBC tertinggi ketiga setelah India dan China.
“Menyadari besarnya permasalahan TBC di Indonesia, saya sampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada setiap orang yang berkontribusi agar pelayanan TBC tetap berjalan dalam kondisi saat ini. Saya juga mengapresiasi kerja keras tenaga kesehatan yang melawan COVID-19, karena upaya mereka menjaga kita semua, termasuk para pasien TBC. Sebagian tenaga kesehatan yang berjuang pun juga terlibat dalam eliminasi TBC,” kata Wiendra.
Sementara itu, Komite Ahli Tuberkulosis Pandu Riono, mengatakan modalitas penularan TBC dan COVID-19 ini berdekatan atau mirip. Menurutnya berbagai sumber daya yang sudah ada di manajemen pelayanan TBC bisa dimanfaatkan untuk penanganan COVID-19.
Juga sebaliknya, untuk jangka panjang ke depannya, investasi pada berbagai sumber daya penanganan COVID-19 saat ini, sangat memungkinkan bisa digunakan untuk mendukung pelayanan TBC.
“Pengobatan pasien TBC harus tetap berjalan dengan teratur sampai sembuh meski dengan munculnya COVID-19. Saya tentunya khawatir akan situasi COVID-19, tetapi peran warga untuk menjaga kesehatan masyarakat justru semakin diperlukan sekarang. Terutama untuk pasien TBC resisten obat,” kata Pandu.
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH