Menuju konten utama

Para Terpidana Silakan Maju Pilkada

Kesimpulan RDP di Komisi II DPR yang memutuskan terpidana percobaan boleh maju pilkada menuai protes. Pilkada yang diharapkan melahirkan calon pemimpin berintegritas tercoreng. Ironisnya, pemerintah maupun Komisi II DPR seolah-olah tidak mau disalahkan dalam pengambilan keputusan ini, layaknya lempar batu sembunyi tangan.

Para Terpidana Silakan Maju Pilkada
Sejumlah polisi melaksanakan penghitungan suara dalam simulasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 di Lapangan Lumintang, Denpasar. [ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana]

tirto.id - Rapat dengar pendapat (RDP) maraton yang berlangsung pada Jumat-Minggu (9-11 September) lalu antara Komisi II DPR, pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Bawaslu mencapai satu kesimpulan penting: terpidana hukuman percobaan boleh ikut pilkada 2017.

Kesimpulan RDP ini menuai protes dari penggiat pemilu, seperti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz menilai, diperbolehkannya terpidana dengan hukuman percobaan ikut serta dalam pilkada serentak 2017 akan mengancam terciptanya pilkada yang berintegritas.

Kekhawatiran JPPR ini sangat berasalan, karena keputusan itu dapat memuluskan seorang terpidana maju dalam pilkada, bahkan berpotensi menang dalam putaran pilkada serentak mendatang. Akibatnya, harapan pilkada bisa menghasilkan calon pemimpin yang berintegritas gagal.

“Kegagalan ini akibat dari keinginan sejumlah fraksi di DPR yang notabene adalah calon pengusung pasangan calon di pilkada nanti, sehingga aspek kepesertaan dalam pembahasan PKPU menjadi sangat kental [nuansa politiknya],” ujarnya pada tirto.id melalui pesan WhatsApp.

JPPR menduga ada kepentingan terselubung yang diselipkan sejumlah fraksi di DPR untuk mengegolkan terpidana hukuman percobaan dapat maju dalam pilkada. Hal ini tercermin dari sikap sejumlah fraksi yang terkesan “ngotot” agar terpidana dengan hukuman percobaan berpeluang maju melalui partai politik.

Saat ini, agenda sejumlah parpol untuk membuka peluang bagi calon terpidana percobaan telah berhasil. Namun, JPPR menyarankan agar sebaiknya partai politik tetap tidak mengusung calon yang bermasalah.

Mengapa? Pertama, karena hal itu jelas mengurangi integritas partai politik. Kedua, kalau calon yang diusung bermasalah, maka partai politik akan menuai akibat buruknya. Bukan hanya calon yang akan gagal menang, tetapi juga aspek keterpilihan partai politik itu sendiri. Ketiga, saat ini pemilih tidak bodoh, dan punya cara sendiri untuk menghukum partai politik yang mencalonkan terpidana dengan hukuman percobaan ini.

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Setelah banyaknya protes dari sejumlah penggiat pemilu dan isu ini sudah menjadi konsumsi publik, belakangan sejumlah fraksi di Komisi II DPR dan pemerintah terkesan lempar batu sembunyi tangan. Pemerintah maupun Komisi II DPR seolah-olah tidak mau disalahkan dalam pengambilan keputusan terpidana hukuman percobaan boleh ikut pilkada 2017.

Bagi pemerintah, aturan tersebut murni merupakan usulan DPR. Dalam konteks ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah hanya menyetujui usulan tersebut saat RDP dengan Komisi II dan KPU. Keputusan RDP itu dalam kerangka DPR memberi masukan kepada KPU, menyarankan agar peraturan yang dibuat oleh KPU tidak menyimpang dari UU Pilkada.

Tjahjo mengaku pemerintah menyetujui hal itu karena sudah berdasarkan pertimbangan para pakar yang diundang dalam rapat tersebut. Pertimbangannya, ada kekhawatiran akan munculnya calon kepala daerah yang tidak sengaja terlibat kecelakaan sehingga harus menjadi terpidana yang menjalani hukuman percobaan.

Sayangnya, sejumlah fraksi di DPR juga menolak bertanggung jawab terkait aturan yang menuai pro kontra ini. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan bahkan menuding ada pemufakatan jahat dalam rapat yang berlangsung sampai dini hari itu. Ia mengkritik kesimpulan tersebut karena sejumlah fraksi di Komisi II menolak keras ketentuan itu.

“Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri harus bertanggung jawab atas kesimpulan rapat yang mengizinkan terpidana percobaan boleh mencalonkan diri. Kalau tidak bertanggung jawab artinya ada permufakatan jahat atau setidaknya pembiaran tindak pidana,” tulis Arteria dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Antara.

Arteria menegaskan, partainya menolak keras terpidana hukuman percobaan mencalonkan diri dalam pilkada, sehingga tidak bisa keluar kesimpulan yang memperbolehkan terpidana hukuman percobaan maju pilkada. Ia meminta rekaman seluruh rapat Komisi II dengan pemerintah, KPU dan Bawaslu diputar kembali di hadapan publik untuk membuktikan hal yang sebenarnya.

Lalu, kalau pemerintah tidak merasa mengusulkan dan sejumlah fraksi di DPR menolak aturan tersebut, mengapa RDP akhir pekan lalu itu memutuskan terpidana percobaan dapat maju pilkada?

Padahal, secara logika sederhana, jika mayoritas fraksi di Komisi II DPR menolak aturan tersebut, tentu tidak akan pernah ada kesimpulan RDP yang membolehkan terpidana dengan hukuman percobaan dapat maju dan mencalonkan diri pada pilkada mendatang.

Apalagi, sebelum pelaksanaan RDP tersebut, KPU telah berupaya membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang akan melarang terpidana percobaan mencalonkan diri pada pilkada mendatang. Namun, keinginan KPU ini tidak ada artinya lagi setelah RDP antara Komisi II, pemerintah, KPU, dan Bawaslu memutuskan terpidana percobaan boleh mencalonkan diri pada pilkada mendatang.

Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay mengatakan, KPU harus mengikuti hasil rapat dengar pendapat antara pemerintah dan DPR itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan pemilu adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum RDP. Rapat konsultasi dalam forum RDP tersebut keputusannya bersifat mengikat.

Padahal, dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada tidak membedakan terpidana hukuman tetap dan terpidana hukuman percobaan. Pasal 7 Ayat (2) butir g secara tegas tertulis: "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".

Melihat kenyataan di atas, dugaan JPPR tentang adanya kepentingan terselubung sejumlah fraksi di DPR cukup masuk akal. Kalau faktanya demikian, bukan hanya memperburuk hasil pilkada, tetapi integritas dan masa depan kepartaian akan terkena efek negatifnya juga.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2017 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti