Menuju konten utama

Para 'Penyelamat' Perut Warga Jakarta Saat Libur Lebaran

Beberapa orang tetap memilih bekerja saat hari raya. Mereka jadi penyelamat warga karena yang dijual adalah makanan jadi.

Para 'Penyelamat' Perut Warga Jakarta Saat Libur Lebaran
Ilustrasi warteg. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Kiki (34), pedagang warteg di Jalan Kemang Timur Raya, Jakarta Selatan, memutuskan tidak mudik ke kampungnya di Tegal, Jawa Tengah, seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Pelanggannya adalah mereka yang tidak juga mudik.

Salah satu yang kerap datang adalah para pengemudi ojek daring.

“Saya pernah ketemu pelanggan driver ojek online. Dia makan nasi, kuah, sama gorengan Rp6.000. Katanya biar irit beli di warteg, daripada sekali makan [di tempat lain] Rp25 ribu,” kata Kiki mengenang kejadian pada lusa lalu.

“Uangnya buat bini,” ingat Kiki menirukan pengendara itu.

Dia juga kerap kedatangan pelanggan bule, dari Australia hingga Amerika, yang datang untuk urusan pekerjaan atau belajar. Kiki bilang, para bule ini juga memilih makan di warteg karena mereka tak punya uang terlalu banyak.

Kiki tahu pada saat warung makan lain tutup seperti ini dia berkesempatan mengumpulkan uang lebih banyak. Karena alasan itulah dia menunda pulang.

Kiki bercerita kalau dia sering menerima cibiran karena tak cukup banyak membawa uang untuk dibagikan kepada kerabat. Belum lagi uang itu juga harus bisa menutupi pengeluaran tiket bus atau kereta api yang ia gunakan bersama tiga orang anggota keluarga.

Ditambah lagi, berdekatan dengan Lebaran 2019 ini, ada rencana hajatan pernikahan saudara yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Kiki berharap uang yang dia kumpulkan cukup sampai mudik Senin (10/6/2019) nanti, saat sebagian besar warga lain justru sudah beraktivitas seperti biasa.

“Nanti ditanyain masak pulang dari Jakarta enggak bawa apa-apa. Jadi malu, dibilang 'di Jakarta ngapain aja? Tapi ya gara-gara itu jadi semangat cari duit,” kata Kiki.

Nur Hanah (33), pedagang warteg di Jalan Kemang Utara, juga baru pertama kali merasakan lebaran jauh dari kampung halamannya di Tegal. Bukan karena uangnya belum cukup, tapi karena dia memang baru bertugas sebulan dari total empat bulan. Meskipun baru bisa kembali sekitar Agustus 2019 mendatang, Nur mengaku tidak keberatan.

Banyak warteg memang dijalankan dengan cara demikian: pengelolaanya digilir. Biasanya mereka satu keluarga.

“Keluarga saya ya nanya dan nangis mereka. ‘Kenapa enggak pulang?’ Saya penginnya pulang, tapi jatah jaga warung saya baru mulai satu bulan,” kata Nur.

Warteg Nur, sebagaimana Kiki, jadi berkah bagi mereka yang masih harus bekerja di hari raya. Berbekal lauk seadanya yang ia dapat dari pedagang pasar yang juga memilih untuk tidak pulang, warungnya tetap buka meski tak sampai 24 jam seperti hari biasa.

“Orang kalau mau nyari makan di hari-hari begini susah. Pada tutup. Mereka tetap mau makan apa aja lauk yang disediakan,” kata Nur.

Kentung (57), pedagang warteg “Ada Rasa DKI” di kawasan Buncit Indah, punya cerita lain lagi. Dia memang sudah biasa tidak pulang ke kampung halamannya selama lebaran. Sejak bekerja di Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan, ia biasa menggantikan ibunya--yang pulang kampung ke Tegal--menjaga warung makan.

“Saya ganti ibu yang pulang kampung. Daripada tutup terus biaya kontrakan mahal, jadi ya jualan, daripada di kampung bengong. Nanti ambil cuti hari biasa buat pulang kampung,” kata Kentung saat ditemui di warungnya.

Pada Idul Fitri kali ini, omzet turun, aku Kentung. Untungnya penjualannya masih dapat menutup biaya operasional harian warung kecil berwarna kuning itu.

“Libur lebaran kali ini lebih panjang. Dari Kenaikan Isa Almasih. Jadi lumayan berasa turunnya ya dibanding tahun lalu,” katanya.

Pada akhirnya, Kiki, Nur, dan Kentung punya alasan masing-masing tetap bekerja selama hari raya, dan itu untuk diri kepentingan sendiri. Tapi toh apa yang mereka lakukan tetap bermanfaat bagi orang lain. Mereka inilah para 'penyelamat perut' warga Jakarta.

Baca juga artikel terkait LIBUR LEBARAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino