tirto.id - Ombudsman RI (ORI) telah melakukan pemantauan dan wawancara secara langsung kepada para demonstran tolak revisi RUU Pilkada yang ditangkap di Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Barat, pada 23 Agustus 2024 lalu.
Hasilnya, Ombudsman RI menemukan beberapa demonstran yang mengalami luka-luka yang menurut informasi disebabkan karena pemukulan oleh polisi pada saat pengamanan di gedung DPR RI.
"Selain itu, terdapat temuan lain yakni sejumlah barang bawaan demonstran seperti handphone, dompet dan motor yang tidak diketahui keberadaannya. Ketika mereka menanyakan barang-barang maupun kendaraan bermotornya, pihak kepolisian tidak dapat menjelaskan hal tersebut," kata Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, dalam keterangan tertulis, Senin (26/8/2024).
Kemudian, Johanes menjelaskan bahwa pada pemantauan dan wawancara di Polres Metro Jakarta Barat, pihaknya menindaklanjuti adanya aduan mengenai dugaan permintaan sejumlah uang oleh anggota polisi agar demonstran dikembalikan kepada keluarga.
“Terkait dugaan permintaan sejumlah uang kepada demonstran yang ditahan, dari hasil pemantauan Ombudsman, hal itu tidak benar,” ujar Johanes.
Hasil pemantauan lainnya, kata Johanes, Ombudsman menemukan bahwa, terdapat 50 demonstran yang ditangkap di Polda Metro Jaya. Terdiri dari 43 laki-laki, 1 perempuan, dan 6 anak.
Pada saat itu, kata Johanes, 6 anak dan 1 perempuan telah dikembalikan kepada keluarga dan sisanya dalam proses pendalaman.
Sedangkan, Johanes memgatakan di Polres Metro Jakarta Barat, dari 105 demonstran yang ditangkap, 77 diantaranya sudah dikembalikan kepada keluarga dan 28 sisanya menunggu penjemputan keluarga.
“Kami sangat menyesalkan tindakan oknum-oknum kepolisian yang tidak bertanggungjawab dan mengakibatkan demonstran luka-luka, barang-barang hilang serta pengamanan dengan tindakan kekerasan. Ke depan kami berharap agar kejadian serupa tidak terulang dan secara transparan menyampaikan tindak lanjut penanganan demonstran yang diamankan kepada publik” ujar Johanes.
Demonstrasi di berbagai daerah pada Kamis (22/8/2024) terjadi karena DPR hendak merevisi Undang-Undang Pilkada sehari usai keluar putusan MK soal ambang batas syarat pencalonan oleh partai dalam pemilihan kepala daerah dan usia calon kepala daerah. Sikap DPR mendapat penolakan masyarakat luas karena dinilai melanggengkan politik dinasti dan telah membegal konstitusi.
DPR akhirnya membatalkan pembangkangan putusan MK yang memang bersifat final dan mengikat. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal menyiapkan revisi Peraturan KPU (PKPU) sesuai dengan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Aksi represif polisi di berbagai tempat aksi demonstrasi penolakan revisi UU Pilkada menjadi lagu lama aparat Bhayangkara yang belum berubah. Polisi masih menggunakan kekerasan hingga tindakan represif untuk mengendalikan demonstrasi.
Jargon “Presisi” untuk mengedepankan Polri yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan di era Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, masih jauh panggang dari api.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai hanya ada satu kata untuk menggambarkan tindakan polisi yang mengawal aksi demonstrasi revisi UU Pilkada: brutal. Pengamanan yang semula kondusif selalu berujung brutal.
Usman menyayangkan pola semacam ini terus terjadi dan dilakukan polisi. Aparat seolah tidak belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, seperti hak berkumpul dengan damai, hak untuk hidup, hak tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi.
“Mereka (demonstran) bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal,” kata Usman lewat keterangan tertulis kepada Tirto, Jumat (23/8/2023).
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Bayu Septianto