tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit karena pandemi COVID-19 hingga 2022. Perpanjangan ini merupakan yang kedua setelah diperpanjang hanya sampai 2021.
“Namun demikian dari hasil evaluasi dan diskusi seluruh pengusaha dan perbankan kayaknya perlu diperpanjang lagi dan kemarin sudah kami putuskan untuk diperpanjang sampai 2022. Ditambah 1 tahun lagi,” ucap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam acara bertajuk "CEO Networking 2020: Building Resilience to Economic Recovery”, Selasa (24/11/2020).
Keputusan ini diteken melalui Peraturan OJK (POJK) No.11/POJK.03/2020. Lewat beleid itu restrukturisasi diperpanjang dari semula sampai pada 31 Maret 2021 menjadi 31 Maret 2022.
Hingga 26 Oktober 2020, OJK mencatat bank telah melakukan restrukturisasi sebanyak Rp932,4 triliun dan dirasakan oleh 7,53 juta debitur. Dari perusahaan pembiayaan sudah mencapai Rp181,3 triliun untuk 4,87 kontrak per 17 November 2020.
Wimboh bilang tanpa restrukturisasi, dampaknya pada perbankan akan cukup signifikan. Antara lain kewajiban membentuk pencadangan atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dapat menggerus laba perbankan untuk menalangi kredit macet yang tidak bisa dibayar debitur.
“Kalau tanpa ini, profit and loss perbankan akan lebih besar karena harus membuat provisi untuk kredit macet. Ini sementara kami tunda,” ucap Wimboh.
Wimboh menyerahkan keputusan restrukturisasi ini pada perbankan. Ia bilang jika ada debitur yang tidak lagi memiliki niat atau sudah kesulitan untuk tetap bertahan, maka bank dapat langsung membentuk pencadangan.
“Kalau sudah berat dan pengusahanya sendiri berat untuk bangkit silahkan saja dibentuk pencadangan. Secara gradual tidak membebani perbankan kalau ternyata itu tidak bisa bangkit,” ucap Wimboh.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Bayu Septianto