Menuju konten utama

Antara Nyawa dan Keluarga: Beban Berat Nakes Perempuan Saat Pandemi

Lebih dari 70 persen tenaga kesehatan di Indonesia merupakan perempuan. Saat pandemi, risiko yang mereka hadapi berlipat ganda. Tak sedikit yang gugur.

Seorang tenaga kesehatan memakai alat pelindung diri (APD) sebelum memeriksa pasien di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.

tirto.id - Jazimatul Khoiriyah Kurniawati baru kembali bekerja satu bulan usai cuti melahirkan saat Presiden Joko Widodo mengumumkan ada dua orang di Indonesia positif terjangkit virus COVID-19, 2 Maret 2020. Ketika itu sudah ada 90 ribuan orang yang terpapar di seluruh dunia, 3.000 lebih di antaranya meninggal.

Ia menangis tiap malam saat menyusui sang anak bungsu yang kala itu baru berusia empat bulan ketika membayangkan kemungkinan virus ganas yang belum ada obatnya itu sewaktu-waktu hinggap di tubuhnya. Anak pertamanya belum genap berusia lima tahun. Ia pun gelisah setiap akan memulai hari. Ia merasakan “tekanan batin” yang begitu dahsyat pada tiga bulan awal masa pandemi.

Nia, begitu ia disapa, tahu betul perawat sepertinya berisiko tinggi. Ia bekerja di puskesmas yang tiap hari didatangi orang sakit yang entah membawa virus apa. Tugasnya di Puskesmas Kasihan II, Bantul, Yogyakarta berbeda-beda. Satu hari di poli umum, hari yang lain di poli lansia, hari berikutnya di UGD atau poli batuk. Belakangan ia juga ikut mengambil sampel darah untuk tes cepat COVID-19.

Bertemu buah hati dan suami selepas bekerja membuatnya cemas meski sudah membersihkan badan dua kali, sekali selepas kerja di puskesmas, sekali lagi ketika sampai di rumah.

Nia pertama kali melakukan tes rapid pada Mei. Ia ingat betul betapa tegangnya saat menunggu menunggu hasil tes. Hasilnya memang non-reaktif. Nia lega. Tapi itu tak bertahan lama. Pada akhir Juli, ketika semua pegawai puskesmas di tes swab, Nia dinyatakan positif bersama 16 orang lain.

“Perasaan saya campur aduk waktu itu,” cerita perempuan 31 tahun itu kepada saya, Kamis (19/11/2020) via telepon. Ia sedih sekaligus takut kalau-kalau bayinya tertular.

Nia, yang positif tanpa gejala, mulai dikarantina pada 30 Juli di rumah sakit sementara yang dibikin Pemkab Bantul. Ia melewati malam takbir dan hari Raya Iduladha di ruang karantina. Tiap hari ia mengonsumsi antivirus, yang membuat ASI-nya tak boleh diberikan pada sang anak. Saat itu Nia hanya bisa berharap persediaan ASI yang ia simpan cukup sampai dinyatakan sembuh.

Pada hari keenam karantina, 4 Agustus, Nia akhirnya diperbolehkan pulang setelah hasil dua kali tes swab dinyatakan negatif. Nia juga lega karena hasil pemeriksaan suami dan kedua anaknya juga negatif.

===

Beban Ganda Nakes Perempuan Saat Pandemi

Muthiah Miftahul Husnayain (tengah) saat menjadi salah satu dokter di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Jakarta. FOTO/Dokumen Pribadi Muthiah Miftahul Husnayain

20 hari setelah Presiden mengumumkan kasus pertama dan kedua, Pemerintah menjadikan Wisma Atlet Jakarta sebagai Rumah Sakit Darurat COVID-19. Saat itu sudah ada 579 orang terkonfirmasi positif dan 49 di antaranya meninggal. Pemerintah membutuhkan ratusan relawan tenaga kesehatan untuk ditempatkan di sana. Salah satu yang memutuskan terjun ke gelanggang pertempuran tersebut adalah Muthiah Miftahul Husnayain, usianya kini 25 tahun.

Muthia, begitu ia disapa, jadi relawan selama satu bulan dari 6 April hingga 9 Mei. Saat itu anak pertamanya masih berusia delapan bulan.

Ia sebetulnya punya pilihan untuk tak mengambil risiko menjadi relawan di garda terdepan penanganan pandemi. Muthia tahu bahwa penularan dan kematian yang disebabkan COVID-19 saat itu terbuka lebar. Setelah berdiskusi panjang dengan suami, ia akhirnya memantapkan tekad menjadi relawan.

Selama satu bulan ia terpisah dengan anak dan suami. Ia harus tetap memenuhi kebutuhan ASI sang buah hati di tengah situasi kerja darurat. Masalahnya, situasi yang dia hadapi tak melulu mudah. Di RSD Wisma Atlet, misalnya, saat itu belum tersedia kulkas tempat dia bisa menyimpan ASI perah. Masalah ini baru terselesaikan ketika ia mendapatkan bantuan menyewakan kulkas.

Masalah lain terkait jam kerja. Muthia bekerja delapan sampai 10 jam sehari, mengenakan APD lengkap, menangani sampai 40 pasien. Ia tak punya waktu untuk memerah ASI, padahal seharusnya setiap tiga jam sekali ASI diperah. Situasi itu membuatnya mengalami infeksi jaringan payudara atau mastitis. Mastitis membuat dadanya nyeri, sesak, panas, dan berat.

“Selama di RSD Wisma Atlet saya mengalami dua kali mastitis,” kata Muthia pada saya melalui sambungan telepon.

===

Widyastuti sudah 11 tahun bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta. Perempuan 37 tahun itu ditempatkan di bagian ruang isolasi ketat untuk penyakit menular sejak enam tahun terakhir.

Sebelum pandemi COVID-19, ia sudah ikut dalam penanganan pasien penyakit menular berbahaya lain seperti ebola, sars, hingga flu burung. Bedanya, saat COVID-19 datang, ia harus rela terpisah jarak dengan orang-orang yang dicinta. Sejak April 2020, ia wajib tinggal di hotel yang pemerintah sediakan bersama para tenaga kesehatan penanganan COVID-19 lain.

“Sejak saya di hotel, pulang kurang lebih hanya seminggu sekali. Kalau saya sehat, tidak ada keluhan apa-apa, baru berani pulang,” ujar Widya. “Sedih harus meninggalkan anak.”

Tujuh bulan terpisah dari suami dan kedua anak yang masing-masing 12 dan 10 tahun membuatnya lebih khawatir anak dan suami terpapar virus dari tempat lain. Namun ia tetap bersyukur. Kedua anaknya sudah beranjak remaja. Meski sedih jarang bersama mereka, Widya senang melihat anak-anaknya bisa mandiri.

Ia bilang masih beruntung dibanding rekan kerja yang lain. Ada koleganya yang harus menantang risiko pulang ke rumah setiap hari karena memiliki anak bayi yang masih menyusui.

Salah satunya adalah Anna Isnaini. Anna sama seperti Widya. Sejak tiga bulan terakhir ia ditempatkan di ruang isolasi ketat untuk penyakit menular di rumah sakit yang sama. Anna adalah ibu muda berusia 26 tahun. Ia baru melahirkan pada Mei lalu dan mulai bekerja kembali usai cuti pada September.

Beban Ganda Nakes Perempuan Saat Pandemi

Anna Isnaini perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta yang bertugas di ruang isolasi pasien COVID-19 (FOTO/Dok. Anna Isnaini)

Sebelum melahirkan, ia tidak ditempatkan di ruang isolasi COVID-19. Namun, tetap saja ia waswas. “Setiap ada informasi ibu hamil yang terkonfirmasi positif sampai meninggal, kekhawatiran saya muncul,” kata Anna, Jumat (20/11/2020).

Ia berharap pandemi usai ketika ia kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Namun, harapannya jauh panggang dari api. Pandemi sama sekali belum surut bahkan belum ada tanda dapat dikendalikan. Ia harus kembali bekerja mengurus pasien COVID-19 di ruang isolasi dengan kondisi gejala sedang hingga berat.

Ruangan yang ia tangani kapasitasnya 11 pasien. Setiap satu perawat bisa menangani 3-4 pasien. Ia bertugas memberikan makan dan membantu aktivitas yang tidak bisa dilakukan oleh pasien. Selain itu, juga “memberikan dukungan moril, memberikan semangat, dan mendengarkan keluh kesah pasien.”

Ia juga pernah merawat seorang pasien perempuan yang memiliki anak bayi sepertinya. “Saya sedih dia tidak bisa memberikan ASI perah ke anaknya. Saya jadi membayangkan kalau itu saya,” kata Anna.

===

Betapa pun susahnya nasib Nia, Muthia, Widyastuti, dan Anna, mereka semua masih mungkin menjalani hidup normal setelah semua ini selesai. Sementara bagi Nur Iskandar, semua tak akan lagi sama sejak 9 April. Pada hari itu istrinya, Nur Putri Julianty, seorang perawat di Rumah Sakit Umum Andhika Jakarta yang dinikahi pada Februari tahun lalu, meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19 di usia 24 tahun. Janin berusia tujuh bulan yang dikandung istri pun tak terselamatkan.

Saat itu Nur Putri tercatat sebagai tenaga kesehatan ke-10 dari 22 yang dianggap gugur saat bekerja melawan pandemi.

Nur Iskandar sebetulnya telah mengutarakan kekhawatirannya pada mendiang istri di awal masa pandemi. Ia minta sang istri istirahat di rumah, tak bekerja dulu selagi pandemi dan sedang berbadan dua. Kekhawatirannya sangat beralasan sebab sang istri punya riwayat keguguran. Contoh nakes yang gugur pun sudah ada. Namun, semuanya gagal.

“Tugas perawat memang seperti ini, tidak bisa cuti dan libur sembarangan,” kata Nur Iskandar menirukan jawaban Nur Putri kepada saya, Kamis (12/11/2020).

Ketakutannya makin menjadi pada suatu malam, sekitar sepekan sebelum sakit, istrinya mengirimkan pesan: “Aku sama dedek (janin) ngeri, ada pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19 di ruangan aku dan aku yang merawat.”

Pada 4 April, saat sedang bekerja, Nur Putri tiba-tiba mengeluh lemas. Tensinya rendah. Ia kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati, tempat Nur Iskandar bekerja di bagian administrasi. Dokter bilang fungsi ginjalnya memburuk sehingga perlu cuci darah. Saat itu Nur Putri juga mengalami gejala batuk. Oleh dokter kemudian dia disarankan untuk melakukan tes cepat. Hasilnya non-reaktif.

Namun selang beberapa hari kondisinya menurun, nafasnya makin sesak dan memburuk. Nur Putri dipindahkan ke ruang ICU dan dipasang ventilator. Karena kondisinya makin memburuk dokter bilang janin harus segera dikeluarkan. “Saat itu dinyatakan sebagai PDP COVID-19 karena hasil rontgen paru-paru sudah mengarah ke sana, sudah memutih semua,” cerita Nur Iskandar.

Bayi berhasil dikeluarkan dari kandungan. Pria 23 tahun itu akhirnya memiliki anak. Namun hanya 10 menit hadir di dunia, sang anak meninggal. Ia menguburkan sendiri jenazah anaknya, tetapi ari-ari tak diizinkan dibawa pulang karena itu bisa jadi medium penularan.

Belum kering air mata, empat jam kemudian istrinya menyusul si buah hati. Ia kehilangan istri dan anak untuk selamanya. Istrinya dikubur dengan protokol COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon Jakarta Timur.

Nakes Gugur Karena Corona

Nur Iskandar (kiri) bersama Nur Putri Julianty (kanan) saat acara pernikahan pada Februari 2019. (FOTO/Dokumentasi pribadi Nur Iskandar)

===

Duka juga menyelimuti keluarga dokter Elianna Widiastuti, Ketua Tim Gugus COVID-19 di Puskesmas Halmahera, Semarang, yang meninggal pada 28 Juni 2020.

Toto Yulianto, suami Elianna, bilang kepada saya, Kamis (12/11/2020), setelah meninggal istrinya banyak mendapatkan piagam penghargaan “sebagai pahlawan kemanusiaan.” Penghargaan diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang, Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Semarang, hingga kampus almamater almarhum. Namun toh hanya itu yang ia dapatkan. Karena Elianna tak sempat dites swab, oleh pemerintah ia tak disebut meninggal karena positif COVID-19 dan akibatnya tak dapat santunan.

Meski diingatkan sang suami untuk istirahat, Elianna bersikukuh tetap bekerja. “Dia waktu itu enggak mau istirahat karena memang tidak ada dokter yang bisa menggantikannya,” kata Toto.

Elianna betul-betul bertugas di garda terdepan penanganan pandemi: di puskesmas. Karena aktivitasnya itu, dua bulan sebelum meninggal, ia pernah menjalani isolasi mandiri karena mengalami gejala COVID-19. Hasil tes swab waktu itu memang negatif. Ketika mengeluh kurang sehat pada awal Juni, Toto menyarankan agar Elianna kembali tes swab. Saat itu Elianna menolak dengan alasan tes swab masih jarang dan harus bergilir dengan teman-teman yang lain.

Pada 20 Juni, ayah Elianna masuk rumah sakit dengan diagnosa awal demam berdarah. Elianna kala itu selalu mendampingi sang ayah di rumah sakit. Karena gejala mengarah COVID-19, sang ayah dites swab. Pada 28 Juni sang ayah meninggal. Tes swab baru keluar pada 29 Juni dengan hasil positif.

Saat mengikuti prosesi pemakaman sang ayah, Elianna tiba-tiba pingsan. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dimasukkan ke ruang isolasi karena mengalami sesak nafas. Pada hari yang sama beberapa jam setelah sang ayah meninggal, Elianna menyusul. Ia meninggal dalam usia 40 tahun, dan belum sempat dites swab.

Setelah itu semua keluarga dites. Dari 12 orang yang melakukan kontak erat, ada delapan yang dinyatakan positif termasuk tiga anak Elianna berusia 11, 9, dan 3,5 tahun. Kemudian adik Elianna yakni Aji Widi Aneswara, juga seorang dokter. Aji meninggal menyusul sang ayah dan kakak, sepekan kemudian pada 6 Juli.

Beban Perempuan Lebih Besar

Dibanding laki-laki, menurut Ketua Tim Peneliti Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (MKK FKUI) Dewi Sumaryani Soemarko, beban nakes perempuan lebih berat. “Kalau dia sudah berumah tangga pasti tidak bisa terhindar dari tugas sebagai ibu rumah tangga. Pasti punya beban yang berbeda,” katanya kepada reporter Tirto, Jumat (20/11/2020).

Dalam studi sosial, apa yang dialami para nakes perempuan ini disebut beban kerja ganda--memikul baik beban sebagai pekerja produktif di ruang publik dan pekerja reproduktif yang tak dibayar alias kerja-kerja domestik/rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga ini memang ada yang bisa dialihkan misalnya dengan menyewa asisten rumah tangga. Tapi ada pula yang tidak, misalnya menyusui.

“Perempuan bebannya lebih besar secara emosional,” kata Dewi, yang juga merupakan dokter spesialis okupasi. Beban emosional itu, seperti dalam kisah-kisah pada nakes yang diceritakan di atas, salah satunya adalah saat mereka tak bisa memberikan hak si anak--baik ASI atau yang lebih umum seperti perhatian.

Apa yang dialami para narasumber barangkali dirasakan pula ratusan ribu nakes lain. Data Kementerian Kesehatan 2019, jumlah nakes dari mulai dokter, perawat, dan bidan yang ada di fasilitas kesehatan didominasi oleh perempuan. 509.578 dari total 652.468 atau setara 78 persen dari perawat, bidan, dokter umum, dokter gigi, dan spesialis merupakan perempuan.

Bukan berarti beban nakes laki-laki itu ringan. Dalam situasi pandemi, tekanan tak mengenal jenis kelamin. Hal ini tercermin dalam survei yang dilakukan MKK FKUI terhadap 1.461 nakes pada Februari-Agustus 2020 atau pada masa pandemi. Mayoritas responden mengalami burnout--sindrom yang diakibatkan respons kronik terhadap stressor atau konflik di tempat kerja dan penyakit. Sebanyak 82 persen partisipan mengalami burnout tingkat sedang, 1 persen berat, dan 17 persen ringan.

Para partisipan rata-rata berusia 35 tahun dengan masa kerja lima tahun dan memiliki jam kerja saat COVID-19 selama 38,5 jam per minggu.

Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat per 10 November ada 282 nakes meninggal, terdiri dari dokter dan perawat, belum termasuk tenaga kesehatan lain seperti apoteker atau bidan. 22 di antaranya dokter perempuan. Sementara berdasarkan data dari Satgas COVID-19 Dewan Pengurus Pusat Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), per 20 November terdapat 115 perawat positif COVID-19 dan 5 suspek COVID-19 meninggal dunia. Dari 120 perawat yang meninggal, 61 di antaranya perempuan.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino