tirto.id - Sebagian keluarga tenaga kesehatan yang gugur saat menangani COVID-19 mendapat perlakuan tidak layak dari negara meski yang tercinta diberi predikat pahlawan kemanusiaan dan dihadiahi penghargaan Bintang Jasa Nararya oleh Presiden Joko Widodo. Mereka harus menerima kenyataan, menyesap janji manis yang sebenarnya kosong melompong.
Nur Iskandar salah satunya. Ia menikah pada Februari 2019 lalu dengan seorang perawat di Rumah Sakit Umum Andhika Jakarta bernama Nur Putri Julianty. Impiannya punya keturunan kandas saat istri bersama dengan janin berusia tujuh bulan meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19 pada 9 April 2020 di usia 24 tahun. Saat itu ia tercatat sebagai tenaga kesehatan ke 10 dari 22 yang dianggap gugur saat bekerja melawan pandemi.
Pada 4 April, saat sedang bekerja, Nur Putri tiba-tiba mengeluh lemas. Tensinya rendah. Ia kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati, tempat Nur Iskandar bekerja sebagai admin. Dokter bilang fungsi ginjalnya memburuk sehingga perlu cuci darah. Saat itu Nur Putri juga mengalami gejala batuk. Oleh dokter kemudian dia disarankan untuk melakukan tes cepat. Hasilnya non-reaktif. Namun selang beberapa hari kondisinya menurun, napasnya makin sesak dan memburuk.
Nur Putri dipindahkan ke ruang ICU dan dipasang ventilator. Karena kondisinya makin memburuk dokter bilang janin harus segera dikeluarkan.
“Saat itu dinyatakan sebagai PDP COVID-19 karena hasil rontgen paru-paru sudah mengarah ke sana, sudah memutih semua,” Nur Iskandar bercerita kepada reporter Tirto, Kamis (12/11/2020).
Bayi berhasil dikeluarkan dari kandungan. Pria 23 tahun itu akhirnya memiliki anak. Namun hanya 10 menit hadir di dunia, sang anak meninggal. Ia menguburkan sendiri jenazah anaknya, tetapi ari-ari tak diizinkan dibawa pulang karena itu bisa jadi medium penularan.
Belum kering air mata, empat jam kemudian istrinya menyusul si buah hati. Ia kehilangan istri dan anak untuk selamanya. Istrinya dikubur dengan protokol COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon Jakarta Timur.
Empat bulan setelahnya ia dapat kabar gembira meski tak mampu menghapus duka lara: dedikasi Nur Putri terhadap profesinya dapat pengakuan dari Presiden. Nur Iskandar diundang ke Istana Negara. “Saat diundang ke Istana, bingung mau bahagia atau sedih. Saya sedih bisa bertemu [Presiden] tapi karena penghargaan kepergian istri. Tapi saya tetap bangga dengan istri.” Mendiang istrinya mendapatkan penghargaan Bintang Jasa Nararya dari Presiden pada 13 Agustus lalu.
Pada gelombang pertama, 13 Agustus 2020, Presiden memberikan penghargaan kepada 22 tenaga medis bersamaan dengan sejumlah tokoh lain berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 51, 52, dan 53/TK/TH 2020 tanggal 22 Juni 2020 dan Nomor 79, 80, dan 81/TK/TH 2020 tanggal 12 Agustus 2020. Kemudian pada 11 November penghargaan juga diberikan kepada 23 tenaga kesehatan yang gugur, berdasarkan surat Keputusan Presiden RI Nomor 118 dan 119/TK/TH 2020 tentang penganugerahan tanda kehormatan dan bintang jasa tanggal 6 November 2020.
Total, dalam dua tahap tersebut, ada 22 perawat, 23 dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lain yang mendapatkan penghargaan.
Fadjroel Rachman, Juru Bicara Presiden, usai acara gelombang pertama bilang penyerahan bintang jasa ini “akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya dengan bintang jasa dan santunan yang sama.”
Namun janji tinggal janji. Nur Iskandar sampai saat ini tak belum menerima santunan sepeser pun baik dari pusat atau daerah. “Santunan sampai sekarang belum ada […] Alasanya karena istri saya tidak ada hasil tes swab.”
Nur Iskandar sebenarnya telah menyerahkan segala persyaratan administrasi penerima santunan yang diminta oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Namun, “santunan tidak bisa diberikan karena dinilai [Nur Putri meninggal] bukan COVID-19.”
Hal yang sama dialami keluarga almarhum dokter Elianna Widiastuti, Ketua Tim Gugus COVID-19 di Puskesmas Halmahera, Semarang, yang meninggal pada 28 Juni 2020.
Toto Yulianto, suami Elianna, bilang kepada reporter Tirto, Kamis (12/11/2020), setelah meninggal istrinya banyak mendapatkan piagam penghargaan “sebagai pahlawan kemanusia.” Penghargaan diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang, Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Semarang, hingga kampus almamater almarhum. Namun toh hanya itu yang ia dapatkan.
“Saya sudah mengurus dokumen untuk pengajuan santunan. Keluarga istri saya ada dua yang meninggal karena COVID-19, mertua dan adik ipar saya yang merupakan dokter. Dari pengajuan hanya adik ipar saya yang dapat karena ada hasil swab. Sementara istri saya tidak ada hasil swab,” kata Toto.
Elianna betul-betul bertugas di garda terdepan penanganan COVID-19 di puskesmas. Karena aktivitasnya itu, dua bulan sebelum meninggal, ia pernah menjalani isolasi mandiri karena mengalami gejala COVID-19. Namun hasil tes swab waktu itu dinyatakan negatif. Akan tetapi, setelah itu kondisinya kembali turun. Meski diingatkan sang suami untuk istirahat, Elianna bersikukuh tetap bekerja. “Dia waktu itu enggak mau istirahat karena memang tidak ada dokter yang bisa menggantikannya.”
Awal Juni Elianna mengeluhkan kondisinya. Toto menyarankan agar Elianna kembali melakukan tes swab. Namun saat itu ia beralasan tes swab masih jarang dan harus bergilir dengan teman-temannya yang lain.
Sampai kemudian tanggal 20 Juni 2020 ayah Elianna masuk rumah sakit dengan diagnosa awal demam berdarah. Elianna kala itu selalu mendampingi sang ayah di rumah sakit. Karena gejala mengarah COVID-19, sang ayah dites swab. 28 Juni 2020 sang ayah meninggal. Tes swab baru keluar pada 29 Juni 2020 dengan hasil positif.
Saat mengikuti prosesi pemakaman sang ayah, Elianna tiba-tiba pingsan. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dimasukkan ke ruang isolasi karena mengalami sesak napas. Pada hari yang sama beberapa jam setelah sang ayah meninggal, Elianna menyusul. Ia meninggal dalam usia 40 tahun, dan belum sempat dites swab.
Setelah itu semua keluarga dites. Dari 12 orang yang melakukan kontak erat, ada delapan yang dinyatakan positif termasuk tiga anak Elianna berusia 11, 9, dan 3,5 tahun. Kemudian adik Elianna yakni Aji Widi Aneswara, juga seorang dokter. Aji meninggal menyusul sang ayah dan kakak, sepekan kemudian pada 6 Juli 2020.
Setengah pun Belum
Berdasarkan data Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dari Maret hingga 10 November, terdapat total 282 tenaga kesehatan yang wafat akibat terinfeksi COVID-19. 159 dokter, 9 dokter gigi, dan 114 perawat.
Namun belum semua yang gugur karena COVID-19 mendapatkan santunan. Per 7 November, Kementerian Kesehatan menyatakan secara keseluruhan santunan baru diberikan kepada 101 ahli waris. Berpegangan pada data IDI, artinya belum ada setengah dari seluruh keluarga nakes yang meninggal mendapatkan santunan.
Sekretaris Tim Satgas penanganan COVID-19 DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Asep Gunawan mengatakan dari 22 perawat yang mendapatkan penghargaan dari Presiden, terdapat dua ahli waris yang belum mendapatkan santunan. Selain ahli waris mendiang Nur Putri Julianty, juga ahli waris almarhum Mursyida, perawat di PK Kampung Teleng, Sawahlunto, Sumatera Barat yang meninggal 3 April 2020.
“Mursyida & Nur Putri Julianty belum mendapatkan santunan kematian karena hasil swab atau rapid negatif, sedangkan sesuai KMK 392/2020 salah satu syarat untuk mendapatkan santunan hasil swabnya positif, tapi kedua perawat yang meninggal diindikasi PDP COVID-19,” kata Asep kepada reporter Tirto, Kamis.
Meski demikian, Asep mengatakan organisasi terus mengupayakan agar kedua ahli waris bisa mendapat santunan dari pemerintah sebagaimana yang lain.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino