tirto.id - Oei Thoa adalah orang yang kaya raya berkat dagangan tembakaunya. Tak hanya kaya, dia juga berpengaruh di masyarakat. Maka, oleh pemerintah kolonial, sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, ia diberi pangkat tituler Letnan.
Sebagai Letnan Tionghoa, Oei kenal dekat dengan Mayor Tionghoa Tan Eng Gan, yang lebih tinggi kedudukannya dari Oei Thoa. Tan Eng Gan adalah Ketua Dewan orang-orang Tionghoa (Kongkoan). Oei Thoa tinggal di daerah Toko Tiga, Jakarta pada 1830an.
Oei Thoa punya anak laki-laki: Oei Tambah dan Oei Makau. Karena mereka adalah anak dari kepala masyarakat Tionghoa, kedua anaknya pun punya nama tambahan Sia di belakang nama mereka. Di keluarga ini, yang belakangan sohor dan paling diingat adalah Oei Tambah Sia. Bukan karena sebaik ayahnya, tapi justru sifat jahatnya.
Oei Tambah Sia menjadi folklore dan legenda sebagai penjahat kelamin berbahaya di Tanah Betawi. Oei Tambah Sia pernah dikisahkan dalam buku Tambahsia: Soewatoe tjerita jang betoel soedah kedjadian di Betawi antara tahoen 1851-1956 (1903), yang ditulis Thio Tjin Boen.
Oei Thoa, oleh Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), digambarkan sebagai Tionghoa pendatang yang “berjiwa sosial dan sering memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu, namanya cukup dikenal. Setiap tanggal satu dan limabelas kalender Tionghoa, ratusan orang miskin telah menantinya di Kelenteng Kim Tek Ie, tempat ia melakukan ibadahnya, untuk menantikan saat ia membagikan bantuannya.”
Mengenai Tambah, anaknya, justru kebalikannya. Dari sikap tercela dalam konsep Ma Lima, setidaknya Tambah dikenal sebagai anak muda yang suka Main (judi), Madat (menghisap candu) juga Madon (berzinah). Di zaman kolonial, menghisap opium adalah kelaziman orang kelebihan uang.
Judi yang biasa Tambah lakukan adalah adu ayam. Namun, dalam soal Maling (mencuri), ia bukan tipikal yang mencuri barang orang lain. Tambah dikenal sebagai pencuri anak gadis orang, bahkan istri orang. Tambah ditakuti karena dia punya centeng, dan punya germo langganan yang menyediakan perempuan-perempuan cantik untunya.
Setelah kematian Oei Thoa, usaha keluarga dipegang oleh Tambah. Keluarga ini masih tetap kaya. Tambah makin menggila. Meski keluarga ini dihormati, tapi bagi orang-orang Tionghoa, Tambah arogan. Tambah sendiri punya juga punya rival di kalangan orang Tionghoa, yakni Liem Soe king, mantu dari Mayor Tan Eng Gan.
Liem Soe King biasa bergaul dengan orang-orang yang membenci Tambah. Menurut Benny Setiono, Tambah “memelihara hubungan baik dengan para pembesar Belanda yang ternyata juga banyak yang korup dan bersedia jadi pelindungnya. Ia merasa dengan uangnya ia dapat memperoleh segala apapun yang ia inginkan.”
Menurut Alwi Shahab yang pernah menulis Oey Tambahsia, Playboy Betawi (2007), cara buang hajat Tambah juga unik. Setiap dia buang hajat di kali, banyak orang-orang miskin di sekitar kali Krekot menanti di dekat jamban si Tambah. Rupanya mereka menanti uang kertas yang digunakan Tambah untuk membersihkan tinja di pantatnya setelah buang hajat. Uang itu diperebutkan orang-orang miskin yang malang itu.
Terkait sikap malingnya, yang mencuri perempuan yang istri atau anak orang, Tambah punya bungalow bernama Bintang Mas di daerah Ancol. Germo langganannya selalu memberi referensi perempuan-perempuan untuk Tambah. Sementara centengnya yang ditakuti tentu untuk membantu merebut dan menjaga perempuan yang disimpan Tambah. Apalagi yang tidak dipunya Tambah? Sebagai laki-laki, dia kaya, muda, tampan dan tentu saja dia berbahaya.
Nyonya Khoe Tjin Yang, istri seorang pedagang kelontong di Tongkangan, berhasil dirayu Tambah dan disimpan di Bungalow Bintang Mas miliknya yang mirip harem pangeran Timur Tengah. Si pedagang kelontong malang yang kehilangan istri itu pun akhirnya gila dan hilang darai peredaran. Untuk ukuran masa itu, si Nyonya Khoe cantik hingga si Tambah yang tampan mau merayunya.
Dari sekian banyak perempuan, Mas Ajeng Gunjing adalah perempuan terpenting bagi penjahat kelamin Batavia tempo dulu ini. Ajeng Gunjing yang pesinden ini pertama kali dilirik Tambah dalam sebuah hajatan di Pekalongan. Bermodal wajah tampan, juga uangnya yang banyak, Tambah percaya diri memikat pesinden cantik ini. Tak bertepuk sebelah tangan, Tambah pun akhirnya berhasil memboyong perempuan idamannya itu ke Tanah Betawi nan ramai di abad lalu itu.
“Betapapun cintanya Tambah sia kepada Gundjing, ia tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaan buruknya untuk berburu gadis, janda maupun istri orang lain,” tulis Alwi Shahab. Banyak orang-orang Tionghoa yang benci pada sikap Tambah pun hanya bisa mengelus dada untuk sementara waktu.
Menurut Alwi Shahab, Mas Ajeng semula ditempatkan di Bintang Mas Ancol, di mana perempuan-perempuan Tambah yang lain juga tinggal di sana. Di situ Mas Ajeng sakit dan mau tidak mau dipindahkan oleh Tambah ke rumah besarnya di Pasar Baru, Tengarang. Suaru kali, rumah Tambah tempat Mas Ajeng Gunjing tinggal kedatangan tamu bernama Mas Sutejo dari Pekalongan.
Cinta Tambah pada Mas Ajeng agak berlebihan. Tambah bahkan pernah gelap mata karena cemburu pada Sutejo, yang tak lain saudara kandung dari Mas Ajeng Gunjing sendiri. Centeng tukang pukul suruhan Tambah, lalu menghabisi nyawa Sutejo diam-diam.
Mas Sutejo pun dinyatakan hilang. Bukan Sutejo saja yang jadi korban tukang pukul Tambah. Seorang pembantu Tambah sendiri yang bernama Tjeng Kie juga diracuni. Hingga muncul fitnah yang dikipasi Tambah bahwa Liem Soe King adalah pembunuhnya. Namun, sebuah penyelidikan membuktikan Liem tak bersalah.
Mayor Tan, yang sering mendapat keluhan soal kebejatan Tambah namun cukup lama bersabar tak mau menindak Tambah, akhirnya bertindak. Menantunya, Liem, diperintahkan mengumpulkan bukti kejahatan Tambah. Orang-orang terkemuka Tionghoa yang biasanya hanya bisa mengeluh pada Mayor Tan bahkan ikut membantu. Bahkan Mas Ajeng Gunjing ikut membantu. Pihak polisi dan Asisten Residen terlibat.
Di hadapan Asisten Residen, Mas Gunjing mengaku heran pada seorang centeng Tambah bernama Piun yang memakai kain batik kepunyaan Mas Sutejo. Piun pun diperiksa dan akhirnya mengaku, bahwa Tambah yang menyuruhnya. Polisi pun segera menangkap Tambah. Setelah diperiksa dan disidang, Pengadilan Negeri Landraad memvonis mati Tambah Sia.
Segala usaha banding dan grasi ke Gubernur Jenderal Duymaer van Twist ditolak pula. Akhirnya, Oei Tambah Sia si playboy berbahaya itu dihukum gantung di depan Balai Kota, Taman Fatahillah. Ratusan warga kota Betawi yang menyaksikannya. Hukuman mati itu, seperti diperkirakan Benny Setiono dalam bukunya, terjadi di tahun 1851.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani