tirto.id - Kegelapan malam telah melingkupi seluruh suasana di Jalan Bungur Besar sewaktu tokoh Nug melintasinya dengan sepeda butut. Arlojinya menunjuk pukul 10. Ditingkahi hujan gerimis, khayal Nug membawakan rasa takut yang tidak-tidak. Kawasan Senen yang begitu sepi, dingin, dan mencekam membuat fokusnya buyar saat melihat kucing yang melintas tiba-tiba. Nug hilang kendali dan sepedanya tersungkur masuk comberan. Setengah mengumpat, dia pun kembali mengayuh sepedanya saat seseorang yang bertolak pinggang mendadak keluar dari bayang-bayang lampu jalan.
“Stop! Turun!”
Nug segera mematuhi perintah itu. Jantungnya kian kencang berdegup saat senjata api turut ditudingkan ke arahnya. Sang bandit meminta dompet Nug, sambil menyodokkan laras senjata ke perut korbannya. Sebagai bekas prajurit, Nug segera tahu senjata itu kosong dan tak ada popornya.
Maka dia pun mencemooh, “Wah, nodong, kok, pakai Vickers Jepang kosong!” Ucapan itu membuat sang bandit terperangah.
“Kok tahu ini Vickers Jepang?”
“Saya pernah pakai, kok!”
“Di mana?”
“Front MKS, tahun 1947, Agustus.”
“Hlo, Front MKS, Agustus 1947!?”
“Pernah ke Puring, apa?”
“Puring!? Gombong Karanganyar!?”
“Seksi Bima, regu 2! Siapa yang menangis di belakang pohon kelapa, takut ambil steling di muka waktu ada serbuan?”
“Mas Nug!!”
“Ya, saya ini.”
Nug mengerti siapa bandit yang menodongnya. Ialah Palguno, seorang priyayi yang memilih jalan berjuang sebagai tentara pelajar. Sesudah mengatasi rikuh karena menodong teman seregu di zaman Revolusi, mereka mengudap camilan dan minum sekadarnya di warung.
Terkuaklah cerita Palguno yang harus menerima nasib: uang dari kantor demobilisasi pelajar yang tidak cukup untuk hidup, pendidikan yang berantakan, dan kawin lari yang menyebabkan Palguno kelimpungan buat menafkahi istrinya. Singkat cerita, karena tekanan hidup, Vickers Jepang yang dulu digunakan saat berjuang, sekarang keluar lagi untuk menodong.
Nug yang merasa prihatin pun mengantar Palguno ke rumahnya di sebuah gang sempit dan becek, di mana istrinya tengah melahirkan anak pertama. Uang seadanya ia ulurkan kepada Palguno, yang merelakan Vickers miliknya untuk biaya bersalin dan keperluan rumah tangga.
Kepingan Revolusi dalam Cerpen
Begitulah Nugroho Notosusanto menghadirkan “Vickers Jepang” sebagai satu dari sembilan cerita pendek yang dimuat dalam kumpulan Tiga Kota. Bunga rampai yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1959 ini menjadi semacam sekuel dari kumpulan cerpennya yang terbit setahun sebelumnya dan diberi tajuk Hujan Kepagian.
Dua kumpulan cerpen itu saling terhubung oleh benang merah berupa latar realis, alur sederhana, dan kembangan bahasa yang tangkas dan hemat. Keduanya pun dapat disebut karya Nugroho yang paling berpengaruh sebagai sastrawan, mengingat setelah itu dia tak pernah melahirkan karya sastra lagi.
Sejak 1965, Nugroho lebih jamak dikenal sebagai dosen sejarah dan sejarawan militer. Dia lalu diangkat menjadi Rektor Universitas Indonesia pada 1982 dan kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1983.
Hujan Kepagian dibuka dengan cerita pendek “Senyum” yang berlatar 1954. Ia berkisah tentang penziarahan tokoh Aku ke makam temannya, Jono, yang terletak di sebuah bukit. Lukisan detik-detik gugurnya Jono dituturkan secara rinci lewat dialog imajiner supranatural antara si Aku dan Jono dari dalam kuburnya.
Jono memulai cerita saat perintah mundur diterima. Dia harus berlari dengan kepayahan karena kaki yang lecet akibat perjalanan jauh dari kota. Di tengah jalan, dia mendapat serangan bertubi-tubi hingga kaki dan pahanya hancur. Saat meregang nyawa, hanya ada bayangan Tati, adiknya yang masih balita, yang kelak akan menikmati seluruh pengorbanan Jono dan teman-temannya. Bayangan indah itulah yang membuat Jono tewas dalam keadaan tersenyum.
Cerita-cerita sesudah “Senyum” menjadi karikatur berbagai peristiwa di front pertempuran yang sangat manusiawi. Misalnya, cerpen “Konyol” yang mengisahkan baurnya batas antara mitos dan sugesti tentang nasib buruk yang akan menimpa prajurit yang berhubungan intim saat perang berkecamuk. Cerpen “Pembalasan Dendam” membawakan kisah seorang prajurit yang hendak membalas dendam atas kematian saudara kembarnya, tapi urung karena pergumulan batin saat dia disandera gerombolan penyamun.
“Perawan di Garis Depan” menceritakan sosok prajurit perempuan yang mengalami depresi sesudah keluarganya terbunuh saat mengungsi, harta bendanya dijarah, dan pemerkosaan berkali-kali yang dia alami. “Bayi” menggambarkan sketsa komikal saat tangisan bayi di sebuah gubuk menghentikan tembak-menembak antara prajurit Belanda dan tentara republik.
Terakhir, cerpen “Eksekusi” berkisah tentang perasaan seorang eksekutor yang gamang ketika harus melaksanakan perintah menembak mati seorang tawanan. Semua cerita tersebut memiliki detail yang meyakinkan karena, agaknya, bersumber dari pengalaman Nugroho saat bertugas di Brigade 17 Tentara Pelajar.
Sebagai kumpulan cerita berlatar era Revolusi, Hujan Kepagian memiliki perbedaan cukup tajam dengan kumpulan sejenis, sebut saja Percikan Revolusi dan Subuh karya Pramoedya Ananta Toer atau novelet Surabaya karya Idrus. Selain cara penyajiannya yang sederhana, cerpen-cerpen Nugroho pun punya tone tersendiri. Meski merekam tragedi dan ironi di tengah kecamuk perang, Hujan Kepagian tidak lantas tergelincir menjadi ode keperwiraan atau sekadar mengumbar kisah-kisah suram untuk menarik empati pembaca.
Hampir semua cerita di dalam antologi ini, meskipun bertaburan tragedi dan melibatkan pergolakan batin yang hebat, tetap dapat menjaga optimisme di akhir cerita melalui ungkapan-ungkapan subtil.
Kisah Tak Terduga dari Tiga Kota
Jika Hujan Kepagian merekam berbagai peristiwa pada zaman Revolusi, bunga rampai Tiga Kota melukiskan efek Revolusi terhadap corak hidup masyarakat di tiga kota: Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta. Efek tersebut menjangkau lintas matra, mulai dari sosial, kultural, ekonomi, hingga pilihan hidup pribadi.
Nugroho membuka antologi keduanya ini dengan cerpen berjudul “Mbah Danu”. Cerpen ini beroleh hormat dari kritikus H.B. Jassin lantaran keberhasilannya melukiskan gesekan antara idealisme dan realitas. Jassin pun mengutip dan mengupasnya dalam antologi kritik sastra Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968).
Cerpen “Mbah Danu” mengetengahkan perbenturan antara rasionalitas ilmu kedokteran modern dan kepercayaan klenik dalam praktik penyembuhan seseorang. Ia dibuka dengan deskripsi mencolok tentang tokoh utama yang namanya dianggit sebagai judul, yakni seorang dukun yang takzim dipanggil Mbah Danu.
“Wajahnya kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh,” tulis Nugroho.
Kisah selanjutnya mengalir pada cara-cara Mbah Danu mengusir setan dan menyembuhkan pembantu keluarga Pak Jaksa dengan cara menggebuknya dengan sapu lidi. Keampuhan “metode” Mbah Danu ini kembali terbukti saat Nyonya Salyo, putri Pak Jaksa yang tengah mengandung, meminta dipijat karena sakit kepala dan pegal-pegal.
Metode pengobatan irasional ini ditentang Salyo, menantu Pak Jaksa yang bergelar meester in de rechten.Dia menganggapnya sebagai takhayul dan tidak terbukti secara klinis. Karenanya, saat Mbok Rah—pembantu Pak Jaksa yang lain—terkena malaria, Salyo mengundang Dokter Umar Chattab untuk mengobatinya, bukan Mbah Danu.
Oleh dokter Umar, pasien diberi obat berupa pil kinine dengan wanti-wanti agar diminum teratur. Belakangan, penyakit Mbok Rah bertambah parah dan orang-orang justru yakin bahwa itulah kualat karena Salyo meragukan kesaktian Mbah Danu.
Mbok Rah pun meninggal dunia dan Mbah Danu diundang saat jenazah hendak disemayamkan. Rahasia akhirnya terkuak saat hendak menggotong jenazah keluar dari kamar. MBok Rah ternyata tidak meminum kinine dan menaruhnya sampai membukit di bawah balai-balai tempat tidur.
Selain “Mbah Danu” dan “Vickers Jepang”, cerita pendek lain dalam kumpulan Tiga Kota menghadirkan eksposur tajam terhadap dinamika sosial yang timbul sebagai residu Revolusi. Konflik keluarga dapat dilihat dari cerita pendek “Pengantin” yang mengangkat kisah kawin lari yang tragis karena adik mempelai wanita dipaksa untuk menggantikan kakaknya.
Dalam cerpen “Tayuban”, Nugroho menggali perasaan terpendam seorang nenek tentang suaminya yang menayub—menari berpasangan dengan penari perempuan—demi prestise jabatan. Latar kisah “Tayuban” secara kebetulan agak mengingatkan saya pada novelet Bawuk karya Umar Kayam yang memuat nukilan kisah priyayi rendahan yang dipaksa menayub demi menyenangkan atasan.
Ironi kemelaratan masyarakat di kawasan pedesaan pascakemerdekaan tergambar kuat lewat cerpen “Gunung Kidul”. Ia bercerita tentang seorang bapak yang terpaksa mencuri singkong dan kemudian tewas dikeroyok demi memberi makan anak dan istrinya yang kelaparan di gubuk mereka.
Sementara itu, kisah pertentangan antargenerasi dapat terbaca dari tiga cerpen, yaitu “Jeep 04-1001”, “Hilang” dan “Lagu”. Dalam ketiga cerpen itu, tokoh-tokoh tua bersilang pendapat dengan tokoh-tokoh muda yang sekilas terkesan banal dan medioker. Meski demikian, Nugroho berhasil meramunya menjadi cerita pendek yang berkesan dengan atmosfer suasana yang intens. Cerpen-cerpen itu juga cukup jitu mengekspresikan pergolakan batin mantan pejuang ketika berhadapan dengan alam kemerdekaan yang ternyata tak seindah impiannya.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi