tirto.id - Chandra Kirana sudah menginjak semester terakhir di Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Soegijapranata, Semarang. Namun, ia masih ingat pada 2018 ia menjadi sekretaris acara seminar bertajuk "Mengkomunikasikan Integritas," salah satu yang hadir sebagai pembicara adalah pegawai Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK.
Kirana mengatakan, panitia selalu menyiapkan akomodasi untuk setiap pembicara seminar, seperti transportasi dan hotel untuk satu malam. Tak ada niatan apa pun di balik pemberian akomodasi itu, semata untuk mengakomodir pembicara yang seringkali datang dari luar Semarang atau Jawa Tengah.
Namun, tawaran panitia itu ditolak oleh pegawai KPK tersebut. Ia memilih berangkat sendiri menggunakan pesawat, dan pergi ke kampus dengan menggunakan taksi, sama sekali tidak menggunakan fasilitas yang disediakan panitia. Bahkan, lanjut Kirana, kala makan siang pegawai KPK itu menolak tawaran makanan yang dari panitia dan mengatakan ia telah membawa makan siang sendiri.
"Makan juga dia bawa sendiri dan ngajak panitianya makan bareng-bareng gitu loh. Enggak ada jarak deh pokoknya," kata Kirana kepada reporter Tirto pada Selasa (10/8/2021).
Kirana bukanlah satu-satunya saksi dari integritas pegawai komisi antirasuah. Aktor sekaligus budayawan Sudjiwo Tedjo bercerita melalui akun Twitternya @sudjiwotedjo. Ia bercerita pernah satu forum diskusi dengan Ketua KPK, dan Ketua KPK itu tidak menggunakan fasilitas yang diberikan panitia.
"Dulu banget aku pernah satu forum diskusi ma Ketua KPK di suatu kampus di Semarang. Hingga kurang 15 menit acara, tak ada satu pun panitia yg tahu Ketua KPK nginep di mana, naik apa dari Jkt dll. 'Tapi masih confirmed beliau akan datang, Mbah,' kata ketua panitia. Dan datang," demikian twit Sudjiwo Tedjo.
Pengguna Twitter @abdabbas01 juga bercerita, pegawai KPK pernah menghadiri acara di kantornya. Sepanjang acara, sang pegawai tidak menyentuh air mineral yang disediakan, tidak mau menerima antar jemput, bahkan enggan menerima cindera mata.
"Benar. Pernah ngisi acara di kantor saya, disediain minum air mineral saja tidak diminum. Tidak mau diantar dan dijemput dari/ke hotel. Pas akhir acara dapat souvenir, diterima tapi pakai embel-embel 'tapi ini nanti tetap saya laporkan sebagai gratifikasi ya',"cuitnya.
Namun demikian, cerita-cerita tersebut hanya bisa jadi kenangan kala komisi antirasuah dinakhodai oleh Komjen Pol Firli Bahuri.
Pada 30 Juli lalu, 5 orang pimpinan KPK menandatangani Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 tahun 2020 tentang Perjalanan Dinas Di Lingkungan KPK. Beleid itu menyisipkan Pasal 2A dan Pasal 2B serta mengubah lampiran 1, lampiran 2, lampiran 3 aturan sebelumnya.
Ketentuan Pasal 2A ayat 1 menyatakan, Pelaksanaan perjalanan dinas di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengikuti rapat, seminar dan sejenisnya ditanggung oleh panitia. Pada ayat 2 dikatakan, jika panitia tidak menanggung biaya itu, maka biaya itu dibebankan ke anggaran KPK.
"Pelaksanaan perjalanan dinas di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengikuti rapat, seminar dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara," demikian bunyi Pasal 2A.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri menjelaskan, revisi aturan ini adalah konsekuensi dari alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dengan statusnya sebagai PNS, maka aturan soal perjalanan dinas juga harus diharmonisasi sesuai dengan aturan yang berlaku umum bagi ASN.
Ali Fikri pun mengatakan, ketentuan Pasal 2A tidak berlaku untuk kegiatan penindakan atau kegiatan yang diselenggarakan pihak swasta.
Menurutnya, ketentuan Pasal 2A itu dibuat guna mengakomodir pembiayaan kegiatan bersama yang dibebankan antar-lingkup ASN, yakni dengan kementerian maupun lembaga. Dengan demikian, tidak akan ada pengeluaran ganda antara pihak yang menyelenggarakan acara dan juga KPK.
"Dalam kegiatan bersama, KPK bisa menanggung biaya perjalanan dinas pihak terkait, dan sebaliknya. Peraturan ini tidak berlaku untuk kerja sama dengan pihak swasta," kata Ali Fikri lewat keterangan tertulis pada Senin (9/8/2021).
Ali Fikri pun menegaskan biaya operasional bukanlah gratifikasi, dan untuk mencegah adanya konflik kepentingan, maka untuk keperluan penindakan tetap menggunakan anggaran KPK. Selain itu, ia menjamin pegawai KPK berpegang pada kode etik pegawai dengan pengawasan dari Dewan Pengawas dan Inspektorat.
Jadi Celah Minta Fasilitas
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, praktik perjalanan dinas khususnya untuk menghadiri undangan kerap digunakan sebagai dalih untuk memberikan berbagai fasilitas mulai dari memberi tiket pesawat kelas bisnis, hotel mewah, penyambutan, antar jemput. Pemberian-pemberian itu berpotensi menimbulkan kedekatan, hutang budi, gratifikasi, dan konflik kepentingan.
Pimpinan KPK sebelumnya menyadari itu dan tercermin pada sikap pegawainya. Sayangnya, kata dia, usaha Pimpinan KPK sebelumnya telah dirusak oleh Pimpinan KPK saat ini.
"Melalui Peraturan Pimpinan KPK yang baru, Firli Bahuri dan Pimpinan KPK lainnya telah membuka kontak pandora yang selama ini berguna untuk melindungi KPK dari berbagai potensi penyimpangan, dengan menggelar karpet merah pemberian fasilitas perjalanan dinas oleh pihak penyelenggara," kata Almas lewat keterangan tertulis pada Selasa (10/8/2021).
"Hal ini akan menjadi kesempatan bagi berbagai pihak untuk mempengaruhi dan membangun kedekatan dengan pejabat atau staf KPK, baik itu pihak-pihak yang perkaranya tengah ditangani KPK ataupun tidak," kata dia.
Almas pun menanggapi klarifikasi dari Ali Fikri. Menurutnya, kendati Ali Fikri mengatakan aturan itu tidak berlaku untuk penindakan atau acara yang diselenggarakan swasta, tapi kenyataannya itu hanya ocehan Ali Fikri seorang, pembatasan itu tidak dituangkan dalam beleid tersebut.
"Kemunduran KPK sebagai badan antikorupsi yang selama ini disegani oleh masyarakat semakin terlihat. Alih-alih berbagai peraturan itu mendorong reformasi kelembagaan, peraturan pimpinan KPK tentang perjalanan dinas menambah bobot kehancuran nilai-nilai integritas KPK," kata dia.
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK non-aktif Sujanarko pun membandingkan aturan baru itu dengan aturan perjalanan dinas sebelumnya, yakni Perkom 7/2012. Menurutnya, aturan lama memiliki spirit untuk membiayai seluruh perjalanan dinas secara mandiri, hal itu tercermin dalam prinsip-prinsip perjalanan dinas, di antaranya: selektif, ketersediaan anggaran, efisiensi, tidak melewati batas pagu anggaran.
Pembiayaan di luar anggaran KPK sangat terbatas dan kondisional, bahkan pada praktiknya KPK tidak pernah menerima biaya perjalanan dinas dari anggaran instansi pemerintahan lainnya. Menurut Sujanarko, Klausul ini hanya dilakukan untuk kegiatan yang didanai oleh donor asing, kegiatan macam itu pun jarang dilakukan.
"Ini semata-mata untuk menjaga independensi KPK dan menghindari conflict of interest. Perkom yang baru justru mengharapkan dibiayai oleh panitia pengundang," kata Sujanarko lewat keterangan tertulis pada Selasa (10/8/2021).
Menurutnya, aturan baru ini akan menimbulkan ruang abu-abu baru bagi kode etik KPK. Misalnya, bagaimana hukumnya jika pegawai KPK menerima jamuan makan di restoran atau perlakuan mewah lainnya dari pengundang.
"Akan sulit pegawai KPK menjaga kredibilitas, kewibawan, indepedensi kalau KPK datang ke daerah dijemput, dikasih uang harian, dibiayai hotel, dikasih makan dll," kata dia.
Sujarnarko memprediksi, pasca aturan ini pemerintah-pemerintah daerah yang sebelumnya kerap menjadi mangsa KPK akan banyak mengundang pejabat KPK dan anggaran khusus untuk menjamu mereka. Hal ini tentu akan merusak citra pegawai KPK yang selama ini dikenal sebagai sosok-sosok independen dan berintegritas.
"Peraturan Perjadin ini secara nyata akan menghancurkan branding pegawai KPK yang 'unik' terkait indenpedensi pegawai. Sebelum perjadin ini merusak lebih dalam ke pegawai KPK, saran saya untuk dicabut saja," kata Sujanarko.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz