tirto.id - Iwan Fals punya lagu tentang orang-orang dan negeri nestapa dengan judul yang sama seperti nama negeri nestapa itu: Ethiopia. Bangsa ini tak hanya nestapa di zaman Perserikatan Bangsa Bangsa, tapi juga di zaman Liga Bangsa Bangsa.
Hingga awal abad XX, Ethiopia adalah kerajaan Kristen Koptik yang merdeka di Afrika bagian Utara. Sebagai kerajaan merdeka, Ethiopia pernah tampil gemilang dalam Pertempuran Adowa pada 1 Maret 1896 melawan Italia. Orang-orang Italia yang ingat dan malu oleh pertempuran itu menyebutnya sebagai: "Noda di Adowa".
“Setelah kemenangan (Ethiopia) atas Italia tahun 1896, Ethiopia diakui istimewa dan penting di mata orang-orang Afrika sebagai satu-satunya yang masih bertahan (dari kolonialisasi Eropa). Setelah Adowa, Ethiopia menjadi simbol atas keberanian dan perlawanan Afrika,” tulis Molefe Asante dan Rodney Worrell, dalam Pan-africanism in Barbados (2005).
Di masa pemerintahan Haile Sallasie alias Ras Tafari, negeri ini bergaul di lingkup internasional dengan menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Berkat sokongan Italia pula Ethiopia bisa menjadi anggota LBB pada 1923. Bahkan ada perjanjian persahabatan antara Italia dengan Ethiopia pada 1928. Meski mereka menang dalam pertempuran pada 1896, Ethiopia toh tak pernah memperkuat militernya layaknya Italia.
Setelah Il Duce Benito Mussolini berkuasa, ada gelagat kuat “Noda di Adowa” itu akan dibalas tuntas. Meski dihantui pengawasan LBB, Italia di bawah Il Duce kian terang-terangan menghendaki aneksasi kerajaan merdeka itu. Mussolini punya alasan untuk membenarkan tindakannya menduduki Italia: masalah perbatasan di Walwal. Di sana, tentara Somali berbendera Italia dengan tentara Ethiopia terlibat bentrokan pada Desember 1934. 130 orang tewas dari kedua belah pihak.
Meski perjanjian 1928 antara Italia dan Ethiopia menyatakan permasalahan itu bisa diatasi melalui dalam arbitrase internasional, namun Mussolini ingin mengambil cara militer terhadap negeri kecil yang dulu pernah mengalahkan bangsanya. Demi Italia la Prima, Italia Raya yang agung dan jaya.
“Awal Desember 1935 orang Italia telah masuk ke Ethiopia sejauh 125 kilometer, dan mereka terhenti untuk sementara. Untuk mencapai tujuan akhir Addis Ababa (ibukota Ethiopia) mereka harus masuk sejauh 640 kilometer melalui daerah liar bergunung-gunung. Mereka membuat jalan untuk mengangkut artileri berat dan peralatan mesin modern,” tulis Robert T. Elson dalam buku Menjelang Perang (1986). Tantangan alam dan kritik dari LBB membuat Italia terpaksa menunda serangan-serangan berikutnya atas Ethiopia.
Jalan bagi Italia dipermudah oleh kenyataan suku-suku di Ethiopia tidak semuanya loyal kepada kaisar Haile Sallasie. Suku Azebu Galla menjadi sekutu penting militer Italia. Biasanya mereka hanya bersenjata tombak, juga tanpa alas kaki. Militer Italia memberi mereka senjata api. Pertengahan Januari 1936, setelah membangun jalan dan terlibat pertempuran-pertempuran kecil, pasukan Italia merengsek maju ke Adis Ababa. Ibarat naik gunung, militer Italia berada di fase summit attack (pendakian terakhir).
Di jajaran panglima, Benito Mussolini sang Il Duce telah mengganti Marsekal Emilio de Bono dengan Marsekal Pietro Bodoglio. Il Duce memberi izin gila pada sang jenderal barunya yang akan memimpin invasi ke Adis Ababa.
“Anda kami beri kuasa untuk memakai gas (beracun), (walau) secara besar-besaran sekalipun,” kata Mussolini pada jenderalnya itu. Setidaknya, pasukan-pasukan terbaik Italia, termasuk dari pasukan gunung Alpen, dikerahkan. Begitu juga pesawat-pesawat tempur yang tak dimiliki Ethiopia.
Pasukan yang dipimpin Bodoglio unggul jauh dalam teknologi militer. Tentara kaisar tak lebih banyak dan tangguh seperti tentara Italia yang menyerang. Tentara Ethiopia tak hanya bersenjata ringan seadanya, tapi berpakaian seadanya pula. Mereka bukan tentara yang kuat meski punya sejarah pernah mengalahkan Italia pada 1896.
“Pada 5 Mei 1936, Marsekal Bodoglio memasuki Adis Ababa,” tulis Elson. Tentu saja dengan iringan pasukan militer dan 50 pesawat di udara, lalu menyusul pasukan lapis baja di belakang pasukan darat. Tentu saja kekuatan militer yang dikerahkan Italia nan fasis itu jauh melebihi kekuatan Italia ketika kalah di Adowa. Sementara itu, di jalanan, orang-orang Ethiopia angkat tangan dan memberi hormat ala fasis.
Kemenangan militer Italia atas negara lemah itu rupanya tak membuat si fasis Mussolini rendah hati. Dia malah mabuk kemenangan. Ketika ibukota diserbu, Haile Sallasie dan keluarganya sudah angkat kaki. Dan Haile Sallasie lalu muncul dalam sebuah sidang khusus Majelis LBB di Jenewa pada 30 Juni 1936. Kaisar bertubuh kurus itu jadi olokan koresponden fasis Italia yang kelewat nasionalis. Pidato Sallasie terganggu oleh mereka. Hingga delegasi Rumania ikut terganggu ulah fasis-fasis antek Mussolini itu dan berteriak: “Lemparkan orang-orang biadab itu keluar.”
LBB tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan langkah Italia. Sayup-sayup kritikan dari LBB diacuhkan. Lagi pula, tidak banyak anggota LBB yang mengetahui Ethiopia dengan baik. Nama-nama daerah seperti Gerlugobi, Gorahai, Gabredarre, Adigrat dan Adowa bukan hanya asing tapi terdengar aneh bagi telinga Eropa.
Sallassie mencoba memperingatkan bahwa berdiam diri sama saja menaruh bom waktu. Kepada orang-orang dalam sidang khusus LBB itu, Sallasie berkata, “Sekarang kami, besok giliran Anda.”
Sang kaisar menghabiskan waktu di Inggris ketika tentara Italia menduduki negerinya. Dia tinggal di Fairfield House, Bath, sebuah bangunan yang usianya kala itu hampir seabad dan bergaya arsitektur Italia pula. Ia tetap tinggal di sana sampai akhirnya sebuah pasukan gabungan pimpinan Kolonel Orde Wingate, dalam sebuah komando disebut Gideon Force, mendatangi negerinya. Pasukan gabungan itu berisikan orang-orang Sudan, Ethiopia dan juga Inggris. Menurut Thomas Ofcansky dan Laverle Berry, dalam Ethiopia: A Country Study (2004), tujuan pasukan itu adalah membebaskan Ethiopia.
Menurut biografi Haile Selassie, My Life and Ethiopia's Progress: The Autobiography of Emperor Haile Selassie I (1999), pada 18 Januari 1941 Haile Sallasi ikut menyeberangi perbatasan Sudan-Ethiopia di Um Iddla. Dua hari setelahnya dia menemukan loyalisnya dan memasukannya dalam Gideon Force.
Misi pembebasan itu sukses. tepat lima tahun setelah masuknya Bodoglio, pada 5 Mei 1941, Haile Sallasie memasuki kembali ibukota negerinya dan kembali berkuasa sebagai kaisar Ethiopia. Meski dalam politik global kurang dilirik dunia internasional, kaum yang menyebut diri Rastafara begitu memujanya layaknya anak Tuhan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS