Menuju konten utama

Munculnya Radikalisme di Birokrasi, Pemerintah Terapkan P4

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membenarkan munculnya sel-sel radikalisme di lingkungan birokrasi pemerintahan yakni Kementerian Keuangan, bahkan Kementerian Dalam Negeri. Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj fenomena ini bisa ditangkal dengan menerapkan kembali P4 (Program Pengabdian dan Pengamalan Pancasila).

Munculnya Radikalisme di Birokrasi, Pemerintah Terapkan P4
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy (tengah) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/1). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membenarkan munculnya sel-sel radikalisme di lingkungan birokrasi pemerintahan yakni Kementerian Keuangan, bahkan Kementerian Dalam Negeri. Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj fenomena ini bisa ditangkal dengan menerapkan kembali P4 (Program Pengabdian dan Pengamalan Pancasila).

“Di kami juga ada yang sama, tapi itu kan individu ya,” ujar Tjahjo di Kemendagri, Jakarta, Senin (30/1/2017).

Tjahjo menjelaskan, mereka yang terdoktrin radikal di instansi umumnya bersikap macam-macam, tetapi mayoritas mengundurkan diri atau menghilang.

“Ada pegawai yang tiba-tiba mengundurkan diri lalu menghilang tanpa jejak. Adajuga PNS tiba-tiba tidak masuk”, tuturnya.

Menurut Tjahjo, kejadian-kejadian seperti ini harus mendapat perhatian serius.

“Saya kira sebuah fenomena yang ini harus dicermati dengan baik, termasuk WN kita yang kembali lagi dari Suriah, yang bergabung di ISIS juga terus dalam pemantauan aparat keamanan,” ujar Tjahjo.

Tjahjo mengatakan, ISIS tidak menyerang birokrasi, tetapi menyerang tiap individu. Mereka yang tertular sel-sel radikalisme muncul dari tiap-tiap pribadi yang dicuci otak. Mereka yang mulai berpaham radikal umumnya adalah orang-orang yang tidak paham benar tentang agama.

Politikus PDIP ini menjelaskan, mereka yang tertular paham radikal bukanlah orang-orang tidak berpendidikan. Mayoritas yang terdoktrin oleh paham radikal adalah orang berpendidikan.

Tjahjo menegaskan, Kemendagri telah melakukan beragam macam cara untuk menangkal pandangan radikalisme. Salah satu cara adalah membentuk forum-forum yang diikuti tausyiah sehingga PNS tidak terdoktrin paham radikal. Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha menyelesaikan masalah radikalisme lewat pembangunan infrastruktur dan wawasan.

“Saya kira ini pekerjaan rumah kita ada pada masalah radikalisme itu adalah satu hal yang harus dicermati maka pak Jokowi mengintensifkan pembangunan infrastruktur, mengurangi kesenjangan, mengurangi angka kemiskinan, mengurangi angka pengangguran. Itu akar permasalahan dan wawasan kebangsaan ini yang harus dipahami dengan baik,” ujar Tjahjo.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj tidak heran munculnya sel-sel ISIS di lingkungan pemerintahan. Bahkan, Aqil mengklaim, Indonesia akan menjadi target besar ISIS di tahun 2017.

"Ada dokumen rahasia agenda ISIS tahun 2017 harus sudah masuk Indonesia dengan masif," ujar Said di Kemendagri, Jakarta, Senin (30/1/2017).

Said menambahkan, Abu Bakr al-Baghdadi, mantan pemimpin Negara Islam Irak dan Levant (ISIL), atau yang umum diterjemahkan sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) sudah melakukan raker ISIS. Dalam raker tersebut, Said mengklaim ISIS meminta kepada seluruh mujahid yang mendukung organisasi radikal itu untuk berjihad di daerah masing-masing dan tidak lagi ke Syria.

Said mengatakan, sudah ada 1200 WNI yang berangkat ke Syria untuk berjihad. Dari 1200 WNI, sekitar 100 WNI sudah meninggal, sementara yang sudah kembali tersisa sekitar 50 orang. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan Perancis yang mencapai 1500 orang umat muslim.

Dari 1500 umat muslim, 350 WN Perancis muslim adalah wanita. Kemudian ada juga sekitar 650 WN Inggris dan 200 WN Belgia yang ikut membela ISIS. Jumlah tersebut belum termasuk WN Pakistan dan WN Saudi yang diduga jauh lebih banyak.

Said mengaku heran sel radikal ISIS bisa masuk ke pemerintahan. Ia mengatakan sikap radikal muncul akibat empat faktor yakni kemiskinan kebodohan ketidaktahuan atau keterbelakangan dan ideologi. Said mengaku, ideologi merupakan hal yang paling sulit untuk diberantas. Said mengatakan, berdasarkan hasil riset, sekitar 4 persen pemuda Indonesia telah didoktrin paham radikal.

Pemerintah Terapkan Kembali Konsep P4

Said menjelaskan, dirinya telah mempunyai langkah-langkah untuk mencegah paham radikal di lingkaran pemerintahan. Ia telah mengajukan ke Lemhanas untuk menerapkan kembali P4 (Program Pengabdian dan Pengamalan Pancasila). Meskipun menggunakan konsep Orde Baru, pria yang aktif di NU sejak muda ini menegaskan P4 yang diusulkan akan berbeda. P4 akan mengedepankan penanaman nilai Pancasila.

"P4 harus dengan semangat yang berbeda dengan Orde Baru. Bukan semangat mempertahankan kekuasaan. Kita betul-betul masyarakat mengerti memahami meresapi Pancasila. Kalau cuma sosialisasi 4 pilar gak ngefek," ujar Said.

Said mengatakan, konsep P4 setidaknya harus diterapkan kepada pemerintahan. Ia menilai para pemuda juga perlu mendapat P4. Berdasarkan hasil survei yang ia peroleh, sekitar 4 persen pemuda Indonesia bersimpati kepada ISIS. Bahkan, dalam hasil survei tersebut pula, ia mengklaim sekitar 37 persen pemuda-pemudi tidak paham dengan ideologi Pancasila. Saat dikonfirmasi tentang asal-muasal survei, Said enggan merinci hal tersebut.

"Percaya sama saya deh," ujar Said.

Mendagri Tjahjo Kumolo menilai wacana penerapan kembali P4 secara positif. Menurut Tjahjo, P4 bisa memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia, baik dari SD hingga dewasa untuk memahami nilai-nilai Pancasila seperti nilai ketuhanan, nilai persatuan, nilai perikemanusiaan, nilai gotong royong dan musyawarah-mufakat, serta nilai keadilan sosial.

“Pengimplementasian sila-sila itu harus dipahami secara utuh, termasuk bela negara bahwa komitmen menjaga NKRI, menjaga kebihinekaan menjaga Undang-Undang Dasar 45 menjadi tanggung jawab semuanya,” ujar Tjahjo.

Tjahjo mengatakan, saat ini pemerintah sudah menerapkan konsep P4 lewat sosialisasi 4 pilar dan bela Negara. Ia menambahkan, pemerintah akan menggerakkan konsep bela Negara secara massif di berbagai penjuru Indonesia untuk mencegah paham radikal.

Penerapan konsep 4 pilar ini juga merupakan bentuk upaya baru demi mencegah anggota masyarakat, terutama kelompok masyarakat menengah ke atas dan sarjana menjadi anggota ormas radikal. Tjahjo pun menambahkan, peran media social juga penting untuk menangani masalah radikal.

“Saya kira ini perlu kesadaran, tanggung jawab semua pihak, termasuk salah satu tadi media sosial harus ikut bertanggung jawab, memberikan berita2 yang mendidik itu saja. soal kritik itu membangun kami terima, pemerintah terbuka. tetapi kalau memfitnah itu yang harus dikurangi,” ujar Tjahjo.

Tjahjo mengatakan, pemerintah sudah menerapkan konsep P4 di IPDN. Selain itu, Pemahaman pancasila Bela negara nanti akan sedang dipersiapkan sudah jalan. Saat dikonfirmasi bentuk P4 kepada publik, Tjahjo mengatakan pemerintah tengah menggodok aturan tentang hal tersebut.

“Kita tunggu aturannya ya, tapi secara prinsip yang penting bukan lembaganya, yang penting ini bagaimana cara memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pentingnya Pancasila ini. Bahwa indonesia ini terdiri dari berbagai suku agama golongan pulau-pulau daerah yang ini menjadi bagian dari NKRI,” tutur Tjahjo.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai pemerintah bisa saja menerapkan kembali konsep P4 untuk menanamkan nilai Pancasila. Akan tetapi, ia menegaskan, P4 tidak cocok sebagai alat untuk obat pemahaman radikal yang tumbuh di Indonesia.

“Kalau itu diklaim sebagai obat radikalisme itu jelas bukan obat. Silahkan saja mau menerapkan P4 itu tidak dipaksakan ditujukan untuk meredam radikalisme,” ujar Fahmi kepada tirto.

Menurut Fahmi, P4 tidak menjamin paham radikalisme hilang di Indonesia. Bahkan ia ini mengatakan, radikalisme masih tumbuh di masyarakat meskipun P4 sudah dilaksanakan di era Orde Baru.

Selain itu, Fahmi meminta agar publik tidak salah paham antara radikalisme dengan ekstrimisme. Ia mengatakan, paham radikal lebih mengarah pada tindak vandalisme sementara ekstrimisme bisa mengarah pada tindak terror. Ia mencontohkan konsep radikal lewat beribadah. Bagi mereka yang radikal dalam memahami suatu agama, pemeluk agama akan melakukan kegiatan keagamaan secara taat. Di sisi lain, terror yang merupakan muara tindak ekstrimisme muncul akibat minimnya saluran aspirasi, tidak adanya eksistensi, hingga terintimidasi.

Oleh karena itu, Fahmi menyarankan agar pemerintah para pemangku kepentingan focus pada pencetus-pencetus radikalisme ekstrimisme dan terorirsme. Ia menilai, penanaman nilai Pancasila malah bisa menjadi trigger karena masyarakat bukan membutuhkan penanaman ideologi, tetapi memberikan obat kepada publik.

Sementara itu, terkait penerapan P4 di lingkungan IPDN, Fahmi menunggu bukti hasil program P4 sebagai sarana penyembuh. Ia tidak ingin program ini Cuma sebagai seremoni tanpa dampak.

“Kalau kita bilang P4 sebagai solusi, sebagai obat ya dia harus punya kemampuan menyembuhkan. Kalau tidak menyembuhkan berarti gagal,” ujar Fahmi.

Sebelumnya, Pemerintah Turki mendeportasi sekitar 55 WNI, Kamis (26/1/2017). Ke-55 WNI tersebut ditempatkan di salah satu shelter milik Kementerian Sosial. Salah satu yang dideportasi adalah Triyono Utomo Abdul Sakti, yang pernah bekerja di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) namun saat ini sudah mundur dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia diduga akan bergabung dengan ISIS.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri