tirto.id - Pemerintah pusat dan daerah tak sepenuhnya akur membuat kebijakan larangan mudik. Ketika larangan mudik diberlakukan mulai 6-17 Mei 2021, para gubernur menyatakan mudik bisa tetap dilakukan sebelum terlarang.
Dua gubernur yang menyatakan boleh mudik sebelum 6 Mei adalah Gubernur Yogyakarta Sultan HB X dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
HB X menyatakan asal memenuhi 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas), maka warga dipersilakan mudik ke Yogya. Saat ini, klaimnya, sekitar 95 persen daerah di Yogya masuk zona hijau penularan COVID-19. Setiap akhir pekan Yogyakarta juga sudah ramai wisatawan, katanya.
"Nah, nanti saya kira, untuk Idulfitri sebelum 7 Mei, orang Yogyakarta di Jakarta dan sebagainya mungkin sudah pada pulang. Asal bisa memenuhi 5M tidak masalah. Orang Yogyakarta juga dibebaskan untuk bisa pergi," kata Sultan, yang sudah minta aparat desa dan polisi untuk mengawasi para pemudik menaati 5M.
Seluruh wilayah Provinsi Yogyakarta yang mencakup empat kabupaten dan satu kota menjadi wilayah aglomerasi. Artinya, mudik lokal di seluruh provinsi bisa dilakukan. Pemerintah pusat menetapkan 8 zona aglomerasi untuk mudik lokal. Eks Karesidenan Semarang termasuk ke dalam wilayah aglomerasi di Jawa Tengah.
Mengenai larangan mudik, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendukung penuh. Hanya saja, bila ingin tetap mudik ke Jawa Tengah bisa dilakukan sebelum dilarang mulai 6 Mei. Dengan begitu, pemudik diklaim hanya jumlah kecil.
Selama masa libur Lebaran, Ganjar membuka tempat wisata, berbeda dari tahun lalu yang melarang semua objek wisata. Selama protokol kesehatan dipenuhi, katanya, pengelola boleh buka objek wisata. Sebaliknya, Ganjar mengancam menutup objek wisata yang abai protokol kesehatan.
"Ekonomi sudah mulai bergerak dan sekarang mulai menyesuaikan. Cuma kami menghitungnya ... kalau terjadi mudik dan kemudian brek semuanya [mudik], pasti terjadi lonjakan penularan [COVID-19] yang mesti kami kontrol," ujar politikus PDIP ini.
Sementara Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zulkieflimansyah, membolehkan masyarakat yang ingin mudik ke kampung halaman. "Yang penting jalankan puasa di bulan Ramadan," ujarnya.
Ia berkata tidak bisa melarang atau memberi batasan bagi masyarakat yang ingin pulang ke Pulau Sumbawa atau Pulau Lombok karena hal ini kebiasaan setiap menjelang Idulfitri.
"Mereka pulang karena rindu. Kalau kami atur-atur, nanti banyak masalah yang akan terjadi," dalihnya, "biarkan ngalir begitu aja."
Larangan Mudik Dinilai Tidak Efektif
Di tengah silang pendapat para gubernur, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah meneken surat imbauan kepada kepala daerah untuk menjalankan keputusan pemerintah pusat. Instruksinya, pemerintah daerah boleh mengeluarkan kebijakan dan kriteria serta persyaratan "khusus" asalkan tidak melawan peraturan atau pedoman kementerian dan Satgas COVID-19.
Satgas Penanganan COVID-19 kini merancang strategi untuk mencegah mudik dini sebelum 6 Mei. Juru bicara Satgas, Wiku Adisasmito, menyebut mudik dini bisa memicu persebaran virus Corona.
"Pemerintah akan segera menyesuaikan kebijakan dengan tujuan mengerem arus pergerakan penduduk yang berpotensi meningkat," kata Wiku.
Bentuk antisipasi oleh Satgas antara lain mewajibkan warga karantina selama lima hari bila didapati mudik pada rentang waktu 6-17 Mei. Larangan mudik itu didukung oleh pendirian Posko untuk menghalau warga. Jumlah posko penyekatan 330 titik secara nasional.
Pengamat isu transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan pelarangan mudik diprediksi tidak efektif. Berkaca dari tahun lalu, ada sekitar 1,2 juta orang lolos ke wilayah Jawa Tengah. Pos penyekatan ikut menjadi faktor penentu lolosnya pemudik karena tidak semua posko beroperasi 1x24 jam.
“Mudik tidak perlu dilarang, tapi cukup diatur dan dikendalikan saja. Satgas sudah punya database zona penularan COVID-19. Seharusnya data itu dibuat untuk mobilisasi berbasis zona, bukan dengan zona aglomerasi,” ujarnya.
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino