tirto.id - 3 April 2018, sekitar pukul 09.15, Primus Ihza Mahendra mulai kelimpungan menghadapi soal Ujian Nasional matematika di hadapannya. Di komputer, waktu yang tersisa untuk menjawab seluruh soal hanya tinggal 15 menit, tapi baru 19 yang ia selesaikan.
Pada menit-menit akhir, siswa kelas 12 SMA Semesta, Semarang itu menyerah dan menebak jawaban dari soal-soal lain yang belum terjawab.
"Akhirnya yang bisa dikerjakan cuma 21 soal dari 40 soal. Sisanya semua pakai perasaan," ceritanya kepada Tirto.
Azzam Azizah Fiqli, siswi SMA 1 Malang, Jawa Timur, juga mengalami hal serupa saat mengerjakan soal mata pelajaran yang sama. Padahal, ia dikenal sebagai murid yang cerdas. "Dari 40 soal, aku hanya selesaikan 20," ujarnya.
Belakangan, ia tahu kesulitan itu juga dialami siswa-siswi lainnya setelah keluar dari ruang ujian. "Soal yang keluar itu bukan yang umum-umum, tapi yang benar-benar materi yang dianggep enggak bakal keluar," ujar Zizzah.
"Rasa-rasanya soal matematika kemarin seperti soal seleksi masuk perguruan tinggi negeri," tambahnya.
Kesulitan Ihza dan Zizzah bukan karena kurang persiapan, melainkan bobot soal yang kelewat susah. Dari 40 soal yang diujikan, sekitar sepuluh persennya masuk dalam kategori tingkat nalar tinggi alias High Order Thinking Skills (HOTS).
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Muhamad Abduh mengatakan kalau tujuan dimasukkannya soal-soal itu adalah meningkatkan kualitas dari UN tahun sebelumnya.
"Soal-soal yang memerlukan daya nalar tinggi ini memang sekitar 4-10 soal tidak pernah keluar dalam tryout di sekolah," ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sadar bahwa soal tersebut memang sulit. Ia pun meminta maaf untuk itu. Namun ia mengklaim bahwa soal-soal yang keluar dalam UNBK sudah sesuai dengan kisi-kisi yang dimatangkan guru lewat Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
"Saya meminta maaf kalau ada beberapa kalangan yang merasa mengalami kesulitan yang tidak bsia ditoleransi... Mohon maklum bahwa UN kita dari waktu ke waktu harus semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan kita," kata Muhadjir di Jakarta, Jumat pekan lalu, dikutip dari Antara.
Muhadjir kemudian menjelaskan kualitas pendidikan Indonesia masih lebih rendah dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, Kemendikbud berusaha untuk memperbarui sistem pendidikan, termasuk di antaranya meningkatkan standar soal.
Hapuskan UN atau Lakukan Perbaikan
Apa itu HOTS? Edi Susanto dan Heri Retnawati, dalam salah satu artikel yang diterbitkan Jurnal Riset Pendidikan Matematika mendefinisikan HOTS sebagai "kemampuan berpikir yang terdiri atas berpikir kritis, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah." Dengan HOTS, kata mereka, "siswa dapat memutuskan apa yang harus dipercayai dan apa yang harus dilakukan, mencipta ide baru, membuat prediksi dan memecahkan masalah non-rutin."
Dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika yang diterbitkan Jurusan Matematika Universitas Negeri Semarang (PDF), salah satu contoh soal HOTS untuk mata pelajaran matematika adalah sebagai berikut:
"OSIS suatu sekolah mengadakan pentas seni... panitia memilih gedung yang tempat duduk penontonnya berbentuk lingkaran enam baris. Banyaknya kursi pada masing-masing baris membentuk pola barisan tertentu. Jika pada baris pertama terdapat 25 kursi, baris kedua 35 kursi, baris ketiga 50 kursi, baris keempat 70 kursi, dan seterusnya. Tentukan lah banyaknya seluruh tempat duduk pada gedung pertunjukan itu."
Pertanyaan kedua: "Apabila harga tiket baris pertama adalah paling mahal dan selisih harga tiket antara dua baris yang berdekatan adalah Rp10 ribu, dengan asumsi seluruh kursi penonton terisi penuh, tentukan lah harga tiket yang paling murah agar panitia memperoleh pemasukan sebesar Rp22,5 juta."
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, menilai pemerintah tak bisa tiba-tiba memberikan soal dengan standar seperti itu. Sebab, para siswa masih berpikir di tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skill (LOTS).
Menurutnya, pemerintah harus mengubah pendekatan dan metode pembelajaran para siswa terlebih dulu jika ingin memberikan soal-soal HOTS dalam UN.
"Dan itu tidak bisa dilakukan dengan waktu yang singkat," ungkap Abduhzen kepada Tirto, Minggu (15/4/2018).
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim, juga berpendapat serupa. Katanya, soal-soal HOTS tidak adil karena guru-guru di tiap sekolah tidak dipersiapkan untuk mengimplementasikan metode berpikir tingkat tinggi tersebut sepanjang proses belajar mengajar.
Dengan kata lain, penerapan soal HOTS dalam ujian nasional tidak tepat karena persiapan menuju ke sana tidak ada.
"Percuma kalau soal-soal ujiannya di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif dan kreatif."
Jika hal tersebut tidak dilakukan, ia meminta agar ujian nasional dihapus saja. Sebab, urgensi penyelenggaraannya sudah tak jelas dan tidak berpengaruh pada kelulusan serta penerimaan siswa di perguruan tinggi negeri.
Karena alasan itu ia mengatakan Mendikbud tak bisa hanya minta maaf. Pernyataan maaf juga harus dibarengi dengan evaluasi secara menyeluruh.
Ada beberapa rekomendasi yang diberikan FSGI untuk Kemendikbud. Pertama, memberikan pelatihan intensif kepada para guru tentang bagaimana menerapkan HOTS dalam kegiatan belajar mengajar; Kedua, memberikan soal HOTS secara bertahap dari tahun ke tahun; dan terakhir, membuat soal bertingkat sesuai dengan standar pendidikan yang dicapai sekolah.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino