tirto.id - "Verifikasi. Verifikasi."
Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono, menyebut prinsip dasar jurnalisme itu mesti ada dalam benak dan dilakukan setiap orang yang membaca atau menonton berita soal Papua, baik yang dikabarkan media massa maupun pengguna media sosial.
Laporan Human Rights Watch pada 2015 (PDF) yang relevan hingga kini menggambarkan akses informasi mengenai Papua dibatasi bahkan sejak wilayah itu bukan bagian dari Indonesia pada 1960-an. Ujungnya, media sangat bergantung pada informasi dari kepolisian dan militer, pihak yang biasanya disebut sebagai sumber-sumber "resmi". Mendasarkan diri hanya dari satu sumber membuat berita jadi tidak kredibel.
Pembunuhan puluhan pekerja proyek pembangunan Jalan Trans Papua sesi Distrik Yall, Kabupaten Nduga, pada 2 Desember kemarin, adalah salah satu contohnya.
PT Istaka Karya, perusahaan yang bertanggung jawab atas pekerja itu, belum bisa memastikan berapa jumlah pekerja yang menjadi korban. Sedangkan media yang berpusat di Jakarta memberitakan sebanyak 31 orang menjadi korban. Mereka disebut mati ditembak. Media-media ini menyitir informasi yang diberikan Kepala Bidang Humas Polda Papua Kombes A.M. Kamal.
Sementara itu, Suara Papua dan Tabloid Jubi, dua media lokal Papua, menyampaikan pekerja yang meninggal sebanyak 24 orang. Sembari memuat informasi dari pihak kepolisian dan militer, kedua media itu mewawancarai pejabat setempat, dalam hal ini Wakil Ketua DPRD Nduga Alimin Gwijangge.
"Ada 24 orang yang dibunuh. Dua lain melarikan diri," ujar Gwijangge.
Victor Mambor, jurnalis Tabloid Jubi yang menulis berita tersebut, berkata kepada Tirto bahwa wartawan-wartawan Jubi belum bisa mendatangi lokasi guna mengecek kebenaran informasi pembunuhan para pekerja tersebut.
"Kita baru bisa konfirmasi ke Wakil Ketua DPRD Nduga [Alimin Gwijangge]. Problemnya, dia juga tidak berada di tempat waktu kejadian. Jadi, saya juga tanya apakah dibunuhnya itu ditembak atau diapakan, dia tidak tahu karena tempat dia jauh dari lokasi," ujar Victor, Rabu pekan ini (5/12).
Nduga adalah salah satu wilayah terpencil di Pegunungan Tengah Papua. Transportasi yang paling diandalkan untuk menuju wilayah tersebut memakai pesawat terbang. Menurut pengalaman Victor, ia mesti merogoh kocek Rp1,7 juta untuk penerbangan dari bandara terdekat di Wamena ke bandara Kenyam di Nduga.
Dari Kenyam, ibu kota Nduga, wartawan mesti menempuh 3-4 perjalanan kendaraan bermotor ke Mbua. Dari situ, masih harus jalan kaki menuju lokasi pembunuhan. Komunikasi di lokasi kejadian pun hanya bisa menggunakan radio single sideband (SSB). Demi mengongkosi transportasi dan akomodasi liputan satu wartawan ke sana bisa menghabiskan Rp5 juta.
Meski demikian, Victor mengatakan Jubi berusaha mengorek informasi dari orang-orang sipil, pejabat pemerintah, atau gereja.
Kata Victor: "Jarang juga kami menggunakan informasi dari polisi atau tentara. Kami prioritaskan informasi bersumber dari masyarakat."
Juga ketika berada di lapangan, wartawan mesti menghadapi masalah khas Papua: rasisme. Victor berkata wilayah Nduga "auranya tidak nyaman" bagi wartawan karena kental kecurigaan di antara warga dan aparat.
"Di Nduga, kalau kita rambut lurus, kita tidak nyaman dengan orang yang rambut keriting. Begitu juga sebaliknya. Kalau kita rambut lurus, kita dikira TNI, Polri, atau BIN," ujar Victor.
Kala Tentara Merekam Aksi Kekerasan Koleganya
Usaha mengungkap yang sebenarnya terjadi di Nduga, menurut Victor Mambor, bakal jauh lebih mudah apabila ada dokumentasi, berbentuk foto atau video, yang merekam kejadian itu.
Victor ingat pada 2010 dia memperoleh video yang memuat penyiksaan aparat militer Indonesia terhadap orang Papua. Ia segera mengirimkannya ke Al Jazeera, kantor yang menggaetnya sebagai kontributor.
Media berjaringan internasional yang berkantor pusat di Qatar itu kemudian mengunggah kiriman Victor pada Oktober 2010. Penyiksaan yang direkam dalam video tersebut juga menjadi berita Sydney Morning Herald, ABC Australia, dan CNN.
Analisis Andreas Harsono bersama tim Human Rights Watch menunjukkan video itu merekam penyiksaan terhadap dua petani, Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire, di Desa Yogorini, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, pada 30 Mei 2010. Kejadian berlangsung sekitar pukul 1:30 siang waktu Papua.
Dalam video tersebut, sekelompok tentara menginterogasi Kiwo dan Gire, menanyai keberadaan senjata. Kiwo menjawab tidak tahu soal itu. Lalu, para tentara menendang wajah dan dada Kiwo.
Mereka juga menyundut wajah Kiwo dengan rokok dan mendekatkan kayu berapi ke penisnya.
"Bakar penisnya! Bakar penisnya!" Para tentara bersahutan. Kemudian, tentara menaruh pisau di leher Gire.
Saat api mendekati penis, Kiwo berteriak. Namun, tentara menyodorkan senjata api ke mulut Kiwo dan berkata, "Diam. Diam. Kutembak. Kutembak mulutmu."
Kiwo dan Gire dikerangkeng oleh anggota kesatuan tersebut. Kiwo berhasil melarikan diri pada 2 Juni 2010. Sementara Gire dilepaskan setelah istri dan ibunya menekan para tentara.
Kiwo memberikan kesaksian lewat video lain yang direkam Dewan Adat Papua pada 23 Oktober 2010.
Pada saat itu juga beredar video lain yang merekam tentara Indonesia menginterogasi sambil memukuli, bahkan dengan helm, dan menendangi orang-orang Papua.
Setelah dua video penyiksaan itu beredar secara luas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghimpun rapat kabinet terbatas pada 22 Oktober 2010. Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Djoko Suyanto mengakui video itu merekam penyiksaan tentara terhadap orang Papua.
Pelaku penyiksaan dalam video "pemukulan dengan helm" terungkap lebih dahulu.
Awalnya, Pengadilan Militer III-19 Jayapura menggelar sidang perkara tidak mematuhi perintah yang dilakukan Praka Sahminan Husain Lubis, Prada Joko Sulistiono, Prada Dwi Purwanto, dan komandan mereka, Letnan Dua Cosmos pada 5 November 2010.
Keempatnya berasal dari kesatuan Pam Rawan Yonif 753 Arga Vira Tama/Nabire. Dalam sidang, mereka mengakui sebagai pelaku penyiksaan dalam video "pemukulan dengan helm" yang direkam pada 17 Maret 2010.
Cosmos menyatakan mendapatkan informasi keberadaan senjata AK-47 dan Mauser di suatu tempat di Desa Gurage, Puncak Jaya. Saat mencapai desa tersebut, Cosmos dan timnya memisahkan penduduk desa berdasarkan jenis kelamin dan menginterogasi mereka satu per satu.
Saat tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, Cosmos dan tentara lain menendangi dan memukuli penduduk desa. Sementara Praka Ishak merekam tindakan itu dengan Nokia N-70.
Pada Januari 2011, tiga anggota lain dari Yonif 753 Arga Vita Tama/Nabire dinyatakan bersalah karena telah menyiksa Kiwo dan Gire: Sersan Dua Irwan Riskianto (Wakil Komandan TNI Pos Gurage), Pratu Thamrin Makangiri, dan Pratu Yakson Agu (keduanya anggota TNI Pos Gurage).
Majelis Hakim Pengadilan Militer III-19 Jayapura menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara untuk Irwan, 8 bulan penjara untuk Thamrin, dan 9 bulan penjara untuk Yakson.
"Merekam juga Riskan"
Andreas Harsono menyebut hanya dua video itu yang sampai dijadikan alat bukti di pengadilan untuk kasus kekerasan terhadap orang Papua. Meski demikian, usaha-usaha untuk merekam kekerasan di Papua terus dilakukan. Video atau foto yang merekam kejadian sejenis terus masuk ke Human Rights Watch dan Tabloid Jubi.
"Mereka dulu langsung berikan ke saya karena internetnya pelan, dan saya bekerja di organisasi hak asasi manusia dan punya jaringan ke penegak hukum. Yang penting saya bisa analisis video. Saya tahu beberapa software untuk tahu kapan video itu dibikin, lokasinya di mana," ujar Andreas.
Sekarang, media sosial telah jadi sarana bagi orang-orang Papua untuk melaporkan peristiwa kekerasan di sekitarnya. Kata Andreas: "Sekarang mereka lakukan sendiri, langsung upload ke internet."
Laporan Amnesty Internasional Indonesia, "Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati" (PDF, 2018), menggambarkan kerusuhan terjadi di kantor perusahaan konstruksi di Desa Oneibo, Deiyai, pada 1 Agustus 2017.
Warga menyerang kantor itu lantaran para karyawan perusahaan menolak meminjamkan mobil untuk membawa seorang warga yang baru saja tenggelam (warga ini kemudian meninggal).
Polisi dan anggota Brimob datang. Warga melemparinya dengan batu. Para polisi membalas dengan menembaki kerumunan massa tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu.
Yulius Pigai, pemuda berumur 27, meninggal. Di bagian paha dan perutnya ditemukan luka tembak. Pada tubuh 10 warga lain yang selamat pun ditemukan luka tembak.
Pihak kepolisian semula mengklaim menggunakan hanya peluru karet. Namun, kesaksian para korban dan foto milik Dewan Adat Paniai menunjukkan selongsong peluru yang diduga ditemukan di lokasi penembakan menguatkan dugaan bahwa polisi telah menggunakan peluru tajam. (Foto ini kemudian dimuat di situs web Human Rights Watch.) Sementara jenazah korban tidak diotopsi.
Kapolda Papua menyatakan anak buahnya telah melanggar prosedur standar pengendalian massa. Ujungnya, sembilan personel polisi dinyatakan bersalah tapi tidak dipidanakan; hanya menerima "hukuman administratif."
Soal tindak lanjut dari dokumentasi video atau foto kekerasan yang beredar, Victor Mambor mengatakan kerapkali kasus seperti itu menggantung.
"[Penyelesaian] itu tergantung orang melapor dan niat baik institusi yang dilaporkan," ujar Victor.
Salah satu kasus yang menggantung itu kekerasan terhadap wartawan Tabloid Jubi, Abeth You, yang dilakukan aparat kepolisian pada Mei 2018.
Pada 5 Mei 2018, Abeth meliput debat Pilkada Deiyai di Guest House, Nabire. Saat itu ia melihat aparat kepolisian melakukan tindak kekerasan kepada seorang pengunjung yang menerobos lokasi debat. Abeth merekam kejadian itu memakai ponsel, tapi aparat menyuruhnya berhenti. Aparat itu merampas ponsel, mencekik leher, menarik tas dan baju Abeth.
Setelah kekerasan menimpa Abeth dipublikasikan, Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar mendatangi kantor Tabloid Jubi.
"Tindakan kekerasan itu kami tulis. Mungkin Kapolda dengar, lalu datang. Dia bilang, 'Proses saja, Pak. Laporkan. Kita pidana,'" cereita Victor.
Namun, pada Agustus 2018, Boy Rafli dimutasi. Irjen Pol Martuani Sormin, sebelumnya menjabat Kadivpropam Polri, menggantikan Boy Rafli. Setelahnya, menurut Victor, penyelesaian kasus Abeth You jalan di tempat.
Tidak perlu jauh-jauh hingga ke kasus Abeth You. Pada 1 Desember 2018, seorang dokter muda bernama Benyamin Lagowan dipukuli dan ditendang paha kanannya oleh aparat kepolisian ketika memotret peserta aksi doa bersama yang bakal digelar di kantor Majelis Rakyat Papua, Abepura. Polisi-polisi Indonesia ini menangkap dan membawa peserta aksi doal ke Markas Polsek Abepura, Jayapura.
Setelah Benyamin, aparat kepolisian memukuli Laorens Kerebea yang bercakap-cakap dengan Benyamin. Percakapan itu terjadi sebelum Benyamin mengambil gambar. Laorens sebenarnya tidak berusaha mengambil gambar.
Hendrik Madai juga dipukul karena hendak memotret kekerasan yang menimpa Banyamin dan Laorens.
"Merekam juga riskan," ujar Victor.
Andreas Harsono berkata kepada Tirto, dalam situasi Papua ketika kerja-kerja jurnalisme dibatasi dan warga direpresi, sementara peristiwa penembakan terjadi sporadis, "korban pertama adalah kebenaran."
Ia berkata untuk mengabarkan peristiwa konflik di Papua, “kita harus menembus lapisan propaganda, pelintiran informasi, dan pembelaan dari warga sendiri.”
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam