Menuju konten utama

Kabut Informasi di Papua

Informasi soal Papua dan dari Tanah Papua disebarkan, tetapi kebenaran tertinggal jauh di belakang.

Kabut Informasi di Papua
Ilustrasi media siluman dan kebebasan pers di Papua. tirto.id/Gerry

tirto.id - Markus Haluk, Kepala Sekretariat Kantor Koordinasi di Papua dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kaget saat membaca sebuah pesan di suatu grup WhatsApp, akhir November 2018. Pesan yang dikirim kawannya itu berisi tautan situs web cenderawasih-pos.com.

"Dia tanya, 'Apa betul itu?'," cerita Markus kepada Tirto, Senin terakhir November lalu, merujuk artikel yang mengerdilkan ULMWP, organisasi payung untuk ketiga gerakan politik penentuan nasib sendiri Papua yang dibentuk di Vanuatu pada 2014.

Melihat nama domainnya, orang bisa mengira situs web itu adalah Cenderawasih Pos, surat kabar lokal Papua dalam jaringan manajemen Jawa Pos. Nyatanya, Pemimpin Redaksi Cenderawasih Pos Lucky Ireeuw berkata kantornya tak pernah mengelola situs web cenderawasih-pos.com. Satu-satunya portal berita daring yang dikelolanya adalah ceposonline.com.

"Namanya dibuat persis sama, hanya dikasih satu slash (-) antara kata 'Cenderawasih' dan 'Pos'. Beritanya disebarkan melalui media sosial sini dan orang termakan. Yang dikomplain itu kita," ujar Lucky kepada Tirto, Kamis kemarin (6/12).

Situs web "siluman" soal Papua semacam itu bertebaran. Berdasarkan penelusuran Tirto dan Tabloid Jubi, sedikitnya ada 18 media hantu seperti itu. Mereka mengklaim sebagai portal berita Papua, tapi tidak punya susunan redaksi, tidak jelas alamat kantor dan nomor kontaknya, serta kerap memuat narasumber fiktif.

Untuk menipu pencari berita, mereka mendompleng nama media lokal Papua. Selain cenderawasih-pos.com, ada tabloidjubi.online yang mendompleng situs web resmi Tabloid Jubi, tabloidjubi.com.

Lewat situs web hantu itu, "berita" dibingkai sebagai propaganda, menyebarkan disinformasi serta berita palsu alias hoaks, demi menciptakan kesan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua; pendukung Papua Merdeka adalah "kriminal"; sementara tentara dan polisi Indonesia telah melakukan tugas dengan baik, dan sebagainya.

Pelbagai artikel pada media-media siluman ini bernada sejenis: menyerang pendukung Papua Merdeka, termasuk terhadap aktivis dan kaum cerdik pandai Papua yang menuntut kebebasan politik secara damai.

Mengawasi Wartawan sejak 1960-an

Usaha menutupi suatu peristiwa tragis di Papua atau menyelubungi Papua dengan selimut berita-berita positif sudah berlangsung sejak sebelum tampuk kekuasaan atas Papua beralih dari Belanda ke Indonesia.

Pada 1949, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia tapi bersikeras menolak menyerahkan wilayah Papua. Kabinet Kerja pimpinan Sukarno menetapkan program "pengembalian" Irian Barat, sebutan pihak Indonesia untuk Papua pada 1959. Serangkaian aksi militer dan diplomasi pemerintahan Sukarno berujung pada Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962.

Melalui perjanjian itu, Belanda sepakat menyerahkan Papua kepada pemerintahan transisi lewat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), untuk menggelar penentuan pendapat orang Papua apakah menjadi bagian dari Indonesia atau tidak, sebelum akhir tahun 1969. Tak satu pun orang Papua dilibatkan dalam kesepakatan-kesepakatan internasional ini.

Setahun setelahnya, saat berpidato di Yogyakarta pada 4 Mei 1963, Sukarno mengecam "para wartawan asing yang menulis orang Irian Barat tak menyukai Indonesia, bahwa mereka lebih menyukai Belanda."

"Para wartawan itu sewenang-wenang dalam menulis," ujar Sukarno.

Setahun jelang penentuan nasib sendiri pada 1969, pemerintah Indonesia menggiring puluhan wartawan asing ke Papua. Dalam proses peliputan, setiap wartawan dikawal dua tentara secara ketat.

Sukarno sudah tidak lagi menjabat presiden. Ia digantikan Soeharto, mantan komandan Komando Operasi Mandala, bagian dari kampanye merebut 'Irian Barat" dari Belanda.

Sebelum mendatangkan wartawan, Soeharto menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal pada 1967, yang membuka akses bagi Freeport-McMoran mengeruk kandungan tembaga dan emas di pegunungan tengah Papua. Ia berdampak buruk bagi lingkungan, eksploitasi buruh, serta kekerasan terhadap orang Papua.

Menutupi Biak Berdarah pada 1998

Ross Tapsell, sarjana Australia, dalam By-lines, Balibo, Bali Bombings: Wartawan Australia di Indonesia (2015) menulis untuk mengendalikan pemberitaan soal Papua, Orde Baru mewajibkan visa untuk wartawan asing dan melarangnya meliput Timor Timur, Papua, dan Aceh.

Sementara David T. Hill, dalam Pers di Masa Orde Baru (2011), menulis pertikaian antar-agama serta pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah pusat di tiga daerah bergolak itu hanya bisa dilaporkan dalam batas pagar yang luar biasa ketat.

Human Rights Watch, dalam laporan 2015 berjudul Sesuatu Yang Disembunyikan (PDF), menjelaskan pada beberapa kasus semasa Orde Baru, wartawan mesti diperiksa di clearing house agar bisa mendapatkan akses liputan ke Papua.

Batasan-batasan “resmi” yang dibangun rezim Sukarno maupun Soeharto pada akhirnya memengaruhi pemberitaan soal Papua pada era Reformasi.

Pada Juli 1998, masyarakat Papua berkumpul di sekitar Menara Air di Pulau Biak, daerah pantai Papua. Salah satu pemuka demonstrasi itu Filep Karma.

Respons aparat keamanan Indonesia adalah mendatangkan satuan tentara dari Makassar dan Ambon, dengan tiga kapal perang dan pesawat C-130 Hercules. Pada 6 Juli 1998, para tentara itu membubarkan aksi.

Jason MacLeod dalam "Media Warga dan Pembangkangan Sipil di Papua Barat" (2016) menulis peristiwa Biak sebagai kenangan penderitaan.

"Sekitar pukul 4 atau 4.30 pagi pada Senin, 6 Juli [1998], kami mendengar tembakan sebelum fajar tiba. Kami duduk di ruangan sekolah, berpelukan satu sama lain dan menangis. Tembakan terus terjadi. [...] Tembakan terus menyalak hingga pukul 7 pagi," seorang saksi mata berkata kepada MacLeod.

Menurut laporan ELSHAM Papua berjudul "Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama", delapan orang meninggal dunia, 3 orang hilang, 4 orang luka berat sehingga dievakuasi ke Makassar, 33 orang luka-luka, 50 orang ditahan dan disiksa. Peristiwa ini dikenal sebagai Biak Berdarah.

Kekerasan ini mulai jadi sorotan ketika "32 mayat misterius" ditemukan di tepi Pantai Biak. Cendrawasih Pos menerbitkan berita soal mayat-mayat itu pada 28-30 Juli 1998. The Jakarta Post melansir berita serupa dalam artikel "Bodies found Near Biak May be Shooting Victims".

Pemerintah Daerah Biak Numfor dan aparat militer menyatakan mayat-mayat itu korban tsunami di Aitape, kawasan utara Papua Nugini, negara tetangga dan persis di sebelah timur Papua. Tsunami melanda Aitape pada 17 Juli 1998.

Namun, penyelidikan ELSHAM Papua menggambarkan intelijen militer dan polisi Indonesia mengintimidasi masyarakat setempat agar tutup mulut serta memaksa warga menyatakan mayat itu korban tsunami Papua Nugini.

Meski demikian, pada mayat-mayat itu ada bekas luka pada bagian dada menembus bagian belakang. Bagian payudara dan kemaluan pada mayat perempuan hancur.

Kejanggalan lain: aparat keamanan Indonesia segera memerintahkan mayat-mayat itu dikuburkan dan melarang dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Juga ada empat mayat pertama ditemukan pada 10 Juli 1998, atau empat hari setelah Biak Berdarah dan seminggu sebelum tsunami Aitape.

Bukti itu menunjukkan mayat-mayat itu diduga korban Biak Berdarah. Akan tetapi pemerintah Indonesia berusaha menutupinya dan bersikukuh mereka adalah korban tsunami.

Filep Karma, pemuka aksi di Biak, dihukum 6,5 tahun karena dianggap berbuat "makar" (bebas dalam sidang banding pada 1999). Ia kembali dipenjara pada 2005 selama 15 tahun dengan dakwaan yang sama, tapi Presiden Joko Widodo memaksanya bebas pada 2015 (PDF, 2014).

Biak Berdarah sendiri dianggap dalam pelbagai rujukan pemantauan situasi hak asasi manusia di Indonesia sebagai salah satu kekerasan paling mencolok di Papua pasca-Orde Baru.

'Membangun Citra Positif' lewat Dana Otonomi Khusus

Pada 2001, pemerintah Indonesia mengenalkan otonomi khusus (PDF) untuk Papua saat Presiden Megawati Sukarnoputri. Melalui Otsus, pemerintah Papua memiliki kewenangan lebih besar. Pemerintah pusat juga mengalirkan sejumlah dana ke Papua. Pada masa Megawati juga provinsi baru dibentuk bernama Papua Barat dengan ibu kota Manokwari.

Pada tahun 2018, dana Otsus bagi kedua provinsi itu sebesar Rp8,03 triliun.

Namun, Jacques Bertrand menyatakan dalam "Autonomy and Stability: The Perils of Implementation and 'divide rule' tactics in Papua, Indonesia" (PDF, 2014) bahwa penyaluran dan penggunaan dana Otsus tak disertai peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan mekanisme yang jelas. Keefektifan dana Otsus pun dipertanyakan saat Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk di Asmat terungkap pada Januari 2018.

Ross Tapsell, sarjana Australia, meneliti keterkaitan antara dana Otsus dan perilaku media lokal di Papua dalam "The Media and Subnational Authoritarianism in Papua" (PDF, 2015). Dalam rangka mempromosikan dampak positif dari Otsus, pemerintah Papua menyediakan banyak dana untuk pengelolaan media, iklan, dan beriklan di media lokal Papua.

Sebagai contoh, Tapsell mencatat 60 persen pendapatan Cenderawasih Pos pada masa non-tahun politik didapat dari iklan pemerintah.

"Untuk mencari pembiayaan, sebagian besar media lokal sekarang mendapat pemasukan dari pemerintah," tulis Tapsell.

Selain itu, perjalanan menuju daerah pedalaman Papua begitu menguras biaya dan rawan dicurigai aparat keamanan sehingga wartawan yang ingin meliput ke sana mesti ikut rombongan kunjungan pemerintah. Sementara praktik jurnalisme amplop—menerima bayaran dari narasumber—lazim dilakukan wartawan di Papua.

Karena dua praktik itu, berita yang dihasilkan mesti bernada positif. Tapsell menunjukkan pemerintah Papua lebih suka menghabiskan banyak dana Otsus untuk "membangun citra positif" dan mengurangi laporan-laporan yang kritis daripada membolehkan orang Papua mengekspresikan pandangannya di media lokal.

"Selama masa Reformasi, kami dapat menulis topik-topik kemerdekaan lebih banyak. Kami bisa saja mewawancarai OPM. Sekarang mereka takut berbicara secara publik. Makna Otsus, akhirnya bagi kami bahwa kami seharusnya tidak membicarakan keadilan lagi," ujar seorang jurnalis Papua kepada Tapsell.

Sementara Kopassus, elite Tentara Nasional Indonesia, bekerja sama dengan Persatuan Pewarta Warga Indonesia. Mereka sempat menggelar pelatihan menulis bagi puluhan penulis blog dan wartawan pada November 2011. Para peserta diberi materi mengenai bahaya intervensi asing di Papua.

Pada tahun yang sama, dokumen kerja pengintaian Kopassus yang bocor menunjukkan pasukan elite itu memata-matai wartawan dan menggunakan wartawan sebagai pemasok informasi mengenai gerakan pendukung kemerdekaan Papua.

Pada 2013, Victor Mambor, saat itu Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi, meminta desainer tata letaknya keluar dari Jubi karena setelah diajak bicara, desainer itu mengaku sebagai penyuplai informasi ke aparat keamanan. Desainer itu akhirnya membuat surat pengunduran diri.

"Semua berita ke dia. Waktu saya tanya maksud kamu. Dia bilang dia harus lapor dulu ke atasannya sebelum berita ini dimuat keesokan harinya. Saya bicara sama dia, 'Tidak bisa seperti ini. Saya tahu kamu punya tugas seperti ini, tetapi kamu tidak bisa kerja di sini. Cari kerja tempat lain’,” cerita Victor kepada Tirto, Rabu pekan ini (5/12).

Infografik HL Indepth Media Siluman Papua

Pemerintahan Jokowi: Informasi Independen Masih Kelabu

Di tengah media-media “siluman”, sistem clearing house masih berlaku hingga sekarang. Presiden Jokowi sempat menjanjikan akan membolehkan dan membebaskan wartawan asing datang ke Papua pada Mei 2015. Namun, dia tidak merinci janji tersebut secara tertulis.

Sejumlah menteri atau pejabat setingkat menteri dalam kabinetnya pun tak meneruskan komitmen Jokowi. Alhasil, pembatasan wartawan asing ke Papua tetap terjadi.

"Sayangnya, perintah Presiden dan Menteri Koordinator Keamanan tak diindahkan oleh birokrasi militer maupun polisi di Tanah Papua. Mungkin suatu saat ada satu atau dua orang dipecat atau diturunkan jabatan agar perintah tersebut diindahkan," ujar Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch.

Kejadian paling mutakhir pada Februari 2018. Kepala Biro BBC Indonesia Rebecca Alice Henschke dipaksa keluar dari Papua saat meliput KLB gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, padahal dia sudah mengantongi izin. Rebecca diperiksa imigrasi selama 24 jam sebelum dipulangkan ke Jakarta.

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Muhammad Aidi mengatakan cuitan Rebecca telah mencemarkan nama baik dan menyakiti hati mereka karena membuat berita bohong atau fitnah.

Sebelumnya, Rebecca mencuit pelbagai makanan dan minuman yang tertumpuk di tepi Pelabuhan Feri Agats, ibu kota Asmat. Dalam cuitannya, ia menulis makanan dan minuman ini bantuan untuk penderita gizi buruk di Papua. Pada hari yang sama, Rebecca mengunggah dua personel TNI berada di hotel.

Meski demikian, kasus Rebecca menunjukkan internet dan media sosial dapat menjadi wadah bagi siapa pun untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di Papua.

Jope Tarai, Romitesh Kant, dan Glen Finau menulis dalam makalahnya (PDF, 2017) bahwa media sosial telah digunakan oleh aktivis di negara-negara Pasisik untuk menyebarkan dan membicarakan kemerdekaan Papua.

Dalam "The Media and Subnational Authoritarianism in Papua" (2015), Ross Tapsell juga menyebut sejumlah media berusaha membangun jurnalisme lebih independen di Papua. Tapsell menyebut media itu antara lain Tabloid Jubi, Tabloid Noken (berhenti beroperasi pada 2012), Manokwari Ekspress, dan Suara Papua.

"Situs web ini menjadi wakil keberagaman suara Papua," tulis Tapsell.

Baca juga artikel terkait MEDIA SILUMAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam