tirto.id - Tahun 2011, tulisan Benny Wenda berjudul Everyone profits from West Papua, except for Papuans terbit di The Guardian. Benny adalah Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang eksil ke Inggris sejak 2002.
Tulisannya memaparkan betapa rakyat Papua tak menikmati hasil kekayaan bumi dari tanah sendiri. Ia menuding beberapa raksasa tambang seperti Freeport, Rio Tinto, British Petroleum, dan pemerintah Indonesia-lah yang menikmati hasil kekayaan di Tanah Papua, bukan orang-orang Papua.
“Di saat mereka mendapat untung dari hasil bumi kami; kami, orang-orang Papua, selama hampir 50 tahun menjadi korban penindasan, kesengsaraan, dan kemiskinan,” tulis Benny dalam kolom itu.
Ia memasukkan pengalaman pribadi keluarganya saat menjadi korban penindasan, “Saat aku kecil, kampungku dibom oleh tentara Indonesia dan orang-orang di kampungku terpaksa hidup di hutan bertahun-tahun dan dalam ketakutan. Aku menyaksikan tentara Indonesia memperkosa dan membunuh keluargaku."
Desember 2017, sebuah situs bernama Freewestpapua.co merilis satu tulisan berjudul Where All the Profit from West Papua Resources Goes. Gagasan utama tulisan itu membantah apa yang pernah ditulis Benny tujuh tahun lalu.
Meski selisih enam tahun dari opini Benny di The Guardian, tulisan yang terhitung baru itu dibuka dengan kalimat, “Benny Wenda, juru bicara ULMWP lagi-lagi menyebarkan berita provokatif.”
Artikel dalam Bahasa Inggris itu dilanjutkan beberapa data tentang angka kemiskinan di Papua yang disebutkan menurun. Si penulis mengutip data dari riset yang ditulis oleh Budy P. Resosudarmo, Julius A. Mollet, Umbu R. Raya dan Hans Kaiwai berjudul Development in Papua After Special Autonomydari Australia National University. Riset itu terbit Januari 2014.
Artikel itu hanya memuat persentase penduduk miskin di Papua yang menurun dalam rentang 2008-2015. Namun, si penulis alpa membandingkan tingkat kemiskinan di Papua dan provinsi lain di Indonesia.
Penulis juga tidak mencantumkan angka rasio Gini yang naik dari 0,37 pada 2007 menjadi 0,42 pada 2012. Angka rasio Gini tertulis jelas dalam riset para peneliti dari Australia National University tersebut. Rasio Gini bisa dilihat juga di Badan Pusat Statistik. Meningkatnya rasio Gini menunjukkan ketimpangan semakin lebar di Papua.
Freewestpapua.co adalah satu dari enam media "siluman" berbahasa Inggris tentang Papua. Lima media siluman lain: Westpapuaupdate.com, Westpapuaterrace.com, Onwestpapua.com, Freewestpapua.co, Freewestpapua.co.nz, dan Westpapuaarchive.com.
Jangankan susunan redaksi, alamat ataupun kontak yang bisa dihubungi tak jelas tertulis di situsnya. Pembaca tak bisa mengetahui siapa yang bekerja di balik media-media ini. Tak memenuhi standar dan etika dasar jurnalisme. Jika apa yang ditulis keliru, pembaca tak bisa menggunakan hak jawab dan tak tahu harus protes ke mana.
Keenam situs itu tampak seperti media online; isi tulisannya dibuat seperti berita dan análisis, memiliki rubrikasi tertentu tapi sama sekali tak memenuhi pedoman media siber yang diatur oleh Dewan Pers.
Meski begitu, Freewestpapua.co, misalnya, mengklaim sebagai media dengan tulisan “Free West Papua is the real media from West Papua” tepat di banner-nya.
Nama Freewestpapua.co mirip dengan situs Freewestpapua.org—situs resmi gerakan Papua Merdeka yang dipimpin Benny Wenda. [Situs web Wnda tak bisa diakses dari Indonesia sebab diblokir oleh pemerintah Indonesia.]
Di akhir tulisan yang membantah argumen Benny Wenda, ada keterangan nama penulis, “Syani, Z (Researcher MaCDIS)”. Dari penelusuran Tirto, Syani adalah alumnus Universitas Budi Luhur jurusan Hubungan Internasional; nama lengkapnya Syani Zuraida, salah satu penulis tetap di enam situs itu.
Berdasarkan data terbuka dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Syani baru saja lulus pada Maret 2018.
Tetapi Syani hanya penulis. Otak di balik keenam situs ini adalah bekas dosennya, Arya Sandhiyudha.
Caleg PKS, 'Pakar Politik Internasional'
Arya kini tercatat sebagai tenaga ahli Komisi I DPR. Ia juga mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk daerah pemilihan Bali.
Wajah Arya sering muncul di TV sebagai pakar hubungan internasional atau pakar politik internasional. Komentarnya kerap dikutip oleh media-media online.
Arya punya website pribadi yang memuat segala prestasi dan apa yang telah ia lakukan. Lewat website itu, ia menyebut diri sebagai warga Indonesia pertama penerima Doktor Bidang Ilmu Politik dan Hub Internasional dari kampus Turki.
Situs pribadinya menyebutkan Arya meraih PhD dari Istanbul University pada 2016. Kepada reporter Tirto, ia pun berkata demikian.
Namun, profil LinkedIn dan Instagramnya menyebut Arya meraih gelar Doktor dari Fatih University—kampus di Turki yang sudah tutup pada Juli 2016.
Dalam pusat data tesis dan disertasi di Turki, nama Arya tidak ada, disertasinya pun tidak tersedia.
"Aku lulus spesial, enggak pakai disertasi. 3,5 tahun. WNI pertama yang lulus Doktor bidang HI dari Kampus Turki," katanya saat saya konfirmasi ke Arya lewat pesan singkat.
Tidak begitu sulit bikin janji temu dengan Arya, meski saat saya megontaknya dia ada di Bali. Saat saya bilang saya ingin wawancara tentang riset-riset MaCDIS soal Papua, Arya merespons dengan cepat. “Saya bisa ke Jakarta kapan saja, besok juga bisa,” katanya.
Sebelum bertemu, ia mengirim draf buku 146 halaman berjudul Papua: Revealing the Unrevealed. Isinya argumentasi-argumentasi yang menegasi gagasan Papua merdeka.
Arya berniat menerbitkan buku itu tapi masih urung karena menurutnya terlalu sensitif untuk posisinya yang sekarang masih nyaleg.
Mengklaim Pakai Uang Pribadi
Arya mengaku dialah pengelola enam media siluman yang ia sebut sebagai “situs kontra-propaganda separatisme Papua demi menjaga keutuhan NKRI”.
Kata MaCDIS yang sering muncul pada byline tulisan di enam situs itu, terang Arya, adalah singkatan dari Madani Center for Development and International Studies, lembaga independen yang didirikannya. MaCDIS tak punya situs resmi; keterangan MaCDIS di enam media siluman itu pun tanpa penjelasan apa-apa.
“Seluruh programnya non-sponsor, jadi enggak ada kemungkinan untuk ditunggangi,” kata Arya.
Ia bilang ia tak mau diintervensi, termasuk oleh pemerintah. Arya mengklaim seluruh biaya yang dikeluarkan berasal dari kantong pribadinya.
Ia juga mengklaim langkah itu diambilnya agar ada diferensiasi. “Karena enggak semua orang [memandang] positif kalau [melihat proyek itu] didanai pemerintah,” katanya.
Dari keterangan Arya, MaCDIS beranggotakan 20 orang, lima orang di bagian IT dan sisanya peneliti. Rata-rata latar belakang pendidikan anggotanya hubungan internasional dan punya pekerjaan lain di luar MaCDIS.
Arya menolak memaparkan total uang yang harus ia keluarkan untuk menghidupi MaCDIS dan media-media berbahasa Inggris yang dikelolanya.
“Pokoknya, pembayaran ke tim itu bukan per bulan, tapi by output, tergantung berapa tulisan yang mereka kirim. Data-data untuk tulisan itu bisa diambil dari mana aja. Dan berita juga enggak panjang-panjang banget. Sehari kita menargetkan produksi delapan artikel,” jelas Arya.
Tim yang mengelola enam media siluman tersebut tak berkantor; seluruh komunikasi dilakukan via grup WhatsApp.
Arya sempat menunjukkan isi grup itu sekilas. Ia dibuat sejak 6 November 2017, sehari sebelum dua situs pertama dari enam situs dibuat. Berdasarkan data Whois, Westpapuaupdate.com dan onwestpapua.com dibuat pada 7 November 2017. Empat situs lain dibuat masih di bulan November pada tahun yang sama.
Beberapa keterangan dan klaim Arya ini tak melulu benar, terutama soal biaya dan sumber dana.
Setelah mewawancarai Arya, reporter Tirto menghubungi Syani Zuraida, salah satu penulis dan mantan mahasiswanya.
Syani bilang ia dibayar Rp5 juta per bulan, bukan per artikel. Dalam sehari, ia harus setor dua artikel, Sabtu-Minggu pun dia tetap kirim tulisan. Artikel untuk situs-situs berbahasa Inggris itu ditulisnya langsung dalam Bahasa Inggris, jadi tidak pakai jasa penerjemah lagi.
Untuk menulis artikel-artikel itu, Syani tidak liputan ke lapangan; ia mengutip sumber sana-sini dari hasil riset orang lain. Artikel yang ditulis pun tidak panjang; kebanyakan 300 kata atau tiga sampai empat paragraf.
Menurut keterangan Syani, ada sekitar 6 sampai 10 penulis yang bekerja untuk Arya. Semuanya mahasiswa dan alumnus Universitas Budi Luhur.
Jika satu orang dibayar sekitar Rp5 juta per bulan, setidaknya Arya butuh Rp50 juta per bulan untuk menggaji 10 orang; ini belum termasuk tim IT yang kata Arya berjumlah 5 orang. Dalam setahun, berarti ia butuh uang setidaknya Rp600 juta untuk memastikan enam situs itu berjalan.
Fakta itu membuat keterangan Arya tentang “menggunakan uang pribadi” menjadi janggal.
Gaji seorang tenaga ahli DPR berada di kisaran Rp5-10 juta, tergantung tingkat pendidikan. Barikatul Hikmah, eks tenaga ahli Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR, menyebutkan gajinya saat terakhir bekerja di sana tahun 2017 pada angka Rp9 juta-an. Saat itu, pendidikan terakhirnya S2.
Barika menjelaskan, gaji tenaga ahli di DPR berbeda-beda tergantung tingkat pendidikan. Gaji Arya bisa jadi lebih besar dari Barika sebab, menurut situs resmi DPR, pendidikan terakhir Arya adalah S3.
Meski begitu, angkanya tentu mustahil mencapai jumlah uang yang harus "dibakarnya" tiap bulan untuk mengelola enam website soal Papua. Terlebih Arya sudah berkeluarga dan memiliki tiga anak.
Kami menggunakan terma "dibakar" karena enam situs itu bukanlah bisnis media yang bisa menghasilkan dan memberikan pendapatan bagi Arya dan timnya. Arya pun mengakui ini . Enam situs itu dibuatnya hanya untuk "memperbaiki citra Pemerintah Indonesia di mata Dunia Internasional" terkait isu Papua.
“Jadi kalau mereka [orang-orang di luar Indonesia] search West Papua, yang muncul bukan situs-situs mereka [OPM],” katanya.
Itu juga alasan mengapa Arya mendompleng nama-nama situs milik kelompok-kelompok pro Papua Merdeka.
Saat ditanyai kembali tentang apa yang dikatakan Syani, Arya tidak membantah, meskipun keterangan Syani itu jelas bertentangan dari pernyataan Arya sebelumnya.
Tetapi ia bersikeras bahwa semua uang itu benar uang pribadinya, tanpa ada bantuan donatur lain.
"Biasa aja itu bagi saya," katanya sembari menimpali bahwa uang yang dikeluarkannya per bulan untuk nyaleg lebih banyak dari itu.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam