tirto.id - Presiden Joko Widodo enggan menanggapi pembatasan wartawan internasional ke Papua. Usai menghadiri penganugerahan Guillermo Cano World Press Freedom Prize, rangkaian acara Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta, Jokowi terlibat tanya-jawab dengan beberapa wartawan. Saat ditanya soal masalah akses ke Papua, Jokowi menyudahinya.
Saat Jokowi menjauh, pertanyaan itu diulang wartawan dengan teriakan yang keras. Namun Jokowi tetap mengabaikan dan pasukan pengawal presiden meminta wartawan segera menjauh.
Ditanya secara terpisah dengan topik yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa akses ke Papua terbuka, sama dengan daerah lain di Indonesia.
“Di Indonesia, kebebasan pers itu tidak ada batas wilayah. Apa yang terjadi di Jakarta, kebebasan itu sama di Papua,” kata Kalla di sela acara yang sama, 3 Mei lalu.
Victor Mambor, wartawan dan pemimpin umum Tabloidjubi.com dan Koran Jubi, media lokal di Papua, sempat bertanya langsung kepada Jokowi soal clearing house. Ini mekanisme dari pemerintah Indonesia yang melibatkan 18 unit kerja dari 12 Kementerian berbeda, buat menyaring permohonan izin wartawan-wartawan asing meliput ke Papua. Prosedur ini berbelit dan prosesnya lama.
Jokowi menegaskan prosedur itu dihapuskan. Ini dikatakan Jokowi saat menghadiri panen raya di Kabupaten Merauke, 10 Mei 2015.
Namun pernyataan Jokowi itu tanpa disertai komitmen tertulis atau instruksi presiden. Ia justru dilawan oleh para bawahannya terutama dari jajaran militer termasuk oleh Moeldoko, saat itu sebagai Panglima TNI, dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
Ade Safira, kepala seksi untuk perlindungan hak-hak sipil dan politik dari Kementerian Luar Negeri, serta Bagas Narararya dari Dirjen Mutilateral Kemenlu, menegaskan labirin clearing house masih berlaku.
“Clearing house itu tidak hanya untuk jurnalis saja, tapi juga untuk penelitian,” kata Safira kepada Tirto, 3 Mei lalu.
Safira menuturkan, proses birokratis clearing house bersifat terbuka. Ia menjelaskan, salah satu bagian penting dalam persetujuan ini adalah pemerintah daerah Papua. Upaya menyaring jurnalis atau peneliti asing dilakukan atas dalih keamanan.
“Kalau misalnya ada yang mau datang ke Papua, government Papua diminta pendapat setuju atau tidak, apakah aman datang ke situ. Karena ada resistensi masyarakat,” klaimnya.
Keduanya tak menjelaskan apa tolok ukur wartawan atau peneliti asing bisa diterima mengakses Papua. Bagas hanya memastikan, jika menolak, pemerintah tak perlu memberikan alasan.
“Misalnya Anda apply visa (jurnalis) ke Amerika lalu ditolak, Anda tidak bisa alasannya kenapa ditolak. Itu di negara mana pun,” ujar Bagas.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch tahun 2015 tentang pembatasan akses ke Papua, mekanisme clearing house yang melibatkan sejumlah kementerian itu dibagi empat unit kerja di Kemenlu, yakni pengamanan diplomatik, konsuler, fasilitas diplomatik, serta informasi dan media.
Di antara departemen lain yang menyaring izin akses ke Papua termasuk Polri, Badan Intelijen Negara, dan Badan Intelijen Strategis dari TNI.
Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto enggan merespons pertanyaan Tirto soal mekanisme clearing house. Setyo berkata "tak bisa menjawab" karena ia baru saja ditarik menjadi salah satu bagian dari Humas Mabes Polri akhir bulan lalu.
Menurut laporan Human Rights Watch, izin berbelit dan ribet bikin wartawan mesti mengulur sabar. Bila urusan izin kelar, wartawan akan dipantau secara dekat oleh intelijen. Bagi yang nekat tanpa surat izin, bila ketahuan, sudah pasti ditahan oleh bagian imigrasi dan selanjutnya diusir.
Pada akhir 2015, Marie Dhumieres, koresponden asal Perancis yang bekerja di Jakarta, mendapat izin ke Papua. Ia pergi ke Pegunungan Bintang untuk mewawancarai aktivis pro-kemerdekaan dari Komite Nasional Papua Barat.
Seminggu setelah ia kembali ke Jakarta, polisi Sentani menahan dan menginterogasi tiga aktivis yang menemani Dhumieres. Mendengar kabar itu, Dhumieres berkicau ke akun Twitter Jokowi:
“Jadi, Pak @jokowi, wartawan asing bisa bebas pergi ke mana pun di Papua, tapi orang yang kami kami wawancarai ditahan setelah kami pergi?”
Victo Mambor, wartawan dan pemimpin umum Tabloidjubi.com, berkata bahwa sumber-sumber lokal yang menemani wartawan di Papua kerapkali dapat intimidasi.
“(Intelijen) ngikutin, dipantau, diawasi. Narasumber kita yang kasihan,” kata Victor yang sering mendampingi wartawan asing untuk meliput di Papua.
Pada Agustus 2014, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat dari televisi dwibahasa Perancis-Jerman Arte TV ditahan oleh polisi di Wamena saat menggarap film dokumenter. Mereka menjalani masa tahanan dan menghadapi tuntutan "subversif". Keduanya dibebaskan pada Oktober 2014.
Narasumber mereka, Areki Wanimbo, dipenjara 8 bulan dan keluarganya diintimidasi. Sebagai kepala keluarga, Wanimbo tak mampu menafkahi keluarganya karena dipenjara.
“Ia dituduh menyimpan senjata, dituduh membeli senjata. Sampai kolam ikan dikeringkan, ya enggak ada apa-apa, dibikin-bikin saja sama polisi,” kata Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, kepada Tirto, Kamis kemarin.
Menutup Mata atas Kekerasan di Papua
Natalius Pigai, Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia dari Papua, menilai komitmen Jokowi hanya lips service.
“Nyatanya di Papua masih blank spot, wilayah yang tertutup. Kebebasan pers di Papua tertutup,” ujarnya kepada Tirto.
Pigai mengungkapkan pemerintah Indonesia sengaja membatasi wartawan dan lembaga nonpemerintah internasional ke Papua buat menutupi kejahatan kemanusiaan. Jika akses itu dibuka, sisi gelap Indonesia akan ditelanjangi secara internasional.
“Wartawan asing atau NGO dilarang di Papua itu sebenarnya menunjukkan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua masih berlangsung sampai sekarang. Kalau memang pemerintah tidak melakukan pelanggaran hak asasi di Papua, saya kira kebebasan pers pasti dibuka,” ujarnya.
Sepanjang November 2014 hingga November 2015, dalam catatan lembaganya, terjadi penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap ratusan orang Papua. Tindakan kekerasan ini dilakukan oleh aparat keamanan, baik TNI dan Polri.
Andreas Harsono mengatakan pembatasan akses terhadap Papua ialah bagian dari pelanggaran HAM. Ia berpendapat, LSM dan jurnalis asing menjadi monitoring yang menyehatkan perkembangan wilayah Papua. Misalnya terkait temuan PBB bahwa warga Papua lebih berisiko terserang HIV dua kali lipat dibanding warga daerah lain di Indonesia.
“Jadi akses buat wartawan asing, international monitor, maupun NGO internasional itu perlu.”
Pembatasan yang terjadi di Papua terjadi karena paranoia, ujar Harsono. Dicarilah aturan yang berbelit untuk melanggengkan prosedur clearing house.
“Saya kira, di belakang kepala kebanyakan para birokrat di Papua itu curiga pada wartawan asing. Curiga wartawan asing membantu kemerdekaan, karena itu mereka membatasi. Menurut saya, di balik kepala mereka, ada paranoid yang merugikan baik orang Papua maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” terangnya.
Edgardo Legaspi, direktur eksekutif Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), dalam satu diskusi Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta mengatakan bahwa peraturan clearing house bukan hanya untuk wartawan asing yang mengakses Papua. Melainkan untuk mengakses seluruh Indonesia. Wartawan asing harus mengantongi visa kerja wartawan. Namun ada proteksi khusus ketika wartawan asing hendak menuju Papua.
“Kantor kementerian luar negeri akan bertanya kepada Anda: Akan pergi tugas kemana Anda? Dan jika Anda lantas menyebutkan Papua, Anda akan mengalami urusan yang lebih susah,” kata Legaspi kepada Tirto, 3 Mei lalu.
Ia menuturkan cara serupa mirip dengan kebijakan Indonesia di bawah rezim Soeharto. Ruang gerak media dibatasi dan kerja wartawan diawasi.
“Ini diskriminasi. Ada lebih banyak hambatan ke Papua dibanding wilayah lain bagi wartawan asing,” tuturnya.
Menutur Legaspi, yang terjadi di Papua, dalam konteks Asia Tenggara, mirip seperti di Myanmar. Tapi negara junta militer ini tertutup bukan hanya untuk wartawan asing, melainkan pendatang apa pun, khususnya bila pergi ke wilayah imigran Rohingya.
"Wilayah itu terlarang, kecuali jika mendapat izin khusus dari tentara," ujar Legaspi. "Di Vietnam dan Thailand juga demikian."
“"Ini seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan Anda. Anda mengalami kesulitan bersuara. Anda mengalami kesakitan. Sakitnya itu adalah Papua. Anda dan pemerintah Anda perlu menghapus aturan dan hambatan tersebut."
Di ujung gelaran Hari Kebebasan Pers Sedunia, disepakati apa yang disebut Deklarasi Jakarta World Press Freedom Day 2017. Deklarasi ini dibacakan oleh Frank La Rue, orang yang pernah dicegah berkunjung ke Papua oleh pemerintah Indonesia pada 2013 saat menjadi Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. La Rue kini bekerja untuk UNESCO. Ia yang membuka dan menutup acara tahunan itu.
Deklarasi itu menyatakan: “Mendukung upaya untuk mempromosikan kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan hak untuk mengakses informasi, termasuk melalui dukungan untuk inisiatif di tingkat nasional, regional dan internasional.”
Sayang sekali. Acara bertaraf internasional ini melupakan Papua.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam