tirto.id - Empat puluh lima hari sebelum kematiannya, Hamid Jabbar masih menikmati lezatnya kuliner di sungai Palangkaraya bersama WS Rendra. Kepada kawannya itu, Hamid Jabbar berkata, “Sudah, tidak usah menghiraukan penyakit diabetesku. Cita-citaku kalau tidak mati di depan Kakbah di Makkah, ya mati di atas panggung.”
Doa Hamid Jabbar benar-benar didengar Tuhan. Sabtu malam tanggal 29 Mei 2004, Tuhan menjemput penyair bergelar "si bola bekel" itu tepat saat membaca puisi di atas panggung. Malam itu rekan sepanggungnya: Franky Sahilatua, Jamal D. Rahman, Franz Magnis Suseno, dan Putu Wijaya, menjadi saksi kematiannya. Hamid Jabbar benar-benar meninggal pada salah satu jalan yang dikehendakinya.
Kematian yang indah. Tragedi yang sangat cantik. Ia menguras air mata khalayak. Ia memantik decak kagum penonton. Ia juga menciptakan rasa iri hati di antara sesama seniman dan penyair lainnya. Hamid Jabbar mati dalam keindahan. Ia mati pada kondisi yang ia inginkan. Doanya dikabulkan Tuhan.
Sutardji Coulzum Bachri, kawannya, menuliskan rasa iri hati pada kematian Hamid Jabbar. Ia mencatat bahwa sejak zaman Mpu Tanakung, Ranggawarsita, Abdulllah bin Abdulkadir Munsyi, Hamzah Fansuri, sampai Chairil Anwar, belum pernah didapati fenomena penyair yang mati saat membacakan puisinya di atas panggung.
Ajal Menjemput Saat Ceramah dan Sujud
Beberapa tahun setelah kepergian Hamid Jabbar, Kiai Bukhori Amin meninggal dengan tidak kalah indah dan menarik. Lelaki yang istikamah berdakwah secara mauizah hasanah ini meninggal saat berceramah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad di Pesantren Al-Ishlahiyyah Malang.
Ia meninggal ketika membacakan hadis Nabi Muhammad tentang keberuntungan orang-orang yang tidak pernah berjumpa fisik dengan Rasulullah tapi diberi nikmat untuk mempercayai dan beriman kepadanya. Kematian yang menggetarkan. Jemaah gegar dan kalang kabut, sementara Kiai Bukhari Amin tampak tersenyum bahagia menjemput ajalnya.
Lelaki yang semasa hidupnya aktif berdakwah melalui jaringan organisasi Nahdlatul Ulama ini wafat di atas podium. Ia benar-benar mati dalam keadaan mulia dan memegang amanat Nabi: ballighū anni walau ayat, yang artinya "sampaikanlah ajaran dariku meskipun satu ayat."
Kematian seperti itu dialami juga oleh Imam Ahmad sehingga membuat setan menjura, dan tunggang langgang beberapa waktu sebelum ajal menjemputnya. Kejadian itu diyakini sebagai pengakuan setan yang kehabisan akal karena tak mampu menggoda Imam Ahmad di sepanjang riwayat kehidupannya.
Bahkan, Ibnu Katsir mencatat dalam Al-Bidayah wan Nihayah Vol 10, bahwa di hari kematian Imam Ahmad ada dua puluh ribu Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang ikrar bersyahadat masuk Islam. Sungguh kematian yang membawa keberkahan bagi agama.
Kisah kematian Abū Hanifah juga tidak kalah menarik. Lelaki bernama lengkap Nu’man Bit Tsabit bin Ruthi at-Taimy Al-Kufi ini mengakhiri hidupnya dalam suasana yang sangat syahdu, dan barangkali menjadi cita-cita banyak orang, yakni saat bersujud.
Badruddin Ainy dalam Ahbāru abi Hanifah wa Ashābihi mendokumentasikan akhir riwayat Abū Hanifah. Saat Abū Hanifah merasa ajal sudah semakin mendekat, ia segera bersujud dan berdoa. Setelah itu ia meninggal dalam posisi sujudnya.
Kematiannya sangat populer hingga diceritakan bahwa jumlah pelayat yang malawat cukup banyak. Saking banyaknya, jenazahnya disalatkan sebanyak enam kali dengan jumlah masing-masing jemaah di atas angka ribuan.
Sama halnya dengan yang dialami oleh Abu Hanifah, Abū Tsa’labah Al-Khusyani, salah seorang sahabat Nabi juga mengakhiri hidupnya dengan indah. Ia wafat dalam keadaan sujud saat salat malam. Muhammad Ibrahim Al-Farisi mencatat dalam Man Tuwufia minal Ulama wahua Sajidun, ketika Abu Tsa’labah meninggal, keluarganya yang tinggal serumah tidak ada yang mengetahui kematiannya.
Kebiasaannya melaksanakan salat malam membuat keluarganya tidak ada yang mencurigai gerak-gerak Tsa’labah yang didapati sujud terlalu lama. Sampai kemudian, sang anak memberanikan diri untuk menyentuh tubuh Tsa’labah di waktu subuh, dan mendapati tubuh ayahnya telah kaku dan roboh ke lantai tempatnya sujud.
Kamatian memang tragedi. Menurut seorang sufi, manusia tidak bisa memilih bagaimana ia mengakhiri hidup, namun manusia bisa berdoa dengan sebenar-benarnya doa agar ia mati di jalan hidup yang dipilihnya.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Irfan Teguh