tirto.id - Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab kerap kali memicu kerumunan--bahkan secara sengaja--sejak pulang dari Arab Saudi, Selasa (9/11/2020) lalu. Kepulangannya disambut ribuan orang di Bandara Soekarno-Hatta. Pertemuan di Megamendung Bogor pun mengabaikan protokol.
Kemudian, puncaknya, Sabtu (14/11/2020) lalu, kerumunan kembali terjadi saat yang bersangkutan menggelar maulid Nabi Muhammad saw dan akad nikah sang anak, Najwa Shihab. Berdasarkan surat undangan, yang datang sebanyak 10 ribu orang.
Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai rangkaian peristiwa ini membuat masyarakat menilai pemerintah tidak adil dalam menegakkan protokol kesehatan. "Misalnya, ketika masyarakat melakukan aksi demonstrasi penolakan omnibus law di mana-mana, dibubarkan, dipukul, ditangkap, diburu. Lah kok ini tiba-tiba ada acara pernikahan, maulidan, tidak diapa-apain?" kata Isnur kepada reporter Tirto, Senin (16/11/2020).
Ketika itu polisi memang mengatakan tidak mengizinkan ada demonstrasi karena "Jakarta Raya sudah betul-betul zona merah."
Kritik juga datang dari anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, Sabtu (14/11/2010) lalu. "Saat penjemputan di bandara, protokol kesehatan tidak dijalankan. Saya pikir itu saja, tidak akan berlanjut, tapi sepertinya dua hari ini masih ada pertemuan-pertemuan," kata Ninik. "Kasihanlah para pejuang protokol kesehatan, paramedis, petugas keamanan, petugas pemerintah."
Ia lantas meminta aparat keamanan bertindak tegas kepada siapa pun yang melanggar protokol. "Tidak tebang pilih. Kalau sudah diingatkan tapi masih dilanggar, maka law enforcement harus ditegakkan."
Pemprov DKI Jakarta memang menghukum Rizieq dengan denda Rp50 juta. Namun, sebagai catatan, hukuman tersebut untuk kejadian maulid dan akad nikah, bukan para perkara pengumpulan massa lain, misalnya saat penjemputan di bandara. Beberapa pihak menilai semestinya aparat tidak membiarkan kerumunan terjadi, bukan sekadar memberikan sanksi denda.
Tidak ada pula upaya tegas dari polisi saat Rizieq membuat kerumunan massa di Megamendung pada Jumat 13 November, padahal Kapolda Jawa Barat (Jabar) Irjen Rudy Sufahriadi sendiri mengakui banyak pelanggaran protokol kesehatan di sana. Orang yang sama yang menyatakan "kalau ada kerumunan, kita bubarkan." Ia pula yang memutasi polisi tak bermasker pada Mei lalu.
Pada akhirnya, Rudy dicopot lewat surat telegram Kapolri Nomor ST/3222/XI/KEP/2020 tanggal 16 November 2020.
Mereka yang Dihukum (dan Tidak)
Baru-baru ini, sebagai pembanding terhadap sikap permisif acara-acara Rizieq, beredar kembali video Kapolsek Kaliwates Kompol Edy Sudarto yang membubarkan arisan yang diselenggarakan guru madrasah di Jember Kidul. Peristiwanya sendiri terjadi pada akhir Maret lalu.
Warga di beberapa tempat juga mendapatkan sanksi 'tidak biasa'. Dari mulai merenung dalam peti jenazah, mengecor trotoar, berdoa di makam khusus COVID-19 semalaman, sampai masuk ambulans berisi keranda mayat.
Di Jakarta, Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin pernah memarahi pengelola kafe karena melanggar ketentuan protokol dua kali berturut-turut. "Siapa jagoan di sini? Sudah ditutup semalam sama gubernur. Kau main-main lagi, kau sudah merendahkan derajatnya pemerintah," katanya. Kafe ini lantas ditutup sampai batas waktu yang tidak ditentukan--setelah juga didenda Rp50 juta.
Di level pemerintahan, polisi menindak Wakil Ketua DPRD Kota Tegal Wasmad Edi Susilo sebagai tersangka lantaran menggelar konser dangdut, Rabu (23/9/2020). Wasmad disangka melanggar Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Saat disidang kemarin (17/11/2020), ia diancam hukuman satu tahun penjara.
Hukuman-hukuman ini memang relatif lebih berat dibanding denda yang diberikan kepada Rizieq. Namun, dibandingkan dengan kasus lain, pengacara Tim Hukum FPI Aziz Yanuar menilai justru yang ditimpakan kepada Rizieq cenderung lebih berat. Ia memberi contoh rapat koordinasi para menteri di Bali pada Juni 2020, lalu elite race marathon di Magelang, pendaftaran Gibran Rakabuming untuk Pilkada Solo, hingga nasib Gus Nur yang positif COVID-19 di Rutan Bareskrim karena diduga ditempatkan di penjara yang sulit menerapkan jaga jarak.
"Kenapa semua contoh di atas sedikit [atau] tidak dipermasalahkan? Tidak heboh sampai aparat keamanan dicopot? Hukum hanya tegak dan berlaku untuk Habib Rizieq saja?" kata Aziz kepada reporter Tirto, Senin.
Mengenai ini, menurut dosen komunikasi politik dari Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo, jawabannya lagi-lagi perkara politis.
"Bisa jadi Istana memang benar ingin menegakkan protokol kesehatan. Tapi ketika yang disasar adalah lawan-lawan politik Istana, maka mau tidak mau persepsi publik bisa ke arah sana, apalagi ketika tidak disertai tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok lain yang juga melanggar protokol kesehatan dari kubu politik yang sama dengan Istana," kata Kunto.
Senin lalu Presiden Joko Widodo sebenarnya telah meminta TNI, Polri, hingga Satgas COVID-19 tegas menegakkan protokol kesehatan. "Jangan hanya sekadar imbauan-imbauan saja, tapi harus diikuti dengan pengawasan dan penegakan aturan secara konkret di lapangan," kata Jokowi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino