Menuju konten utama
Miroso

Merayakan Keragaman Singapura di Hawker Centre

Bicara soal hawker centre di Singapura, mulanya adalah luberan pedagang jalanan sejak awal abad ke-20 dan mengganggu.

Merayakan Keragaman Singapura di Hawker Centre
Header hawker center Singapore. tirto.id/Tino

tirto.id - Lewat pukul 15.00 ketika saya dan istri, Raya, tiba di Albert Centre. Beberapa kios sudah tutup. Tak terlalu ramai. Sempat berkelilling satu putaran, pilihan kami jatuh pada Penang Man.

Sebelumnya kami menyantap nasi ayam hainan di stasiun MRT Bugis. Perut keroncongan saat mendarat di Bandara Changi dan godaan ayam-ayam di balik kaca tak tertahankan. Toh, kiranya lambung masih mampu menampung sejumput lagi.

Kami memesan Penang braised sauce noodle seharga 5 dolar Singapura (sekitar Rp57 ribu). Kuah gelap dan pekat meruapkan aroma nan sedap. Ada telur rebus, udang, juga potongan daging di antara belitan bihun dan mie kuning. Bukan pilihan yang keliru, Tuan dan Puan.

Albert Centre adalah satu dari 118 hawker centre atau pusat kuliner kaki lima di Singapura. Berlantai tiga di kawasan Bugis yang kondang, gerai-gerai makanan itu berada di lantai pertama bersama pasar basah. Lantai dua dan tiga menjual barang-barang lain dan produk-produk untuk upacara tradisional China.

Ada sekitar 100 gerai. Masing-masing berukuran 3 x 5 meter persegi. Pilihan menu tertera pada signboard atau plastik, komplet dengan informasi harga. Meja kayu hijau dan kursi putih ditanam ke lantai – memunculkan kesan rapi dan teratur. Lantai bersih, tak terlihat sampah.

Bicara soal hawker centre, mulanya adalah luberan pedagang jalanan sejak awal abad ke-20 dan mengganggu.

“Ribuan pedagang menjual dan memasak makanan di trotoar dan jalanan tanpa mempedulikan kemacetan lalu lintas, kesehatan, atau hal-hal lain. Sampah dan kotoran yang dihasilkan menimbulkan bau busuk… mengubah banyak bagian kota menjadi daerah kumuh,” kenang bapak bangsa Singapura, Lee Kuan Yew, dalam memoarnya, From Third World to First: The Singapore Story 1965-2000.

Imigran dan Pedagang Jalanan

Kehadiran para pedagang ini tak terlepas dari gelombang imigran saat Singapura masih di bawah Inggris. Ribuan orang dari daratan China bermigrasi untuk bekerja di perkebunan dan pelabuhan. Ditambah orang-orang India, mengisi sektor konstruksi atau militer.

Para pekerja membutuhkan makanan cepat saji dan murah. Para pedagang kaki lima menyediakannya. Dengan keranjang di pikulan atau gerobak yang dilengkapi kompor, para pedagang berkeliling.

“Penjual sate, biasanya orang Melayu, membawa tusuk sate dan saus kacangnya ke komunitas Tionghoa, sementara penjaja mie Tionghoa menghampiri daerah-daerah yang didominasi pendatang dari India,” kata Lily Kong, penulis SingaporeHawker Centres: People, Places, Food, seperti dikutip National Geographic.

Pada awal 1970-an, pemerintah Singapura berangsur-angsur melarang para pedagang beraksi di jalanan. Disediakan tempat-tempat khusus yang kemudian dikenal sebagai hawker centre.

Sebagian hawker centre dibangun berdekatan atau menempel ke permukiman, sebagian lain diletakkan di kawasan perdagangan atau perkantoran. Albert Centre, misalnya, tergolong kategori kedua. Tiong Bahru Market termasuk kategori pertama.

Ini bukan proyek satu malam. Dibutuhkan sekitar satu dekade untuk benar-benar mensterilkan jalanan, membuat para pedagang menetap di tempat permanen.

“Pada awal 1980-an kami telah memukimkan kembali semua pedagang jalanan. Beberapa di antaranya adalah juru masak yang sangat piawai sehingga (tempat mereka) menjadi destinasi wisata menarik. Beberapa menjadi jutawan yang berangkat kerja menggunakan Mercedes-Benz…” tulis Lee Kuan Yew yang menjadi perdana menteri pada 1959-1990.

Hal menarik, hawker centre mencerminkan keragaman budaya. Masyarakat Singapura terbangun dari tiga ras utama yaitu China, Melayu, dan India. Nah, semua hawker centre memiliki kios-kios makanan yang mewakili ketiganya. Bahkan, kuliner asal Indonesia juga hadir. Misalnya seperti bisa ditemukan di kios Anthony Indonesian Cuisine di Albert Centre.

Kita menemukan nasi ayam hainan, tapi memergoki pula nasi lemak dan sate. Ada laksa, pun terdapat nasi briyani dan roti prata. Jangan lupa kepiting saus pedas dan mantou. Juga kari kepala kakap. Dan seterusnya.

Dengan pilihan beragam, kelonggaran waktu sangat disarankan, terutama untuk berburu para kampiun. Di Maxwell Food Centre, saya menyesal tak punya waktu mengantre di Tian Tian Hainanese Chicken Rice. Ini gerai dengan Michellin Star. Begawan kuliner, Anthony Bourdain, juga pernah mencicipi.

Soal harga, murah untuk ukuran negeri sono. Sebagai perbandingan, nasi goreng restoran di Orchard bisa 20 dolar atau lebih, di hawker centre hanya 4 dolar sampai 7 dolar.

Rak Halal dan Non-Halal

Kerap disebut sebagai community dining room atau ruang makan warga, semua hawker centre dalam pengelolaan National Environment Agency (NEA). Di bawah NEA, ketertiban dan kebersihan adalah harga mati. Satu contoh, di setiap Hawker Centre, pengunjung wajib mengembalikan nampan berisi piring dan gelas kotor ke rak khusus.

Uniknya, rak-rak itu dibagi dua. Pertama, untuk piring dan gelas makanan halal. Kedua, untuk piring dan gelas makanan non- halal. Yup, ini lagi-lagi wujud nyata toleransi.

Sejak 1 Januari 2022, pengunjung hawker centre yang tidak membersihkan meja bakal didenda. Ini memang negeri serba denda, kata seorang kawan. Merokok sembarangan kena hukuman, memberi makan merpati di taman atau trotoar pun demikian.

Pelanggaran pertama menerima peringatan tertulis, pelanggaran kedua didenda 300 dolar Singapura (lebih dari Rp 3 juta). Penegakan hukum dilakukan setelah masa sosialisasi pada 1 November sampai 31 Desember 2021.

“Sanksi tidak dijatuhkan terhadap mereka yang jelas-jelas tidak dapat mengembalikan nampan, seperti orang tua yang lemah atau anak kecil yang tidak mampu membawa makanan sendiri ke meja makan,” demikian NEA seperti dikutip Channel News Asia.

Pengumuman ancaman denda dipasang. Di Maxwell Food Centre, saya melihat selembar poster tertempel di dinding. Pesannya: jangan biarkan piring dan kotor di meja atau denda menimpa. Disampaikan dalam empat bahasa: Inggris, Melayu, India, dan China.

Ada satu lagi kebiasaan, yaitu chope. Akar kata ini dari Bahasa Inggris yaitu “chop” yang bermakna menandai. Nah, benda yang lazim dipakai adalah sebungkus tisu. Jadi, jika di sebuah meja kosong teronggok sebungkus tisu, berarti sudah ada pengunjung yang “mem-booking” – mungkin lagi antre atau masih bingung menentukan pilihan.

Semua hawker centre pun bebas asap rokok meski berwujud ruangan terbuka. Ketika mulut asam dan butuh nikotin, sila mlipir agak jauh. Ini Singapura, Bung!

Pada 2020, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) memasukkan tradisi makan komunal di hawker centre sebagai bagian Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity atau Daftar Perwakilan Warisan Budaya Takbenda Manusia. Singapura memperoleh pengakuan ini setelah dua tahun sebelumnya mengajukan hawker centre untuk dimasukkan.

“Sebagai ruang sosial yang menampung orang-orang dari berbagai latar belakang sosial ekonomi, hawker centres memainkan peran penting dalam meningkatkan interaksi masyarakat dan memperkuat tatanan sosial,” tulis UNESCO.

Di balik ini semua, terselip ancaman yang mengintai, yaitu regenerasi. Hanya segelintir anak muda berminat menjadi hawker. Kurang bergengsi dan alasan-alasan lain terlontar. Sementara para hawker kadung digerogoti usia.

Pada 2020, pemerintah Singapura meluncurkan program pemagangan dan inkubasi. Para hawker mendapat insentif untuk mengajari anak-anak muda. Sementara, pedagang muda menerima potongan harga sewa kios sangat besar pada tahun pertama.

Dalam tiga hari, kami hanya sempat menyambangi Albert Centre, Newton Food Centre, dan Maxwell Food Centre. Terlihat kebanyakan penjual di sana memang sudah sepuh, di atas 60 tahun.

“Mereka konon sangat senang kalau disapa dengan Uncle dan Auntie,” kata saya ke Raya yang menikmati nasi briyani di Newton Food Centre.

Teringat Crazy Rich Asians dengan adegankulineran di Newton Food Centre. Meja sesak dengan piring. Ah, bukan sekadar banyak tapi juga memperlihatkan keragaman asal hidangan. Singapura yang aneka warna.

Baca juga artikel terkait SINGAPURA atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono