Menuju konten utama

Menyiksa Diri dan Berbahagia dengan Seporsi Oseng Mercon

Di buku Monggo Mampir: Mengudap Rasa Secara Jogja (2009), disebut bahwa nama oseng mercon ini diberikan oleh budayawan Emha Ainun Najib.

Menyiksa Diri dan Berbahagia dengan Seporsi Oseng Mercon
Header Miroso Oseng Mercon. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada mulanya, semua bencana terjadi karena sikap meremehkan.

Malam itu, saya ngider di kawasan Malioboro dengan perut kosong. Untung waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SMA, jadi metabolisme tubuh masih bagus. Perut lapar bisa ditahan lebih lama. Om saya, Akhmar “Momon” Prakoso, yang dalam kurun waktu lama menjadi partner saya kulineran, tidak mau makan di kawasan Malioboro. Dia juga sedang tidak mau makan brongkos Kotik di sekitaran Gandekan. Dia ngotot ingin coba makanan bernama oseng mercon.

“Konon makanan itu pedes banget,” katanya bersemangat.

Dalam bayangan saya, oseng akan mirip dengan krengsengan. Tumis daging, dengan bumbu merah cenderung gelap, kental karena mlekoh, dan ada rasa manis sedikit dari kecap manis.

Masa itu belum ada Google Review atau Google Images, jadi saya tak punya bayangan seperti apa wujud oseng mercon ini. Kala itu juga belum ada Google Map, kami mengandalkan piranti bernama mulut orang. Setelah tanya-tanya, akhirnya tahu kalau oseng mercon itu ada di Jalan Ahmad Dahlan, tak jauh dari gedung Pusat Pimpinan Muhammadiyah.

Saya yang dibesarkan dengan makanan Jawa Timur, dan hampir setiap hari menyantap makanan pedas, tentu sedikit meremehkan oseng mercon ini. Dalam hati, saya membatin: pedasnya orang Yogya itu segimana, sih.

Ketika akhirnya ketemu Oseng-Oseng Mercon Bu Narti, saya melongok ke panci dengan rasa penasaran. Kuahnya tak sekental dan segelap krengsengan. Merahnya memang menggentarkan. Mayoritas isinya adalah daging tetelan alias gajih dan kikil. Banyak cabai berenang tenang, tapi malah memberikan aura intimidatif. Meski sedikit khawatir, saya masih dengan keyakinan kolot saya: masakan Yogya pasti ada rasa manisnya.

Kami pesan dua porsi oseng mercon, dua porsi nasi putih, satu teh hangat untuk Om Momon dan es teh manis untuk saya –yang ini adalah kesalahan besar.

Suapan pertama, tidak terasa pedas yang menggigit. Suapan kedua, hmmm, oke, ini pedas. Tapi enak, kok. Masih bisa dinikmati. Suapan ketika, lho kok makin menyengat? Saya minum es teh untuk meredakan kebakaran di lidah. Ini adalah gerbang menuju kawasan rasa sakit yang bikin kebakaran makin besar. Setelah es teh manis memberi plasebo barang sebentar, efeknya malah membahayakan. Rasa pedasnya jadi berlipat.

Keringat pelan-pelan muncul. Om Momon tahu saya mulai kewalahan dengan rasa pedas oseng ini.

“Jangan minum es, ntar rasa pedasnya makin nambah,” katanya cengengesan.

“Telaaaaat!” kata saya panik.

Ibarat pertarungan dua pendekar, saya sudah terdesak. Oseng merconnya sudah mengeluarkan jurus-jurus pamungkas yang tak lagi bisa saya ladeni. Saya melihat nasi sudah tinggal sedikit, sedang bumbu oseng masih banyak. Akhirnya bendera putih berkibar. Saya ambil potongan tetelan dan menyantapnya dengan nasi putih, tanpa menuangkan bumbu. Ini jalan terbaik.

Yang lebih mengerikan adalah efek lanjutannya. Perut panas, seperti ada yang berkemah di dalam sana dan membuat api unggun. Di perjalanan pulang menuju losmen, saya gelisah. Ini panggilan alam yang tak kuasa ditolak.

Anggapan lawas yang saya yakini, bahwa makanan Yogya manis, itu memang lahir dari kurangnya pengetahuan. Dan malam itu, saya belajar dengan cara yang pedih.

Sebenarnya anggapan bahwa makanan Yogya itu manis tak sepenuhnya salah. Ikon makanan Yogya itu gudeg, dan memang ia punya rasa manis yang bisa bikin orang bergidik. Jika merujuk ke sejarah, era tanam paksa Johannes Graaf van Den Bosch memaksa orang Jawa menanam tebu secara massal, termasuk di Yogyakarta. Merujuk buku Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), dalam kurun 1860-1930 saja ada 19 pabrik gula di Yogyakarta.

Tebu dan gula lantas jadi sesuatu yang akrab dalam khazanah kuliner di Jawa Tengah. Termasuk untuk mengawetkan makanan, dan salah satu bentuknya adalah gudeg.

Tapi tentu saja wajah kuliner Yogyakarta tak pernah homogen seperti yang dipikir oleh banyak orang. Di sana-sini, kita bisa menemukan makanan pedas. Bahkan sekarang, ada gudeg mercon yang rasa sambal kreceknya tak ada ramah-ramahnya.

Selain itu, ada juga Sate Petir Pak Nano yang mengukur rasa pedas seperti level pendidikan. Level Paud dan TK itu artinya tidak pedas, dan kamu akan ditertawakan oleh beliau. Level SMP sampai SMA, pedasnya sedang, tapi tetap tidak akan membuat Pak Nano terkesan. Dan puncaknya adalah level Profesor, yang sebenarnya adalah hidangan cabai rawit dengan taburan sate kambing.

Tentu jangan lupakan juga berbagai makanan pedas dan berani seperti mangut pedas dari kawasan Bantul, hingga jangan lombok dari Gunungkidul yang dinamakan secara harfiah: cacahan cabai hijau dijadikan sebagai sayur. Kurang berani apa coba.

Namun tentu saja oseng mercon punya tempat tersendiri di kalangan pecinta pedas Yogyakarta. Letaknya yang tak jauh dari Malioboro bikin orang lebih mudah mengakses. Bu Narti yang jualan oseng mercon sejak 1997 juga bisa memadukan rasa pedas dengan rasa miroso khas masakan Yogyakarta.

Ciri khas penting dari oseng mercon Bu Narti adalah, ia tak pernah pakai merica. Baginya, merica di dalam makanan bisa mengubah arah masakan. Dan ia kurang cocok dengan metode itu. Plus, merica sebenarnya tidak memberikan rasa pedas nyelekit seperti cabai rawit, melainkan rasa hangat.

Di buku Monggo Mampir: Mengudap Rasa Secara Jogja (2009), Syafaruddin Murbawono menyebut bahwa istilah oseng mercon ini diberikan oleh budayawan Emha Ainun Najib dan para sekondan budayawan lain yang sering nongkrong di sana.

“Para seniman dan budayawan yang sering kongkow di situ sering berkelakar: pedasnya seperti mercon,” tulis Syafruddin.

Oseng mercon kemudian jadi ikon nama untuk makanan pedas. Epigonnya kemudian melimpah. Kita sekarang dengan mudah menemukan oseng mercon di mana-mana, meski pionir dan juara umumnya masih Bu Narti.

Saya melihat ada banyak kelemahan oseng mercon selain Bu Narti. Misal: mereka hanya fokus pada rasa pedas yang membakar. Sedangkan Bu Narti bisa memadukan rasa pedas itu dengan rasa sedep. Kedua, banyak yang bumbunya terlalu encer. Ketiga, malah ada yang pakai merica.

Sewaktu tinggal di Yogyakarta selama tiga tahun, saya lumayan sering menjajal berbagai oseng mercon di kawasan utara, dekat tempat tinggal saya di Condongcatur. Tapi tak ada yang bisa menggeser Oseng Bu Narti dari kedudukan terhormatnya. Maka kalau sedang ingin makan pedas banget di Yogya, mau tak mau saya meluncur ke arah selatan.

Memanglah, banyak orang Indonesia, termasuk saya, yang jadi masokis kalau berurusan dengan rasa pedas. Rasa pedas bisa memberikan rasa sakit sekaligus kebahagiaan. Oh, betapa ironis.

Tahun 2014 saya pindah ke Jakarta. Sejak itu, saya sudah nyaris tak pernah lagi mengunjungi Bu Narti. Dari kabar yang saya dengar, lokasi jualannya sudah pindah tak jauh dari sana (atau cuma pindah, tak lagi di trotoar melainkan di gedung permanen). Tapi semoga rasanya tak berubah.

Ketika dua tahun lalu Om Momon meninggal dunia di tengah pandemi, saya meratap seharian karena tak bisa mengantarnya ke rumah terakhir.

Semoga tulisan ini bisa senantiasa mengingatkan saya betapa menyenangkannya perburuan kuliner kita, Om. Dan semoga di atas sana ada oseng mercon seenak bikinan Bu Narti. Ingat, jangan minum es ketika makan pedas. []

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Miroso
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Irfan Teguh Pribadi