Menuju konten utama

Menyesap Kenangan Es Lontrong yang Tak Dijumpai di Tempat Lain

Es Lontrong lahir di lorong kecil, seperti namanya, "lontrong", yang berarti gang. Karena itu, ia bertahan dan bersetia dengan gang sempit di Slawi, Tegal.

Menyesap Kenangan Es Lontrong yang Tak Dijumpai di Tempat Lain
Proses penyajian Es Lontrong secara tradisional. (Foto: tegalterkini.id)

tirto.id - Di gang sempit Jalan Letjen Suprapto No. 26, Slawi, Kabupaten Tegal, antrean cukup panjang mulai terbentuk. Tak ada papan nama mencolok atau desain kekinian layaknya kafe atau gerobak gaya modern.

Dari celah lorong itu terdengar gesekan es serut, tumpahan sirup merah, dan suara riuh pelanggan yang sudah tak sabar ingin menyendok kesegaran yang mereka kenal sejak lama: Es Lontrong.

Orang-orang rela mengantre untuk menyeruput minuman tersebut, sebuah kenikmatan yang hanya bisa diperoleh di Slawi, Tegal, tak ada di tempat lain.

Warung Kecil, Kenangan Besar

Es Lontrong adalah kuliner khas Slawi yang sudah eksis lebih dari tiga dekade. Namanya diambil dari kata “lontrong”, bahasa setempat untuk menyebut lorong sempit yang jadi lokasi satu-satunya tempat minuman ini dijual.

Tak seperti minuman kekinian yang muncul dan hilang seperti musim, Es Lontrong hadir tanpa gimik. Ia tak punya akun media sosial, tak perlu endorsement artis, dan tak punya varian rasa yang berubah tiap bulan. Tapi justru kesederhanaan itu yang jadi kekuatannya.

“Rasanya nggak pernah berubah dari zaman saya masih sekolah dulu. Setiap seruputannya tuh kayak mengingatkan masa kecil,” kata Zahra (28), salah seorang penikmat setia Es Lontrong yang mengaku sudah menjadi pelanggan di warung itu sejak remaja, Selasa (15/7/2025).

Zahra bercerita bahwa dirinya dulu rela repot-repot datang ke Slawi hanya untuk mampir minum Es Lontrong. Kini, setelah bekerja di Tegal, ia jadi lebih sering datang, kadang saat jam makan siang atau setelah pulang kerja.

“Kadang satu gelas nggak cukup. Aku suka roti tawarnya ditekan sampai nyerap kuah. Jadi kayak spongerasa nostalgia,” ujarnya.

Kuliner Es Lontrong di Slawi

Proses penyajian Es Lontrong secara tradisional. (Foto: tegalterkini.id)

Buka Setiap Hari, Tanpa Libur

Di balik warung sederhana itu, berdiri para pekerja yang merawat kesegaran resep sejak pagi. Salah satunya adalah Sri (45), pelayan yang sudah lebih dari 10 tahun membantu melayani pelanggan.

“Kita buka terus, dari jam delapan pagi sampai sore. Gak pernah libur, kecuali kalau ada keperluan keluarga banget. Biasanya tutup kalau bahan sudah habis,” tutur Sri saat ditemui di sela-sela aktivitas jualannya, menyendok santan dan menyiram sirup merah ke dalam gelas plastik.

Menurutnya, meski hanya minuman sederhana, banyak pelanggan yang suka dan bahkan rela datang jauh-jauh secara rutin. Ada yang seminggu sekali, ada yang dua kali seminggu, bahkan ada juga yang selalu datang saat akhir pekan.

“Paling ramai pas Ramadan. Kadang jam tiga sore udah habis,” ujar Sri.

Meski desain warungnya tampak simpel dan jualannya pun sederhana, omzet harian warung ini bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hari, terutama saat musim panas dan bulan puasa. Dengan harga jual yang masih sangat terjangkau, sekitar Rp6.000 hingga Rp7.000 per porsi, artinya warung ini bisa menjual antara 150 sampai 200 gelas es per hari.

“Kalau panas terik dan banyak anak sekolah mampir, bisa lebih. Kadang sampai ngos-ngosan nyerut esnya,” ujarnya sambil tersenyum.

Rasa yang Tak Bisa Dipalsukan

Es Lontrong disajikan dalam gelas plastik, dengan isian yang beraneka ragam, mulai dari kacang hijau rebus, agar-agar, cincau hitam, tape singkong, kolang-kaling, hingga potongan roti tawar. Beragam isian yang memenuhi 3/4 gelar itu kemudian disiram dengan santan gurih dan sirup merah manis, dilengkapi dengan es serut yang digosrok manual.

Prosesnya masih tradisional. Es diserut dengan alat manual dari kayu. Santan diperas secara mandiri, sejak dari kelapa hingga menjadi cair, bukan dari kemasan. Roti tawar dipotong manual. Mereka enggan membekukan roti tawar—meskipun bisa jadi tambah awet—untuk menjaga kelembutan tekstur dan rasanya.

Setiap orang punya cara tersendiri untuk menikmati Es Lontrong. Ada yang mencelupkan roti ke kuah, ada yang menyendok semua campuran sekaligus, dan ada juga yang menyeruput kuahnya lebih dulu.

“Yang penting jangan diaduk terlalu kasar, nanti pecah semua teksturnya,” kata Zahra sambil tertawa.

Kuliner Es Lontrong di Slawi

Spanduk Es Lontrong Slawi, kuliner legendaris khas Tegal. (Foto: tegalterkini.id)

Hanya Ada di Slawi – Tegal

Satu hal yang membuat Es Lontrong benar-benar istimewa adalah lokasinya yang eksklusif. Minuman ini tidak bisa ditemukan di tempat lain selain di Slawi, Kabupaten Tegal. Tidak ada cabang di kota lain, tidak ada franchise, juga tidak bisa dipesan lewat aplikasi daring.

“Banyak yang coba bikin di tempat lain, tapi rasanya beda. [Itu] karena di sini semua masih manual, bahan-bahannya juga langsung dari pasar, bukan yang instan,” jelas Sri.

Keunikan itulah yang membuat Es Lontrong jadi kuliner langka. Ia tidak sekadar menyegarkan tenggorokan, tapi juga menciptakan nuansa khas. Beberapa pelanggan bahkan rela datang dari luar kota hanya untuk mencicipinya lagi. Seperti Zahra yang ketika dulu masih kuliah di Purbalingga pun sesekali pulang hanya untuk minum es ini.

Lorong yang Menyimpan Cerita

Di tengah derasnya tren kuliner modern, Es Lontrong bertahan sebagai bentuk perlawanan terhadap segala hal yang instan, kemasan, dan menciptakan viralitas semu. Ia hadir dalam diam, tetapi selalu dicari. Tanpa perlu dihias atau difoto, gelas plastik sederhana itu menyimpan rasa dan kenangan yang tak bisa ditawarkan semua makanan atau minuman.

Kuliner Es Lontrong di Slawi

Proses penyajian Es Lontrong secara tradisional. (Foto: tegalterkini.id)

Warung ini tidak hanya menjual minuman, tetapi juga menawarkan sebuah ruang bernama kenangan: kenangan tentang masa kecil, tentang seorang ibu yang menunggu di bangku plastik, tentang sore yang sederhana, juga tentang kota kecil yang diam-diam menyimpan rasa yang besar.

Lebih dari itu, lontrong tempat warung ini berdiri juga menyimpan makna sosial yang dalam. Menurut Mafatikhul Habibi, pegiat budaya Tegal:

"Gang atau lontrong ini bukan sekadar tempat jualan. Ia adalah ruang sosial, tempat orang berkumpul dan berbagi cerita. Kehilangan tempat seperti ini berarti kehilangan ruang budaya.”

Bagi Habibi, tempat-tempat seperti ini harus dirawat bukan hanya sebagai warung makan, tapi juga sebagai warisan hidup yang menghubungkan satu generasi ke generasi lain.

----------------------------------

Tegalterkini.id adalah akun IG City Info yang merupakan bagian dari #KolaborasiJangkarByTirto

Baca juga artikel terkait FEATURE atau tulisan lainnya dari Tegalterkini.id

tirto.id - Horizon
Kontributor: Tegalterkini.id
Penulis: Tegalterkini.id
Editor: Fadli Nasrudin