Menuju konten utama

Menkum: Mahfud MD Mungkin Lupa Hak Konstitusional Presiden

Supratman menegaskan dalam Pasal 14 UUD 1945, Presiden RI berhak memberikan amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi.

Menkum: Mahfud MD Mungkin Lupa Hak Konstitusional Presiden
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas memberikan klarifikasi terkait denda damai untuk pengampunan koruptor di Gedung Kementerian Hukum, Jakarta, Jumat (27/12/2024). Menkum menegaskan sistem hukum Indonesia memungkinkan pengampunan bagi pelaku tindak pidana, namun tidak serta merta digunakan untuk membebaskan pelaku, terutama koruptor. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/rwa.

tirto.id - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan bahwa penjelasannya soal grasi, amnesti, abolisi, dan denda damai untuk pengampunan pelaku tindak pidana—yang belakangan ramai diperbincangkan—dilakukan untuk membela Presiden Prabowo Subianto.

Dia mengatakan bahwa hal tersebut untuk mengingatkan Mahfud MD yang mengatakan bahwa Prabowo bisa dijerat Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana jika memberikan pengampunan pada koruptor.

"Ada yang mengatakan kalau presiden mengampuni koruptor, presiden bisa dijerat dengan Pasal 55 KUH Pidana. Atas dasar itulah kemudian saya sampaikan bahwa ada pihak yang menyatakan seperti itu mungkin lupa dengan hak konstitusional Bapak Presiden," kata Supratman dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Hukum, Jumat (27/12/2024).

Supratman menegaskan bahwa dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, Presiden RI memiliki hak untuk memberikan amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi untuk semua jenis tindak pidana. Meski demikian, Supratman mengatakan, proses tersebut belum tentu ditempuh oleh Prabowo.

"Bahwa wacana untuk memaafkan koruptor itu kan bukan perkara baru, itu sudah lama. Bahkan, oleh Prof. Mahfud juga disebut, beliau saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, beliau sampaikan pernah mengusulkan itu dengan menempuh beberapa cara," ujar Supratman.

Dia juga mengatakan bahwa Mahfud sempat menyatakan bahwa Indonesia bisa mencontoh beberapa negara terkait dengan pengampunan koruptor ini.

"Artinya, waktu itu, menurut Prof. Mahfud, tidak ada yang berani. Nah, karena itu, teman-teman semua, saya ingin menyampaikan bahwa urusan amnesti atau pun pengampunan, maksud saya, di dalam hukum pidana kita, kita sudah mengenal itu dalam praktik ya," tuturnya.

Supratman menegaskan bahwa dalam tindak pidana korupsi telah terdapat unsur restorative justice yang selama ini diterapkan oleh penegak hukum, yang disesuaikan dengan jumlah kerugian negara.

"Kalau memang semua diterapkan, kalau kerugian negara hanya Rp50 juta, Rp100 juta, padahal biaya untuk penanganan perkaranya kan jauh lebih besar dibandingkan dengan korupsinya yang sedikit," ucapnya.

Selain itu, Supratman juga menjelaskan soal 44.000 narapidana yang akan mendapatkan amnesti atau pengampunan dari Prabowo. Dia mengatakan bahwa dari napi sebanyak itu, tidak terdapat satu pun napi kasus korupsi.

"44 ribu yang sementara kami siapkan bersama dengan Kementerian Imipas, sama sekali tidak ada satu pun terkait dengan kasus korupsi. Sama sekali tidak ada," katanya.

Supratman menjelaskan bahwa para napi tersebut berkaitan dengan kasus politik di Papua yang tidak bersenjata, napi yang memiliki sakit berkelanjutan seperti HIV-AIDS, napi yang terjerat UU ITE, dan pengguna narkoba yang dikategorikan sebagai korban.

“Sementara, Kementerian Imipas masih terus melakukan asesmen untuk terkait dengan hal itu. Karena itu, nanti setelah kami menerima daftar nama yang 44 ribu, yang masih perkiraan itu, kemudian kami akan buka ke publik, kami akan kirim ke Presiden. Presiden nanti akan menyurat ke DPR untuk meminta pertimbangan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KABINET PRABOWO-GIBRAN atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Hukum
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fadrik Aziz Firdausi