Menuju konten utama

Menkum Soal Pengampunan Koruptor: Tidak Dilakukan Serta-Merta

Meski Presiden RI berhak memberi pengampunan kepada koruptor, hal itu tetap harus melalui proses pengawasan MA dan DPR.

Menkum Soal Pengampunan Koruptor: Tidak Dilakukan Serta-Merta
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas saat diwawancara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024). Tirto/Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, memberi penjelasaan terkait pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal akan memaafkan pelaku tindak pidana korupsi, asal mengebalikan uang yang telah dikorupsi pada negara.

Supratman mengatakan bahwa koruptor tidak serta-merta mendapatkan amnesti ataupun grasi. Meskipun Presiden RI memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, hal itu tetap harus melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (terkait grasi) serta DPR (dalam hal pemberian amnesti).

Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA, sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).

Supratman menerangkan bahwaPemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena, yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian, kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap [pengampunan koruptor] dilakukan serta merta,” ujar Supratman.

Supratman mengungkapkan bahwa pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif. Namun, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak konstitusional kepada Presiden RI untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.

Dia menyebut bahwa sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada Presiden RI sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian, pasca-Amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

Karena itu, supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya, tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” tegasnya.

Selain Presiden RI, kata Supratman, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung melalui denda damai. Sehingga, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.

Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo.

“Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait KABINET PRABOWO-GIBRAN atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Hukum
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fadrik Aziz Firdausi