tirto.id - Akhir pekan santai, waktunya leyeh-leyeh berdua di ranjang, pergi nonton bioskop, atau sekadar jalan-jalan sore ke Taman Bermain bersama pasangan dan anak. Kemewahan sederhana ini tak mudah dinikmati oleh para pejuang Long Distance Marriage (LDM). Bagi mereka, ada harga yang harus dibayar untuk menebus kebersamaan dengan keluarga.
Firsta Nodia, wartawan, saat ini tengah menjalani hubungan jarak jauh dengan suami yang bekerja di BUMD Tanjung Pinang. Pasangan ini memutuskan menjalani LDM, salah satunya karena karier. Menjadi pegawai BUMD tak mudah mengajukan mutasi, sementara Firsta merasa kariernya lebih berkembang di Jakarta.
Demi menuntaskan kerinduan, setiap bulan mereka menyisihkan tiga hari menjelajah tempat-tempat wisata di Indonesia. Firsta tak mau pertemuan singkatnya biasa-biasa saja. Minimal lima juta rupiah mereka tandaskan untuk akomodasi, sewa penginapan, dan biaya-biaya hiburan lainnya.
“Kalau ketemu, penginnya emang lebih intim, liburan berdua, ngomongin hal-hal yang lebih serius,” kata Firsta.
Umur pernikahan Firsta memang belum genap setahun. Namun, karena sejak pacaran mereka sudah terbiasa menjalani hubungan jarak jauh, adaptasi LDM tidak terlalu sulit mereka lakukan. Apalagi Firsta dan suami berkomitmen untuk menunda kehamilan selama masih menjalani LDM. Oleh karena itu, ada berbagai keuntungan yang masih bisa dinikmati dari hubungan jarak jauh mereka, termasuk waktu, karier, dan tanggung jawab keluarga.
“Me time masih lebih banyak dan belum ambil bagian dari segambreng pekerjaan rumah.”
Beda lagi dengan Taufik dan Lia. Pasangan muda ini harus menjalani hubungan lebih berat karena telah memiliki anak. Taufik menjadi pegawai di salah satu Kementerian di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sementara Lia dan bayi perempuan mereka tinggal di Tangerang, Banten. Untuk bertemu keluarga kecilnya, sebulan sekali Taufik menyiapkan ongkos minimal Rp2,5 juta.
Pasangan muda itu terpaksa menjalani LDM karena di awal pernikahan Lia masih menuntaskan kuliah, sementara suaminya belum mendapat mutasi. Rencananya, beberapa bulan ke depan, Taufik mulai mengurus mutasi ke Jakarta dan memulai hidup baru bersama Lia dan putri mereka.
“Kita jaga komunikasi lewat telepon video, diusahakan dia enggak merasa kurang kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya,” kata Lia, ihwal cara menjaga hubungan antara ia dan putrinya dengan sang suami.
Dampak Psikis LDM
Hubungan jarak jauh ternyata banyak dipilih oleh pasangan-pasangan muda. Mereka memiliki peluang lebih besar menjalani LDM di awal pernikahan dibanding pasangan yang berumur matang. Meski berat menjalani hari-hari tidak seperti keluarga normal lain, tren LDM makin digemari. Di Amerika Serikat, praktik ini meningkat 44 persen dari tahun 2000-2017, rata-rata dengan alasan karier.
Pasangan menikah yang memilih LDM paling tinggi berada di usia 20-30 tahun, yakni umur-umur saat karier mereka sedang merangkak naik. Studi yang dikutip The Wall Street Journal menyebut hampir 100 persen pasangan LDM merencanakan tinggal bersama dalam waktu 2 bulan sampai 16 tahun ke depan, dengan rentang rata-rata 5 tahun.
Kabar baiknya, mereka yang berjarak tak perlu khawatir terhadap mitos-mitos LDM. Risiko mendua para pasangan LDM tidak lebih besar dibanding pasangan yang dekat secara geografis (pasangan proksimal). Steve N. Du Bois, dkk juga mematahkan gagasan populer bahwa hubungan yang sehat dan bahagia bersumber pada kedekatan pasangan.
Penelitian berjudul "Going the Distance: Health in Long-Distance Versus Proximal Relationships" (2015) itu menghitung skala stres pasangan jarak jauh dengan pasangan proksimal. Hasilnya tak ada perbedaan skor kepuasan hubungan antar-kelompok.
Individu dalam kelompok proksimal melaporkan pengaturan hubungan lebih baik, frekuensi seksual lebih tinggi, dan stres lebih rendah baik dalam tingkat individu maupun hubungan antar-pasangan. Mereka juga punya kepatuhan minum obat lebih baik dan nilai fungsi fisik lebih tinggi daripada kelompok satunya.
Dalam hal kesehatan, individu dengan hubungan jarak jauh punya nilai keseluruhan pada kecemasan dan depresi, skor subskala kelelahan, serta perilaku diet/olahraga lebih baik. Namun, stres tingkat individu dan hubungan antar-pasangan lebih tinggi pada kelompok ini.
Masalah terakhir terkait stres tingkat individu juga sempat dikeluhkan Lia. Kondisi ini juga yang membuat Firsta memilih menunda kehamilan. Bagi mereka, LDM membuatnya belajar lebih menghargai waktu bersama pasangan. Namun, di sisi lain ia dan Firsta harus menghadapi hari-hari berat tanpa ada tempat berkeluh kesah, membikin kondisi kejiwaan letih dan memancing emosi.
“Kadang salah persepsi, di chat terutama. Niat tulisan [pengirim pesan] biasa, lawan bacanya emosi. Ini bikin capek!” ungkap Lia.
“Hormon kalau lagi hamil bakal berubah, stres pasti bertambah, dan gue enggak mau memikul beban itu sendirian,” tandas Firsta.
Tips agar Harmonis dalam Menjalani LDM
Beberapa pasangan jarak jauh memiliki kesulitan menyampaikan emosi atau berargumen. Mereka juga cenderung mengalami depresi ringan. Untuk menanggulangi hal-hal tersebut, laman Long Distance Relationships menulis beberapa saran yang dapat diterapkan oleh mereka yang terhalang jarak.
Pertama, tetap fokus pada hal-hal positif yang didapat dari keputusan LDM. Kedua, beradaptasi dalam komunikasi, gunakan teknologi untuk memudahkan berkomunikasi. Pasangan juga harus belajar mengatasi masalah ringan yang terjadi akibat komunikasi virtual.
Ketiga, simpan memori bersama pasangan untuk menjaga kedekatan secara psikologis, bisa dalam bentuk cetakan gambar yang diletakkan di dompet, atau meja kerja. Keempat, sediakan waktu khusus untuk membahas masalah penting.
Pasangan LDM memang lebih jarang berdebat dan menghindari perselisihan. Namun, kematangan hubungan mereka juga berjalan lebih lambat. Mereka seringkali membuat pemakluman atas sisi negatif pasangannya supaya tidak merusak waktu bersama yang terbatas. Kondisi itu terus berlangsung sampai mereka kembali bersatu dan akhirnya membikin konflik datang terlambat.
Untuk mengatasi efek ini, pasangan LDM harus menyisipkan waktu berbincang mengenai hubungan dan cara mengatasi masalah di kemudian hari. Persis seperti yang dilakukan Firsta setiap bertemu suaminya.
Teknik kelima, habiskan banyak waktu untuk bersosialisasi. Keenam, belajar memaklumi bahwa akan ada konflik dalam rumah tangga. Terakhir, jangan lupa, pelajari seni seks jarak jauh.
Editor: Maulida Sri Handayani