tirto.id - R.M.Soewardi Soerjaningrat dan R.A.Soetartinah atau yang dikenal dengan sebutan Ki dan Nyi Hadjar Dewantara, pernah mengalami long distance relationship (LDR) atau hubungan jarak jauh sebelum mereka menikah dan berbulan madu ke Belanda dalam masa pengasingan. Menurut Bambang Sokawati Dewantara, putra Ki dan Nyi Hadjar, ayah dan ibunya dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
Pada tahun 1903. R.M.Soewardi melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran STOVIA (School Tot Opleiding van Inlansche Artsen) di Weltevreden (kini sekitaran Gambir). Sementara itu, pada tahun yang sama R.A.Soetarinah menjadi guru bantu di Sekolah Kursus Guru yang didirikan R.M.Rio Ganda Atmaja di Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan dan karir, mereka pun terpisah jarak Yogyakarta-Weltevreden.
R.M.Soewardi Soerjaningrat dan R.A.Soetartinah kemudian dipertemukan kembali pada 4 November 1907 di depan Penghulu Pakualaman. Mereka diresmikan dalam ikatan “gantung nikah”, tidak berkumpul sebagai suami istri sampai hari pernikahan tiba. Setelah acara usai, keduanya kembali terbenam dalam hiruk pikuk kesibukan di kota masing-masing.
Surat merupakan jurus ampuh bagi R.M.Soewardi Soerjaningrat dan R.A.Soetartinah untuk bertukar kabar dan pemikiran. R.M.Soewardi mengabarkan kepada tunangannya tentang kehidupannya di STOVIA dan dunia pergerakan yang ia jalani di Batavia. Untuk memahami maksud tunangannya tersebut, R.A.Soetartinah pun mempelajari keadaan politik Hindia Belanda saat itu.
Keterlibatan R.M.Soewardi Soerjaningrat dalam dunia politik membuat ia dikeluarkan dari STOVIA pada tahun 1909 dan memilih untuk bekerja dan menulis. Ia berpindah-pindah tempat bekerja, mulai dari pabrik gula di Bojong Probolinggo, perusahaan obat-obatan di Yogyakarta hingga ke Bandung. Perpindahan R.M.Soewardi dari satu tempat ke tempat lainnya tak mengubah statusnya dengan R.A.Soetartinah sebagai sepasang kekasih.
Setelah mengalami hari-hari yang panjang dan cukup berat, mereka kembali dipertemukan. Pertemuan tersebut disibukkan dengan rencana pernikahan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Hal itu terjadi karena R.M.Soewardi harus menerima hukuman pengasingan akibat tulisannya “Als Ik eens Nederlander was” yang membuat gusar pemerintah kolonial.
Pernikahan pun digelar pada akhir Agustus 1913. Pada 13 September 1913, beberapa hari setelah menikah, R.M.Soewardi Soerjaningrat dan R.A.Soetartinah diasingkan ke Belanda bersama Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasangan putra-putri Pakualaman tersebut terus aktif dalam dunia pers dan pendidikan di negeri pengasingan. Tahun 1919 mereka kembali ke Jawa dan mendirikan Perguruan Tamansiswa pada 1922.
Selain Ki dan Nyi Hadjar Dewantara, kisah LDR dialami pula oleh muridnya, Siti Soekaptinah. Ia adalah salah satu murid di Taman Guru, Tamansiswa Mataram di periode 1924-1926. Sebelum di Tamansiswa, Siti Soekaptinah bersekolah di Hollands Indische School Keputran antara 1914-1921 dan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) tahun 1922-1924.
Pada saat bersekolah di MULO itulah ia bertemu dengan Soenarjo Mangoenpoespito. Tak hanya bertemu di sekolah, keduanya sama-sama aktif dalam organisasi pemuda pada saat itu, Jong Islamieten Bond dan Jong Java. Karena sering bertemu itulah hubungan mereka beranjak tidak sekadar menjadi kawan. Wit ing tresno jalaran seko kulino, begitulah kisah cinta mereka tergambar dalam pepatah Jawa.
Pada 1924 Siti Soekaptinah keluar dari MULO dan melanjutkan pendidikannya ke Taman Guru, Tamansiswa Mataram. Hal tersebut ia lakukan untuk mengikuti keinginan ayahnya, R. Sastrawecana untuk menjadi seorang guru. Sedangkan pada 1925 Soenarjo Mangoenpoespito lulus dari MULO dan melanjutkan sekolahnya ke sekolah analis di Batavia.
Dalam masa-masa sulit LDR, Siti Soekaptinah tetap aktif dalam dunia pergerakan. Ia bergabung dalam JIBDA (Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling) Yogyakarta pada 1925. Setelah lulus dari Taman Guru, ia pun kemudian mengajar di Tamansiswa Mataram tahun 1926.
Keaktifannya tersebut membawanya hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 1928 di Yogyakarta. Dalam kongres, ia mewakili JIBDA sebagai penulis. Ia pun turut menciptakan tembang “Panembrama: Kinanthi Sekar Gending Srikastawa: Ladrang Pelog Barang” yang dinyanyikan dalam pembukaan kongres.
Pada 1929 Soenarjo Mangoenpoespito berhasil menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke Yogyakarta. Kisah LDR mereka pun berakhir dengan pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Desember 1929 di Yogyakarta. Setelah menikah, keduanya tinggal berpindah-pindah mengikuti perkembangan politik yang terjadi di Hindia Belanda, mulai dari menetap di Jakarta, Semarang, hingga Yogyakarta.
Keberhasilan dalam LDR yang dialami oleh Ki dan Nyi Hadjar Dewantara maupun Siti Soekaptinah dan Soenarjo Mangoenpoespito ternyata tak dimiliki oleh Soejatin Kartowijono. Pengagas Kongres Perempoean Indonesia I ini gagal dua kali dalam kisah LDR-nya. Perbedaan idealisme menjadi permasalahan yang terus menerus ia hadapi. Kisah cinta pertama yang kandas ia alami bersama tunangannya, seorang mahasiswa Rechtshogeschool di Batavia tahun 1928. Hal tersebut ia ceritakan dalam autobiografinya, Sumbangsihku Bagi Pertiwi, Buku I.
“Pada waktu sibuk-sibuknya saya mempersiapkan Kongres, dia datang dari Jakarta. Sebagaimana layaknya orang yang sedang berkasih-kasihan dia ingin pergi dengan saya, ke bioskop atau piknik ke Kaliurang, tapi saya sama sekali tidak punya waktu. Saya sibuk bekerja, karena sukses tidaknya Kongres Perempoean Indonesia Ke I ini tanggung jawab saya. Saya sama sekali tidak punya waktu untuk menemani tunangan saya, karena harus rapat ke sana-sini. Disamping kesempatan ini juga saya pakai untuk menguji apakah tunangan saya itu benar-benar mau menghayati dan menyelami dunia saya sebagai wanita pergerakan.” (hal. 242)
Jelas Soejatin memiliki idealisme yang sangat kuat, terutama dalam dunia pergerakan perempuan. Ia bersama guru-guru perempuan yang tergabung dalam Poetri Indonesia serta dukungan ibu Soekonto dari Wanito Oetomo dan Nyi Hadjar Dewantara dari Wanita Tamansiswa menyatukan barisan untuk mengadakan kongres tersebut. Panitia terbentuk dan Kongres Perempoean Indonesia I dapat dilakukan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Perjuangan serta cita-cita perempuan Indonesia tak mau ia barter dengan melankoli percintaan yang rumit. Setelah bertengkar hebat, Soejatin kemudian mengirimkan surat putus kepada tunangannya di Jakarta. Dengan demikian, kisah cinta mereka pun kandas di tengah jalan, sedangkan pergerakan perempuan tetap berjalan.
Kegagalan cinta dan pahitnya LDR tak membuat Soejatin putus asa. Ia kembali mencoba peruntungan dalam LDR. Kali ini ia merajut kisah cinta dengan mahasiswa Technische Hoogereschool te Bandoeng pada 1930. Keduanya merasa berjodoh karena sama-sama menyukai musik seriosa. Soejatin bermain piano dan tunangannya bermain biola.
Sayangnya, lagi-lagi, kisah cinta itu kandas. Persamaan selera musik saja tidak cukup menyatukan cinta mereka. Perbedaan idealisme kembali merundung kisah cinta Soejatin. Dalam tulisannya ia menceritakan bagaimana tunangannya datang dari Bandung, meninggalkan tugas-tugasnya untuk menemui Soejatin. Sementara itu Soejatin berada dalam kesibukan mempersiapkan diri untuk mengikuti Kongres Perikatan Perempuan Isteri Indonesia I di Surabaya 13-18 Desember 1930.
“Saya tetap berangkat ke Surabaya dengan tidak memperdulikan segalanya. Tunangan saya yang satu ini pun akhirnya saya putuskan. Kami tidak seia sekata. Kami bersimpangan jalan di dalam aspirasi dan cita-cita”. (hal, 243)
Setelah gagal dalam dua kisah LDR, Sujatin kemudian bertemu dengan jodohnya, Kartowijono. Mereka bertemu dalam peringatan Hari Kartini. Persamaan idealisme membuat mereka memutuskan untuk menikah. Ia bahkan menerima segala kekurangan pasangannya tersebut. Menurutnya kasih sayang dan pengertian melebihi harta dan kedudukan yang dimiliki oleh seorang lelaki.
Kisah-kasih asmara yang dialami para pejuang yang menjalin cinta dari jarak yang jauh pada masa pergerakan menunjukkan adanya perubahan pandangan tentang relasi dan cinta. LDR sendiri dipengaruhi oleh terbatasnya sekolah-sekolah tinggi serta ketersediaan karir bagi para lulusannya di daerah terpencil. STOVIA, THS, RHS dan sekolah tinggi lainnya yang hanya tersedia di kota-kota besar yang mengharuskan mereka untuk berkelana meninggalkan kekasih dan kampung halaman.
Mereka juga semakin sadar atas pilihan-pilihan yang dapat diambil secara bebas, termasuk menyusun kriteria dalam memilih pasangan. Jika sebelum abad ke-20 perjodohan masih terjadi, hal tersebut semakin berkurang pada abad ke-20. Bursa jodoh semakin meluas di sekolah dan organisasi-organisasi pergerakan.
Sementara itu, pendidikan pun semakin digeluti para perempuan pada abad ke-20. Dalam bukunya Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, Frances Gouda menjelaskan adanya peningkatan jumlah murid perempuan di HIS sebanyak hampir tiga kali lipat (dari 3.490 menjadi 10.195) pada 1915-1925. Sekolah-sekolah khusus perempuan pun bermunculan pada periode tersebut dengan berusaha mendidik para gadis untuk menjadi mitra sejajar laki-laki: menjadi istri dan ibu modern.
Hal tersebut juga dapat terlihat dalam organisasi-organisasi perempuan awal, seperti Aisjijah. Dalam majalah Soeara Aisjijah, dijelaskan kriteria-kriteria seorang muslimah modern, seperti dalam hal berpakaian, mendidik anak dan mengatur keperluan rumah tangganya.
Seperti yang dituliskan Soejatin, mereka juga menginginkan pasangan yang setara, baik di dalam rumah maupun dalam dunia pergerakan. Pasangan bukan lagi bergantung pada ukuran bibit, bebet dan bobot yang dipahami dan diukur oleh orang tua, namun juga isi kepala calon suami.
Penulis: Utamy Dewi
Editor: Zen RS