tirto.id - Baru-baru ini kasus perundungan di Binus (Bina Nusantara) School Serpong jadi sorotan warganet lantaran mengakibatkan korban masuk rumah sakit. Pelaku perundungan diketahui adalah Geng Tai, di mana salah satu anggotanya merupakan anak dari pesohor Tanah Air, Vincent Rompies.
Mirisnya, kasus semacam itu bukan sekali terjadi di Indonesia. Pada November 2023, ada seorang siswa SMP Negeri 2 Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang dianiaya oleh kawannya. Ia dipukul, ditendang, dan diinjak. Meski ada beberapa siswa lain di sana, mereka membiarkan hal itu terjadi.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan menyatakan, sepanjang Januari – September 2023, terdapat 23 kasus perundungan di satuan pendidikan. Sebanyak 50 persen di antaranya terjadi pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Dari 23 kasus tersebut, 50 persen terjadi di jenjang SMP, 23 persen terjadi di jenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA, dan 13,5 persen di jenjang SMK," ucap Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo Sekjen, dalam keterangan resminya, Selasa (3/10/2023).
Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk isu anak-anak (United Nations International Children’s Emergency/UNICEF), perundungan atau bullying bisa diidentifikasi dengan tiga krakteristik: niat, pengulangan, dan kekuasaan.
Lebih lanjut UNICEF menyebut, anak-anak yang melakukan perundungan biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, misalnya anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer.
Lantas, bagaimana tren perundungan dan kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun?
Marak di Tahun 2022
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul “Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia 2023” menunjukkan, persentase siswa yang mengalami perundungan naik pada tahun 2022, baik di kalangan siswa kelas 5 SD/sederajat, kelas 8 SMP/sederajat, dan kelas 11 SMP/sederajat.
Jika dirinci, kenaikan persentase perundungan paling besar dialami anak kelas 8 SMP, dari 26,32 persen pada 2021 menjadi 41,34 persen pada 2022. Angka itu juga tampak paling tinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya.
Di kalangan siswa kelas 5 SD misalnya, persentase mereka yang mengalami perundungan berada di level 35,55 persen, sementara di kalangan siswa kelas 11 SMA sebesar 30,31 persen.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) juga menyingkap tren kekerasan fisik dan emosional di kalangan anak.
Secara umum, kekerasan fisik terhadap anak usia 13 – 17 tahun memang banyak dilakukan oleh keluarga dan teman/sebayanya. Namun, terdapat tren yang berbeda di antara anak laki-laki dan perempuan, di mana kekerasan fisik terhadap anak laki-laki dominan dilakukan oleh teman/sebayanya, sementara pelaku kekerasan fisik terhadap anak perempuan didominasi oleh keluarga.
Persentase anak laki-laki yang pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman/sebaya lebih dari separuh, mencapai 57,99 persen, diikuti keluarga (27,52 persen), dewasa dikenal (11,87 persen), dan orang tak dikenal (2,62 persen).
Sementara kekerasan fisik terhadap anak perempuan umur 13 – 17 tahun yang dilakukan oleh keluarga jumlahnya mencapai 43,4 persen. Menyusul di belakangnya teman/sebaya (41,99 persen), dewasa dikenal (10,71 persen), dan pasangan/pacar (3,9 persen).
Adapun prevalensi kekerasan fisik yang dialami anak laki-laki di bawah 18 tahun selama 2021 menyentuh angka 6,45 persen sementara anak perempuan mencapai 5,03 persen. Kekerasan fisik itu mencakup ditonjok/ditendang/dipukul, dicekik/bekap/bakar, dan diserang dengan pisau atau senjata lainnya.
Lebih jauh dari temuan SNPHAR, anak juga dilaporkan mengalami kekerasan emosial atau perundungan berupa makian atau hinaan. Kekerasan emosional yang paling banyak dialami anak laki-laki dan perempuan usia 13-17 tahun oleh teman sebayanya adalah lelucon atau komentar seksual.
Prevalensi kekerasan emosional berupa lelucon atau komentar seksual di kalangan anak laki-laki yakni 16,22 persen dan anak perempuan 21,31 persen.
Terjadi di Luring & Daring
Selain terjadi secara langsung, perundungan juga bisa terjadi secara daring, yang kerap dikenal dengan istilah cyberbullying.
SNPHAR keluaran Kemenppa memetakan beberapa hal yang termasuk ke dalam cyberbullying, di antaranya menerima pesan yang mengolok-olok dan diambil foto/video yang tidak pantas lalu disebarkan secara online.
Berdasarkan kedua jenis tersebut, anak perempuan usia 13 – 17 tahun diketahui lebih banyak mengalami cyberbullying berupa menerima pesan olokan, sementara anak laki-laki dengan kelompok usia yang sama lebih banyak menghadapi cyberbullying berupa diambil foto/video yang tidak pantas dan disebarkan secara daring.
Persentase anak perempuan dan laki-laki yang mengalami perundungan dalam bentuk pesan yang mengolok-olok masing-masing sebesar 9,72 persen dan 8,12 persen.
Sementara itu, pada jenis cyberbullying berupa diambil foto/video yang tidak pantas dan disebarkan secara daring, persentase anak laki-laki yang mengalaminya mencapai 4,01 persen dan anak perempuan sebesar 3,8 persen.
UNICEF menyebut langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menjaga keamanan anak dari perundungan adalah dengan memastikan mereka mengetahui isu ini. Orang tua perlu berbagi pengetahuan soal perundungan kepada anak, dan membiasakan untuk berdiskusi secara terbuka dengan anak mengenai perundungan.
Orang tua juga sebaiknya menanyakan setiap hari apa saja aktivitas anak selama di sekolah dan selama bermain media sosial. Tak hanya soal aktivitas, penting juga untuk menanyakan terkait perasaan kepada anak.
Editor: Rachmadin Ismail