Menuju konten utama
Wawancara Khusus

Perundungan & Bunuh Diri Anak, Dampak Menu Kekerasan Sehari-hari

Anak pelaku kekerasan maupun mereka yang melakukan bunuha diri adalah korban kekerasan yang tak tertangani dengan baik.

Perundungan & Bunuh Diri Anak, Dampak Menu Kekerasan Sehari-hari
Header Wansus Jasra Putra. tirto.id/Tino

tirto.id - Beredar video di media sosial, berdurasi 4 menit 14 detik, ada seorang siswa SMP Negeri 2 Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dianiaya oleh kawannya. Ia dipukul, ditendang, diinjak. Meski ada beberapa siswa lain di sana, mereka membiarkan hal itu terjadi.

Jajajran Polresta Cilacap bergerak mengusut perkara itu, hasilnya penyidik menetapkan MK (15) dan WS (14) sebagai tersangka karena menganiaya FF (14). Motif pelaku yakni karena korban mengaku sebagai anggota geng “Basis”.

Pelaku yang benar merupakan anggota kelompok itu tak terima, mulai tersinggung, kemudian merundung korban. Lalu beredar kembali video kekerasan serupa di lokasi yang sama yakni di lapangan voli Desa Negarajati. Lagi, siswa SMP menganiaya rekan sesamanya; kali ini beda pelaku dan korban, namun rundung tetap jadi inti masalah.

Kejutan lain yang dilakukan oleh pelajar tak hanya itu, September tahun ini menyimpan duka bagi anak sekolah. Kali ini Ibu Kota jadi tempatnya: SR, seorang siswi SDN Petukangan Utara, Jakarta Selatan, melompat dari lantai empat gedung sekolahnya. Polisi masih mencari motif peristiwa.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra berpendapat tentang fenomena ini dalam wawancara bersama Tirto, Rabu (18/10/2023).

Bagaimana KPAI menganalisis perihal perundungan anak dan potensi bunuh diri anak?

Kekerasan di dunia anak, adalah sebuah pemicu, karena kekecewaan atas hambatan tumbuh kembang yang tidak terfasilitasi dengan baik, kemudian direbut pihak lain, yang menawarkan secara tidak bertanggung jawab

Jika publik bertanya, kenapa sampai memilih bunuh diri atau menyakiti orang lain? Sebenarnya itu hanya puncak ‘dari masalah’ karena tidak tertangani dengan baik. Karena itu, saya selalu menyebut, anak menjadi pelaku kekerasan, atau pelaku penyiksaan terhadap dirinya sendiri adalah masalah puncak, dari yang sebelumnya tidak tertangani baik, “masalah itu” tidak terdeteksi sejak awal.

Kami menemukan saat menjadi tumpukan masalah. Tanda tumpukan masalah itu apa? Saat mereka bisa menyiksa orang lain dan menyiksa dirinya sendiri. Justru yang harus ditakutkan adalah fenomena sekarang, bagaimana orang memilih mati, yaitu mengajak orang lain mati, menyiksa diri sendiri sampai mati.

Kenapa itu terjadi? Karena masalah perundungan yang tidak pernah menyelesaikan sampai ke akarnya, membiarkan perundungan ‘hal biasa’, tidak ada yang memfilter apa itu kekerasan. Karena semua disampaikan tanpa rasa melalui sosial media.

Ketika anak--anak kita menertawakan kekerasan di sosial media mereka, ketika terbiasa menyelesaikan dengan cara kekerasan di depan mata anak, ketika dalam gim biasa melihat darah sebagai penyelesaian. Semuanya menjadi trigger kekerasan.

Maka di masa depan, kejahatan tidak memerlukan apa pun, baik motif dan modus. Mereka bergerak liar tanpa alasan dalam menyerang atau membunuh lawan. Soal terjadi pencurian, perampokan, dan pembakaran itu hanya alat pemicu untuk menyalurkan masalah kejiwaan. Semuanya terjadi tanpa alasan yang kuat, karena sudah tertanam. Inilah yang bisa rasional, menjawab fenomena kekerasan dan bunuh diri hari ini.

Kalau ditarik ke belakang, apa penyebab anak-anak melakukan perundungan?

Anak adalah generasi peniru yang ulung, bukan pendengar yang baik. Tidak ada anak yang jahat, yang ada adalah anak berada dalam perlakuan salah, tidak mendapatkan dukungan yang maksimal dalam tumbuh kembangnya. Sehingga anak dalam penguasaan pihak lain, yang tak pernah disadarinya. Anak ditempatkan dalam situasi yang memaksa dirinya berbuat merugikan orang lain.

Seringkali ada pertanyaan, "kenapa anakku melakukan ini?" Padahal sebenarnya menu kekerasan sudah menjadi makanan sehari-hari. Dari sinilah lahir anak anak yang terbiasa menggunakan kekerasan sebagai jalan penyelesaian. Karena anak secara fisik mudah dikuasai, secara pemikiran atau pemahamannya mudah dibelokkan, dan secara emosi mudah diprovokasi. Sehingga belum stabil dan butuh figur.

Namun wajah figur di jaman teknologi internet ini bisa berbentuk apa saja; yang membuat anak mengikutinya, yang dampaknya bisa dalam berbagai bentuk yang merugikan tumbuh kembang anak ketika tidak ada pengawasan.

Dalam pemantauan KPAI, umumnya anak pelaku perundungan dalam satu kelas atau satu komunitas, sebenarnya adalah hanya satu anak. Namun ia mengajak anak yang lain. Di sini situasi seringkali jadi sulit dikendalikan, karena emosi dan amarah mudah ditularkan.

Situasi satu kondisi anak dalam keluarga inilah, yang seharusnya sejak awal dapat tergambarkan. Tapi masih sedikit tempat yang sadar soal ini, padahal jadi kunci menekan perundungan.

Berbagai kasus perundungan yang terjadi, umumnya diselesaikan dalam ranah privat, karena merasa perundungan bukan menjadi bagian urusannya, sehingga dianggap tidak ada.

Dari korban perundungan tersebut, beberapa terkuak ada yang sampai bunuh diri. Apa penyebab seorang anak sampai punya keinginan untuk mengakhiri hidupnya?

Dalam laporan KPAI, keinginan anak untuk mengakhiri hidup adalah persoalan paling terbelakang dari pendidikan anak. Bila saja para pengawas pendidikan mau mengecek kembali anak yang jarang masuk sekolah atau keluar dari sekolah. Maka akan terungkap datanya.

Karena persoalan gangguan mental berkepanjangan yang terjadi, seringkali menjadi persoalan paling tertinggal. Sehingga menempatkan anak pada situasi yang semakin tidak layak. Sehingga ada problem di sekolah, keluarga dan lingkungan untuk menangani.

Dalam pertemuan KPAI dengan Menteri Kesehatan, terungkap anak-anak dalam penanganan soal kejiwaan, sering kali sangat telat di layanan berbagai pendidikan dan layanan serupa, karena sudah menjadi depresi dan skizofrenia.

Data di rumah sakit dan layanan pemulasaran jenazah, mungkin bisa bicara banyak tentang anak anak yang meninggal karena masalah gangguan kejiwaan.

Dengan Kemendikbud Ristek menyatakan 1 dari 3 anak mendapatkan perundungan, sebenarnya tidak ada anak yang terbebas dari ancaman kekerasan. Karena kita bicara layanan pendidikan, maka anak akan berpotensi mendapat perundungan selama ia menempuh pendidikan.

Lingkungan yang tidak berubah ini akan terus membawa anak dalam perundungan berkepanjangan, mengakibatkan kehampaan fungsi sosial, anak tidak mengenal jiwanya, dan berpindah tempat dari keluarga dan sekolah. Yang berujung problematika eksistensi, yang membuat anak tidak kuat dan muncul keinginan mengakhiri hidup.

Ternyata mendata kekerasan seperti puncak gunung es. Orang sering bicara di permukaan, hanya menggambarkan sedikit, tapi di lembahnya datanya luar biasa menganga. Saya kira situasi sekarang sudah lebih dari itu, sudah menjadi tsunami kekerasan, Karena derasnya media internet mampu menembus dan mengawasi setiap peristiwa.

Apakah berbeda dengan masa lalu sebelum adanya internet? Tentu semakin meningkat di masa teknologi informasi, ketika anak biasa menertawakan kekerasan dalam menonton berbagai produksi sosial media. Yang sebenarnya ketika itu kemudian dipraktikkan oleh anak, menjadi bahasa sehari-hari mereka, ternyata menggerogoti jiwa.

Kasus-kasus ini seperti fenomena puncak gunung es, bagaimana keluarga dan pemerintah dapat melenyapkan permasalahan tersebut?

Pertama, tentu peran keluarga dan pemerintah sangat krusial, tidak bisa lepas tanggung jawab. Karena keluarga adalah tempat mereka berasal. Lalu ketika keluarga tidak bisa, maka pemerintah yang harus memastikan sistem pengasuhan keluarga tetap berlangsung.

Maka KPAI selalu mengajak semua menyadari. Ketika semua merasa mampu mengasuh, mengawasi, memberi yang terbaik bagi anak itu semua terjadi karena di depan mata, di dalam penguasaan kita. Tapi sadarkah dari semua 24 jam lebih banyak peran itu juga dijalankan pihak lain. Boleh dibilang, ketika di depan mata kita maka pengasuhan itu ada, tapi ketika berada di depan mata orang lain, siapa yang memastikan sama?

Kedua, apakah kita bisa menolak kemajuan zaman, tentu tidak. Anak-anak disasar, ditarget, dalam keuntungan industri yang menggunakan jalan tidak bertanggung jawab, yang berdampak kepada anak melakukan kekerasan.

Ketiga, kalau permasalahan ini mau dilenyapkan maka sejauh mana kita berbagi peran untuk memastikan kondisi anak ketika terlepas dari pengawasan orang tua? Sejauh mana pengawasan kepada orang-orang yang menggantikan peran kita?

Maka katakan butuh payung sistem kebijakan, tidak cukup hanya Undang-Undang Perlindungan Anak, tetapi harus ada Undang-Undang Pengasuhan Anak. UU Perlindungan Anak bicara hak anak dalam pengasuhan, tentu sudah dijalani orang tua. Ketika orang tua melepas tanggung jawab pengasuhan anak atau orang tua tidak mampu mengasuh, siapa yang bisa memastikannya?

Ketika anak bersekolah, tetapi secara jiwa sudah meninggalkan sekolah, rumah dan lingkungan, maka kita tidak bisa hanya memenuhi hak Pendidikan secara bisnis sekolah, akreditasi, fasilitas. Kenapa? Karena secara bersamaan hak pendidikan itu juga menjalankan hak pengasuhan.

Pengasuhan anak yang saya maksud adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik anak yang dilaksanakan oleh orang tua, keluarga sedarah, orang tua asuh, wali, orang tua angkat, lembaga pengasuhan, dan pihak lain termasuk perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran.

Kita tahu ketika anak mengalami gangguan perilaku, hambatan perilaku, kita melakukan pendekatan teknis dengan pelibatan profesi tertentu. Sayangnya pelibatan ini ketika anak sudah menjadi korban. Bukan sejak awal profesi ini terlibat, dalam memastikan pengasuhan terbaik juga ada di sekolah, di kantor polisi, di lapas, dan lainnya.

Indonesia punya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak, tapi tidak komperhensif; punya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 38a, yang berujung ada pengasuhan dalam lembaga. Inilah yang menjadi asal pembagian peran pengasuhan, namun tidak disadari semua pihak. Sehingga harus berujung lembaga yang melakukan.

RPJMN Indonesia sebenarnya bicara target Ketahanan Keluarga dalam tahun 2024. Tapi bagaimana mengoperasional ini, kita lebih sering terjebak pada masalah ekonomi. Akhirnya ketahanan keluarga didekati dengan pendekatan ekonomi. Padahal ada yang lebih jauh dari itu, ketika anak tidak tertangani, ada masalah mental yang berlarut, siapa yang bisa memastikan itu? Ya, RUU Pengasuhan Anak.

Jika upaya preventif belum dinilai cukup mengantisipasi masalah, apakah perlu ada penegakan hukum sesuai undang-undang demi menjerakan pelaku? Apakah penegakan hukum efektif sebagai cara utama pengendalian masalah?

Tentu saja sebagai negara hukum, semua punya ukuran secara tegas. Bahwa kebebasan kita, berbatas, dengan kebebasan orang lain. Ada HAM semua orang, termasuk anak.

Anak yang berkonflik dengan hukum, tentu akan berhadapan dengan hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa dalam menghadapai pelaku anak, negara juga memberi efek jera, menjalani pidana, adanya program rehabilitasi, yang bertujuan tidak adanya pengulangan.

Yang di dalamnya tentu, program yang membawa efek jera, menjalani masa pidana, harus edukatif, rehabilitatif, habilitatif (memampukan kembali), sehingga berdampak, nyambung, sesuai, dengan maksud, agar anak tidak melakukan pengulangan perbuatan.

Terlebih lagi, di ujung sana, ketika anak dikembalikan, apakah keluarga, sekolah dan lingkungan telah berubah dan sudah siap? Ini yang jadi tugas bersama, memastikan itu. Karena jika tidak, hanya akan menjadi pengulangan.

Ada 2 lembaga yang diamanahi Kemenkumham dalam pengananan masa pidana anak untuk yang berkonflik dengan hukum, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Bahwa anak yang berada di area ini, adalah mereka yang dalam puncak masalah, karena masalah masalah sebelumnya yang tidak tertangani. Sehingga memang para pendamping di sana, mengajak anak melawan stigma; berarti ada persoalan mental anak yang harus dipulihkan.

Bagaimana memaksimalkan peran KPAI dalam mewujudkan dunia anak bebas perundungan dan potensi bunuh diri?

Berbagai pihak seperti Wantimpres, presiden, wapres, Ketua DPR, Ketua MPR, para menteri, LSM, aktivis anak dan para pendamping anak, terus diberitakan meminta peran KPAI dalam mengatasi perundungan, kekerasan, pernikahan dini, pekerja anak, menurunkan prevalensi perokok anak, menurunkan angka stunting, anak yang mudah masuk bekerja prostitusi, dan lain lain. Saya kira banyak sorotan berbagai pihak kepada kinerja kpai

Terakhir kami diajak berdiskusi dengan Wapres soal penguatan kelembagaan KPAI. Begitu juga Wantimpres memberi dukungan kepada penguatan kelembagaan KPAI; Ketua MPR meminta KPAI masuk langsung di keluarga dalam mencegah dari hulu.

Namun memang kami berhadapan juga dengan efektifitas penanganan yaitu KPAI diminta mulai telaah, mengkaji, memanggil para pihak, menyiapkan lembaga terbaik untuk rujukan, kemudian memastikan kebijakan dan hak mereka tidak terabaikan. Hanya memang ketika sudah dirujuk, kami berhadapan dengan infrastruktur, SDM, kecepatan respons, program jangka panjang dalam penanganan, yang kami tahu tidak mudah di lapangan.

Dalam KPAI terjun ke lapangan, hampir semua lembaga rehab yang diselenggarakan pemerintah masih belum bisa memastikan tuntas penanganan. Untuk itulah kebutuhan ini terus kami petakan.

Perlukah satgas khusus terkait kekerasan dalam ranah pendidikan?

Saya kira pasca revisi Permendikbud tentang penanganan kekerasan di satuan pendidikan yang ditandatangani Kemendikbud, Kemenag, Kapolri, termasuk KPAI, dunia pendidikan ada kemajuan dalam merespons cepat berbagai jenis kekerasan secara langsung, ranah daring, dan kekerasan berbasis menggunakan kebijakan.

Apakah perlu Satgas? Tentu iya. Dalam regulasi penanganan kekerasan yang dikeluarkan Kemendikbud, Kemenag, menekankan adanya gugus tugas, manajemen kasus dan manajemen rujukan.

Saya berharap ini dapat berjalan efektif, setelah pengesahan pada 2023. Berdasar pengalaman kasus-kasus anak yang terjadi, seringkali KPAI menemukan gugus tugasnya ada, banyak dibentuk dalam masyarakat. Tapi tidak ditunjang infrastruktur, SDM dan anggaran yang kuat.

Hal ini juga terjadi karena kebijakan penyelenggaraan perlindungan anak belum berpihak kepada pemenuhan anggaran untuk perlindungan khusus anak (gizi jiwa). Kami berharap gugus tugas yang dibangun perlu perspektif, menjadi program jangka panjang bertingkat dalam setiap jenjang pendidikan anak. Sehingga menjadi program bersambung dan anak terus pulih.

Baca juga artikel terkait PERUNDUNGAN ANAK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri