Menuju konten utama

Menimbang Manfaat & Mudarat Sistem BPJS Berbasis Kompetensi

Rencana rujukan BPJS berbasis kompetensi dinilai bisa mempercepat layanan dan hemat biaya, tapi berisiko menumpuk pasien dan memperlebar ketimpangan daerah.

Menimbang Manfaat & Mudarat Sistem BPJS Berbasis Kompetensi
Petugas melayani warga peserta program BPJS Kesehatan di Kantor BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (21/10/2025).ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

tirto.id - Rio–bukan nama sebenarnya (30), menyambut baik rencana pemerintah mengubah sistem rujukan layanan kesehatan BPJS. Meski mengaku hampir tak pernah menjumpai kendala, ia mengatakan perubahan sistem rujukan menjadi berbasis kompetensi akan semakin baik dan memudahkan masyarakat.

Ia bercerita, sepanjang pengalaman keluarganya memanfaatkan BPJS untuk memperoleh layanan kesehatan, semua berjalan lancar. Pada periode 2022-2023 misalnya, ibu, adik, dan ayahnya sempat mengalami musibah secara berdekatan.

Ibunya sempat mengalami batu ginjal, sementara adiknya mengalami kecelakaan ketika bermain futsal hingga jarinya bengkok. Namun, ketika dibawa ke klinik, mereka cepat ditangani dan langsung mendapat rujukan ke rumah sakit (RS) yang melakukan tindakan.

“[Adik] sempat ke klinik dulu. Ke klinik juga minta cepat. Pokoknya bisa lah, asal komunikasi bagus ya, agak sopan. Sopan minta ke klinik, ‘boleh nggak ini duluan? Soalnya ini sakit banget,’ gitu. Langsung diarahkan ke rumah sakit yang bisa langsung pasang pen itu tadi. Dan langsung ditindak,” cerita laki-laki yang berdomisili di Batam, Kepulauan Riau tersebut, Jumat (14/11/2025).

Meski kemudian harus mengantre berjam-jam di IGD untuk menunggu operasi, Rio merasa, hal itu wajar terjadi. Mengingat, sepengetahuannya dokter yang melakukan tindakan pun tak berhenti bekerja saat itu.

“Ya antre sih, karena memang sehari tuh ada 10 tindakan kan. Jadi di IGD dulu nunggu sampe 8 jam gitu nunggu. Karena dokternya juga nggak berhenti kerja ya. Memang operasi banyak gitu kan. Nunggu. Terus gitu aja sih. Sisanya ya alhamdulillah, pokoknya dilancarkan lah,” lanjut Rio mengisahkan pengalaman mendampingi adiknya.

Header BPJS Kesehatan 21

Samsidar (42), warga Kecamatan Trumon Timur Peserta JKN di Aceh Selatan. FOTO/Dok. BPJS

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang berencana mengubah sistem rujukan layanan kesehatan dari berjenjang menjadi berbasis kompetensi. Perubahan ini dilakukan agar pasien secara langsung bisa menerima penanganan medis sesuai dengan kondisi kesehatannya.

Sampai saat ini, sistem rujukan BPJS berlangsung berjenjang. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan mekanisme seperti itu sering kali menyebabkan pemborosan biaya dan memperlambat penanganan pasien, terutama bagi kasus-kasus yang membutuhkan layanan dengan tingkat keahlian tertentu.

“Kita akan ubah rujukannya berbasis kompetensi, supaya menghemat BPJS juga,” kata Budi saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, dinukil dari Antara, Kamis (13/11/2025).

Ia mencontohkan pasien dengan kondisi darurat seperti serangan jantung yang membutuhkan penanganan cepat. Para pasien sering kali harus melewati beberapa tahapan rujukan mulai dari puskesmas, rumah sakit tipe C, lalu tipe B, sebelum akhirnya ditangani di rumah sakit tipe A.

“Padahal yang bisa melakukannya sudah jelas tipe A. Tipe C, tipe B tidak mungkin bisa tangani. Harusnya dengan demikian BPJS tidak usah keluar uang tiga kali. Dia [rujukan] keluarnya sekali saja, langsung dinaikin ke yang paling atas (RS tipe A),” ujar Budi.

Dengan sistem berbasis kompetensi, dia menjelaskan pasien akan langsung diarahkan ke rumah sakit yang memiliki kemampuan dan peralatan sesuai dengan hasil pemeriksaan awal.

“Dari masyarakat juga lebih senang. Tidak usah dia rujuk itu tiga kali lipat, keburu wafat nanti dia kan. Lebih baik dia langsung dikasih ke tempat di mana dia bisa dilayani sesuai dengan anamnesis awalnya,” kata Budi.

Hemat Ongkos BPJS dan Selaras dengan Prinsip JKN?

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, wacana perubahan ini sebagai langkah yang baik, dalam artian bisa memastikan akses pelayanan kesehatan bisa lebih layak, cepat dan mudah.

“Cepat dan berkualitas. Kalau selama ini kan tipe C dulu, formalitas aja satu hari. Terus dirujuk ke rumah sakit tipe B. Kan pasien kasian gitu. Untuk mendapatkan kecepatan dan kualitas pelayanan yang baik, itu bagus menurut saya,” ujar Timboel lewat percakapan telepon, Jumat (14/11/2025).

Timboel menjelaskan, dari sisi keuangan BPJS, skema kompetensi ini pun bakal mengurangi ongkos. Mengingat ketika pasien dirujuk ke RS tipe C kemudian tipe B, maka biaya yang dikeluarkan pun mesti berkali-kali.

Nah, itu dari BPJS pembiayaannya akan semakin lebih baik, kan gitu. Tidak banyak yang dibayarin. RS juga bisa lebih meningkatkan kompetensinya. Kalau dia nggak bisa ngapa-ngapain ya ditinggal gitu. Jadi ini untuk memastikan faskes itu menjadi faskes yang layak,” kata Timboel.

Ini sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 34 ayat (3), yang berbunyi: "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak."

Meski demikian, Timboel mengingatkan soal aspek implementasi. Agar wacana ini tidak hanya berhenti pada level regulasi. Ia sendiri mewanti-untuk adanya penumpukan di RS tertentu imbas penggunaan sistem rujukan BPJS berbasis kompetensi.

Nah, sekarang misi pelaksanaannya. Puskesmas itu kan juga masih misalnya ‘oh langsung ke tipe B cocok nih’. Masuk ke rumah sakit tipe B. Tapi kecenderungannya ke rumah sakit pemerintah daerah, semuanya di situ. Sementara di situ dokternya juga punya keterbatasan waktu untuk praktek,” ujar Timboel.

Peserta JKN capai 264 juta jiwa

Warga mengurus layanan kesehatan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (6/10/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

Model berjenjang secara operasional memang terbukti memperlambat intervensi pada kasus dengan risiko tinggi. Beberapa kasus pengguna BPJS beberapa waktu terakhir juga dilaporkan mengalami masalah dan keterlambatan penanganan, salah satunya dialami para pasien DBD di Jawa Timur.

Sekira Mei lalu, sejumlah pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) dilaporkan mengalami penolakan penanganan oleh Rumah Sakit (RS) lantaran dianggap, “tidak gawat” dan tidak ditanggung BPJS Kesehatan.

Mantan Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Dicky Budiman, beranggapan percepatan rujukan menjadi penting. Sebab, setiap menit menentukan keselamatan pasien. Senada dengan Timboel, Dicky menilai, kelebihan utama dari sistem kompetensi juga mengurangi pemborosan biaya BPJS.

“Dengan model kompetensi ini, maka klaim dikeluarkan sekali untuk kasus yang tepat. Ini kan sejalan dengan logika value-based care ya. Jadi biaya tepat untuk kasus tepat di fasilitas yang tepat,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (14/11/2025).

Di lain sisi, Dicky juga menyebut keuntungan dari kebijakan ini adalah lebih rasional secara klinis dan lebih konsisten dengan prinsip JKN. Karena fokus JKN merupakan continuity of care (kontinuitas perawatan) dan efektivitas layanan, alih-alih route-based referral atau rujukan dari bawah.

Risiko Ketimpangan di Daerah 3T

Kendati menganggap sistem kompetensi merupakan langkah tepat, Dicky menilai skema ini tak lantas otomatis menangani masalah lambannya penanganan pasien BPJS. Apalagi, jika sejumlah prasyarat tidak dipenuhi.

Syarat pertama yaitu standarisasi kompetensi dan kapasitas rumah sakit yang jelas, transparan dan real time. Selain itu, sistem informasi rujukan yang real time dan akurat itu mesti terintegrasi dengan BPJS dan seluruh rumah sakit.

Terakhir, penguatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) pun mesti dilakukan, sebagai clinical gatekeeper yang benar-benar mampu melakukan triase awal berbasis kompetensi. Menurut Dicky, tanpa tiga hal ini, perubahan kebijakan justru berpotensi menciptakan dokumen rujukan yang semakin membingungkan.

“Tumpang tindih kapasitas rumah sakit, rebutan pasien rujukan, dan bottleneck di rumah sakit besar. Ini harus disadari, dimitigasi. Apakah fasilitas kesehatan dalam hal ini FKTP dan rumah sakit sudah siap? SDM-nya, infrastrukturnya, dan kompetensinya? Jawaban jujurnya, ya kondisinya sangat bervariasi dan belum sepenuhnya siap,” katanya.

Dicky mencontohkan di level FKTP seperti puskesmas dan klinik, Banyak FKTP masih minim dokter tetap dan didominasi oleh nakes kontrak dengan beban administrasi tinggi. Padahal, keberhasilan rujukan berbasis kompetensi bergantung pada kualitas awal asesmen di fasilitas tingkat awal.

TARGET PROGRAM JKN

Petugas kesehatan memeriksa seorang warga peserta BPJS Kesehatan di Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/11/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/hp.

Belum siapnya FKTP juga dikatakan Dicky terjadi karena minimnya peralatan penunjang untuk menilai kompleksitas penyakit. Elektrokardiogram (EKG) untuk merekam aktivitas listrik jantung misalnya, di beberapa layanan tidak terbaca otomatis, kemudian USG terbatas dan laboratorium pun minim.

Nah, bagaimana di rumah sakit tipe C atau B? Sebagian sudah siap, tapi banyak yang berpotensi kehilangan load kasus non-kompetensinya. Jadi, tantangannya banyak rumah sakit tipe C mengandalkan kasus borderline untuk revenue. Bila pasien langsung ke tipe A, kan pendapatannya bisa turun. Ini risiko kesulitan operasional untuk rumah sakit tipe C,” ujar pengajar kebijakan kesehatan dari Global Griffith University dan YARSI tersebut.

Meski rumah sakit tipe A paling siap secara kompetensi, Dicky mengatakan, di sisi lain mereka berisiko overload. Jika rujukan ini tidak dikendalikan secara ketat, maka rumah sakit tipe A bisa mengalami antrean lebih panjang.

Dicky juga menyoroti daerah 3T alias tertinggal, terdepan dan terluar. Dengan skema kompetensi, daerah 3T dikatakan menjadi wilayah paling tertekan. Karena banyak layanan kompetensi tinggi hanya tersedia di kota besar.

“Tanpa investasi perencanaan kesehatan berbasis kebutuhan, sistem ini akan timpang. Jadi harus ada health need assessment,” tegas Dicky.

Jika melongok data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 saja, masih banyak daerah di luar Pulau Jawa yang hanya memiliki RS khusus di bawah lima unit, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan data dari situs Konsil Kedokteran Indonesia per September 2023, sebanyak 169.708 dokter dari seluruh Indonesia terdaftar dalam register, di mana Pulau Jawa juga menjadi wilayah dengan jumlah dokter paling banyak. Masih banyak provinsi di Indonesia memiliki jumlah dokter kurang dari 10 ribu orang.

Baca juga artikel terkait BPJS atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto