Menuju konten utama

Di Balik Masalah Penanganan DBD dengan BPJS Kesehatan

Kejadian di Jawa Timur tidak boleh terulang dan pemerintah harus melihat adanya persoalan claim dispute.

Di Balik Masalah Penanganan DBD dengan BPJS Kesehatan
Marak terjadi penipuan dengan modus mengggunakan nama BPJS Kesehatan kemudian kroban diminta uang. Peserta BPJS Kesehatan diminta waspada. Antara/Frislidia. Marak terjadi penipuan dengan modus mengggunakan nama BPJS Kesehatan kemudian kroban diminta uang. Peserta BPJS Kesehatan diminta waspada. Antara/Frislidia.

tirto.id - Sejumlah pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Timur dilaporkan mengalami penolakan penanganan oleh Rumah Sakit (RS) lantaran dianggap “tidak gawat” dan tidak ditanggung BPJS Kesehatan.

Keluhan ini tak cuman dilontarkan satu-dua warga, tapi diduga mencapai ratusan. Masalah utamanya diduga adalah aturan baru BPJS Kesehatan, yang mensyaratkan DBD harus ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), salah satunya puskesmas.

Sebanyak 144 penyakit—termasuk DBD, disebut merupakan kompetensi wajib bagi dokter di FKTP. Tapi, bukan berarti tak bisa dirujuk ke RS, menurut informasi dari pihak BPJS Kesehatan, pasien DBD yang memerlukan tindakan lanjutan “berdasarkan evaluasi medis” bisa dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, sebelumnya memastikan bahwa layanan kesehatan bagi penderita DBD sepenuhnya dijamin dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ia menjelaskan kalau peserta JKN yang mengalami gejala DBD dapat langsung mengakses layanan di FKTP tempat mereka terdaftar. Di sana, peserta akan mendapatkan pemeriksaan, pengobatan, serta layanan penunjang.

"Seluruh proses rujukan dilaksanakan berdasarkan indikasi medis dan kondisi klinis pasien, bukan semata-mata ditentukan oleh jenis penyakit, atau permintaan langsung dari peserta/keluarga. Termasuk penjaminan bagi pasien DBD yang sampai saat ini masih banyak yang keliru dalam memahami alur pelayanannya, dan beranggapan diagnosis tersebut tidak dapat dirujuk ke rumah sakit,” terang Rizzky.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan semata ditentukan oleh BPJS Kesehatan, melainkan mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), sebagaimana tercantum dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012.

Penanganannya juga mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/1186/2022 dan HK.01.07/Menkes/1936/2022, serta Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) terkait infeksi dengue untuk anak dan dewasa.

Rizzky menjelaskan kalau “dalam keadaan darurat”, peserta JKN dapat langsung mengakses layanan di instalasi gawat darurat rumah sakit terdekat, baik yang bermitra maupun belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Status gawat darurat ini dinilai oleh dokter sesuai Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018.

Polemik Penentuan Status Gawat Darurat

Sebagai informasi, DBD merupakan penyakit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk bernama Aedes aegypti. Menukil informasi dari laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyakit ini masih menjadi salah satu isu kesehatan masyarakat di Tanah Air dan tingkat penyebarannya di Indonesia termasuk yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara.

Kasus DBD di Indoensia

Dokter memeriksa pasien demam berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit Islam Sunan Kudus, Kudus, Jawa Tengah, Jumat (8/3/2024). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nym.

Gejala utama penyakit DBD di antaranya demam mendadak yang tinggi, mencapai suhu hingga 39 derajat celcius. Demam ini berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, kemudian turun dengan cepat.

Gejala lain yang biasanya terjadi juga meliputi nyeri kepala, menggigil, lemas, nyeri di belakang mata, otot, dan tulang, ruam kulit kemerahan, kesulitan menelan makanan dan minuman, mual, muntah, gusi berdarah, mimisan, timbul bintik-bintik merah pada kulit, muntah darah, dan buang air besar berwarna hitam.

Hingga Mei ini, Kemenkes mencatat lebih dari 56 ribu kasus DBD dan 250 kematian. Tahun 2024 tercatat jadi puncak jumlah kasus DBD di Indonesia, dengan lebih dari 1.400 kematian.

Meski kasus DBD memang dijamin oleh JKN, Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai masih sering adanya perselisihan antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit terkait kategori gawat darurat. Kriteria ini didasarkan pada angka-angka dan tidak memperhatikan ketahanan setiap individu.

“Kalau demam berdarah itu kan dia di bawah trombosit di bawah 100 ribu itu kan gawat darurat. Panasnya 40 derajat gitu ya. Tapi kan di 110 dengan 38-39 derajat panas, itu kan ada orang juga yang udah menggigil, udah gak kuat gitu. Nah, ditangani sama rumah sakit, ditanya, berapa ininya, ininya, oh belum masuk gawat darurat. Itu artinya pending claim, dispute claim itu klaim yang berselisih itu akhirnya menjadi masalah,” ujar Timboel saat dihubungi Tirto lewat sambungan telepon, Selasa (27/5/2025).

Claim dispute sendiri merupakan ketidaksepakatan yang terjadi antara BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehatan atas klaim pelayanan. Prosedur klaim dimulai dari pengajuan klaim oleh rumah sakit, pengajuan tersebut kemudian diverifikasi oleh BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Pada saat proses verifikasi itulah dispute terjadi. Di titik itu, rumah sakit harus melakukan perbaikan terhadap kelengkapan syarat yang dipersyaratkan dan diverifikasi kembali oleh BPJS Kesehatan.

Masalahnya, merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menurut Timboel, salah satu asas RS adalah keselamatan pasien dan RS tidak boleh menolak pasien.

Upaya pencegahan kasus demam berdarah di Aceh

Petugas melakukan pengasapan di desa Gampong Mulia, kota Banda Aceh, Aceh, Rabu (22/1/2025). ANTARA FOTO/Ampelsa/agr

Pasal 174 ayat (2) aturan itu berbunyi bahwa dalam kondisi gawat darurat, fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka serta dilarang mendahulukan segala urusan administratif sehingga menyebabkan tertundanya pelayanan kesehatan.

“Nah, jadi kalau pun ada demam berdarah yang memang trombositnya cenderung turun, ditangani, terus dirawat. Kalau dia dites dua kali, trombosit sudah naik, dia boleh pulang, kan gitu. Jadi, masalahnya sekarang kan rumah sakit terlalu khawatir gitu. Nah, sehingga dia membiarkan, udah belum masuk gawat darurat, pulang aja. Padahal tuh pasien udah dalam kondisi, dan akhirnya kan ada tiga orang mati kan,” sambung Timboel.

Ia menegaskan bahwa kejadian di Jawa Timur tidak boleh terulang dan pemerintah harus melihat adanya persoalan claim dispute. Sebab, jika tidak dicari jalan keluarnya, RS jadi tidak mau merawat pasien DBD yang “tidak masuk kategori gawat darurat”, lantaran takut klaimnya ditolak BPJS Kesehatan.

“Nah, rumah sakit nggak berani menggugat. Sebenernya, kan itu masuk ke ranah gugatan perdata. Bisa. Karena apa? Karena pasal 11 huruf D dan E undang-undang BPJS, si BPJS bisa memutus kontrak. Rumah sakit takut. Misalnya di rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta ya. Ketika dia nge-gas nih. Wah, gue pengen menggugat, blablabla. Besok mungkin kredensialnya dibuat tak berhak, nggak layak,” ujar Timboel.

Sementara Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat (Rokomyanmas) Kemenkes, Aji Muhawarman, mengatakan kalau kegawatdaruratan medis adalah kondisi keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitas/kecacatan.

Disabilitas yang dimaksud bisa berupa gangguan pada jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, penurunan kesadaran, gangguan hemodinamik dan atau kondisi lainnya yang memerlukan tindakan segera. Penilaian kondisi gawat darurat ini disebut Aji dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

“Fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, RS) wajib memberikan pelayanan bagi orang dengan kondisi gawat darurat. Dalam konteks DBD sepanjang bisa ditangani di fasyankes tingkat pertama seperti puskesmas maka akan ditangani di sana kecuali dalam kondisi yg perlu dirujuk ke faskes lanjutan seperti RS,” ungkap Aji, lewat keterangan tertulis, Selasa (27/5/2025).

Tantangan Penanganan DBD di FKTP

Selain adanya penolakan RS lantaran kasus DBD pada seorang pasien dianggap tidak gawat darurat, pengamat kebijakan kesehatan sekaligus peneliti Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan adanya kemungkinan lain seperti ketidaktahuan petugas tentang kriteria medis atau RS membatasi penerimaan karena kuota atau klaim BPJS yang menumpuk.

Artinya, perlu solusi dalam kondisi seperti ini. Penguatan sistem informasi rujukan dan literasi untuk petugas medis dan administrasi dengan demikian perlu dilakukan. Kasus-kasus di Jawa Timur seperti ini dinilai Dicky seharusnya semakin menyadarkan tentang pentingnya peningkatan literasi peserta JKN.

“Dan teams case atau BPJS ini perlu sekali melakukan pengawasan berkala terpadu terkait kepatuhan faskes terhadap regulasi JKN ini,” kata Dicky yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, kepada Tirto, Selasa (28/5/2025).

BPJS Kesehatan

Marak terjadi penipuan dengan modus mengggunakan nama BPJS Kesehatan kemudian kroban diminta uang. Peserta BPJS Kesehatan diminta waspada. Antara/Frislidia.Marak terjadi penipuan dengan modus mengggunakan nama BPJS Kesehatan kemudian kroban diminta uang. Peserta BPJS Kesehatan diminta waspada. Antara/Frislidia.

Dengan adanya aturan FKTP diutamakan untuk menangani pasien DBD, maka pelayanan kesehatan tingkat pertama ini pun harus dioptimalkan. Sebab, tidak jarang, pasien justru menjumpai puskesmas tutup lebih cepat. Terbatasnya jam layanan FKTP ini tentu menjadi tantangan.

“Sementara kita tahu penyakit DBD ini dapat memburuk dengan cepat. Sebagai contoh ya dari demam hari ketiga ke fase shock itu bisa bisa cepat. Ada juga stigma rujuk cepat ya di FKTP karena takut menangani kasus borderline berat. Jadi ada ketakutan. Nah, yang perlu dioptimalkan artinya adalah layanan after hours-nya atau layanan 24 jam di FKTP. Jadi minimal di puskesmas rawat inap atau DTP, dengan tempat perawatan,” ungkap Dicky.

Selanjutnya, penting juga menguatkan clinical pathway atau jalur klinis DBD di FKTP, supaya dokter dan perawat memahami kapan harus merujuk dan kapan dapat rawat jalan. Begitu pula mengoptimalkan sistem rujukan online PCare BPJS Kesehatan, untuk melihat pola rujukan yang terlalu cepat dan memberikan timbal balik.

“Dan hal yang juga perlu dioptimalkan adalah penambahan fasilitas point of care testing di FKTP supaya diagnosa dan monitoring itu terhadap satu kasus tidak selalu harus kalau bicara penentuan kondisi gawat darurat dalam konteks akses layanan JKN. Artinya gini, kondisi gawat darurat itu kan kondisi klinis yang memerlukan tindakan medis segera, untuk mencegah entah itu kematian, cacat permanen atau gangguan fungsi organ yang memburu,” sambung Dicky.

Tantangan di lapangan ini dinilai Dicky harus dipahami oleh keluarga pasien bahkan oleh pasien itu sendiri. Dicky menekankan bahwa penilaian sifat gawat darurat itu kompetensi dokter IGD, bukan di keluarga. Itu artinya, penting untuk memasifkan sosialisasi definisi gawat darurat berbasis kasus atau case based pada FKTP dan rumah sakit.

“Misalnya kalau untuk kasus demam berdarah ya WHO Dengue Security Checklist di IGD. Ini untuk objektifnya status gawat darurat satu pasien. Selain juga skema audit medik dan pembayaran klaim yang adil ini dimaksudkan supaya rumah sakit tidak ragu menerima pasien karena takut klaim ditolak," katanya.

"Jadi artinya ini ada di pihak BPJSnya. Skema audit medik dan pembayaran klaim yang adil. Kemudian juga perlu adanya sistem pelaporan cepat ke BPJS bagi peserta yang ditolak,” tambah Dicky.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty