tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah mengembangkan dua cara pengendalian kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia, antara lain dengan penggunaan vaksin dengue dan penerapan teknologi Wolbachia.
Namun demikian, baru-baru ini akun Facebook bernama “Lolos Dari Cairan Dajjal” (tautan) menyebarkan kabar bahwa vaksin DBD berbahaya dan mematikan. Akun itu menyebut, dalam jangka waktu 1 – 2 tahun setelah penyuntikan vaksin DBD, muncul efek antibody-dependent enhancement (ADE).
Menukil Alomedika, ADEmerupakan fenomena yang terjadi akibat virus menginfeksi makrofag, sehingga antibodi yang seharusnya menetralisir virus justru meningkatkan kemampuan virus untuk menginfeksi sel tubuh secara spesifik dan meningkatkan replikasi virus.
Unggahan turut menyertakan tangkapan layar artikel Reuters dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia berjudul “Apakah Sanofi, WHO mengabaikan sinyal peringatan mengenai vaksin demam berdarah”. Tangkapan layar lain yang dicantumkan bersumber dari berita Kaltim Post yang bertajuk “Vaksinasi DBD Sasar Anak Usia Sekolah”.
Selama 22 hari beredar (22 November – 14 Desember 2023), unggahan ini sudah mendapat 14 reaksi emoji dan dibagikan ke 2 orang. Narasi serupa juga disebarkan akun Facebook lain (tautan) dan tersebar pula di platform X (tautan).
Perlu diketahui sebelumnya bahwa berdasarkan data Kemenkes, di tahun 2022, jumlah kasus dengue mencapai 131.265 kasus yang mana sekitar 40 persen adalah anak-anak usia 0-14 tahun. Sementara, jumlah kematiannya mencapai 1.135 kasus dengan 73 persen terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Sehingga informasi mengenai vaksin merupakan hal yang vital.
Lantas, bagaimana faktanya?
Penelusuran Fakta
Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaksin Dengvaxia atau CYD-TDV adalah vaksin demam berdarah pertama yang mendapat lisensi. Obat ini pertama kali mendapat izin di Meksiko pada bulan Desember 2015 untuk digunakan pada individu berusia 9-45 tahun yang tinggal di daerah endemis, dan kini mendapat izin di 20 negara.CYD-TDV adalah vaksin demam berdarah tetravalen rekombinan hidup yang dikembangkan oleh Sanofi Pasteur dan diberikan dalam rangkaian 3 dosis dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Pada 31 Agustus 2016, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetujui izin edar vaksin Dengvaxia di Indonesia. Mengutip laman BPOM, Dengvaxia diyakini bisa mencegah penyakit dengue yang disebabkan oleh virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4. Vaksin ini diberikan kepada kelompok usia 9 – 16 tahun yang tinggal di daerah endemis.
Berselang dua tahun, BPOM melakukan evaluasi ulang terkait keamanan Dengvaxia dan menyatakan vaksin tersebut tidak boleh digunakan pada individu yang belum pernah terinfeksi virus dengue (seronegatif).
Kendati begitu, BPOM mengatakan Dengvaxia masih dapat digunakan untuk mengurangi risiko kejadian dan keparahan DBD pada anak usia 9 – 16 tahun yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi virus dengue (seropositif). BPOM sendiri belum menerima laporan efek samping vaksin Dengvaxia yang telah digunakan.
Hal ini dikonfirmasi oleh artikel mengenai Dengvaxia di jurnal medis The Lancet. Disebutkan, ketika dilisensikan, vaksin Dengvaxia disetujui untuk orang berusia 9–45 tahun, tapi tidak disetujui pada anak-anak yang lebih kecil karena kemanjuran dan keamanannya kurang baik. Hal ini dipantik oleh peningkatan rawat inap karena demam berdarah di antara mereka yang berusia 2–5 tahun.
Memang penggunaan vaksin untuk melawan demam berdarah diperumit oleh fakta bahwa virus ini ada pada empat serotipe, dan kekebalan terhadap salah satu serotipe tidak menghasilkan kekebalan yang bertahan lama terhadap tiga serotipe lainnya. Oleh karena itu, vaksin untuk virus ini mesti vaksin tetravalen.Selain itu, terinfeksi—dan mengembangkan kekebalan terhadap—satu serotipe virus tampaknya menjadi pemicu yang dapat menyebabkan pasien mengalami manifestasi penyakit yang lebih parah ketika kemudian terinfeksi dengan serotipe yang berbeda. Ini yang disebut ADE.
Temuan ini, menurut artikel itu, bisa jadi merupakan pengaruh usia atau karena individu yang belum terpapar DBD kebanyakan usianya lebih muda.
Lebih lanjut, pernyataan tambahan dari WHO memverifikasi bahwa efikasi vaksin Dengvaxia terhadap gejala dengue memang terbukti tinggi di individu yang seropositif dan berusia di atas 9 tahun, sebesar 76 persen. Tapi, untuk individu seronegatif, efikasi vaksin terhadap gejala dengue terhitung rendah, 38,8 persen. Ada pula peningkatan risiko rawat inap dan dengue parah di individu seronegatif mulai dari 30 bulan setelah dosis pertama. Jadi, secara umum WHO juga mengonfirmasi bahwa Dengvaxia sebaiknya diberikan pada individu seropositif.
Adapun tangkapan layar berita Reuters yang dicantumkan dalam unggahan membahas soal temuan adanya kemungkinan anak-anak lebih kecil dirawat di rumah sakit karena kasus DBD setelah menerima vaksin Dengvaxia. Judul asli laporan tersebut yakni “Did Sanofi, WHO ignore warning signals on dengue vaccine?” yang tayang 13 Desember 2017.
Disebutkan, vaksin Dengvaxia memang diketahui meningkatkan risiko DBD parah pada beberapa kasus individu dengan serotesting negatif atau belum pernah terinfeksi dengue sebelumnya.
Laporan Reuters menyinggung soal dukungan WHO terhadap keputusan pemerintah Filipina untuk menunda program imunisasi massal dan mengatakan pihaknya telah mulai meninjau data keamanan.
Jadi, pernyataan di unggahan tak sepenuhnya salah, memang ada risiko dari vaksin Dengvaxia, namun perlu konteks yang jelas untuk pernyataan ini. Konteksnya adalah vaksin ini direkomendasikan diberikan pada individu yang pernah mengalami DBD sebelumnya (seropositif) dan berusia di atas 9 tahun. Dampak negatif kebanyakan terlihat di individu seronegatif dan berusia di bawah 9 tahun.
Perlu diketahui pula, vaksin untuk DBD tak hanya Dengvaxia.
Kemenkes juga sedang mengembangkan vaksin QDENGA dengan sasaran usia 6 – 45 tahun. Vaksin QDENGA telah mendapat izin edar dari BPOM pada Agustus 2022 dan kini sedang menunggu rekomendasi dari Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI).
Efikasi Vaksin QDENGA untuk pencegahan demam berdarah secara keseluruhan sebesar 80,2 persen, sementara efikasinya untuk mencegah hospitalisasi akibat virus Dengue sebesar 95,4 persen. Vaksin ini menunjukkan efikasi yang baik pada subjek dengan seropositif maupun subjek dengan seronegatif.
Berdasarkan analisis terhadap data keamanan dari studi klinik fase 1, fase 2, dan fase 3 pada orang usia 6–45 tahun, vaksin ini secara keseluruhan dinyatakan aman dan dapat ditoleransi dengan baik.
BPOM mengungkap, Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/efek samping (adverse events) yang dilaporkan umumnya bersifat ringan hingga sedang, seperti nyeri pada tempat suntikan, erythema (bercak kemerahan), dan pembengkakan yang bersifat sementara dan hilang dalam 1-3 hari setelah pemberian vaksin.
Sementara laporan efek samping sistemik dari penggunaan QDENGA meliputi sakit kepala, myalgia (nyeri otot), malaise, asthenia (rasa lelah), iritabilitas, drowsiness (mengantuk), hilang napsu makan, dan demam. Tidak ada kejadian perdarahan karena Dengue serta reaksi anafilaksis yang dilaporkan setelah pemberian vaksin QDENGA dalam studi klinik.
Jadi, secara umum, tak semua vaksin DBD memiliki dampak kesehatan serius, baik bagi individu seropositif maupun seronegatif.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang sudah dilakukan, narasi soal vaksin DBD memunculkan ADE sehingga berbahaya dan mematikan bersifat missing context.
Dengvaxia masih dapat digunakan untuk mengurangi risiko kejadian dan keparahan DBD pada anak usia 9 – 16 tahun yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi virus dengue (seropositif). BPOM sendiri belum menerima laporan efek samping vaksin Dengvaxia yang telah digunakan di Indonesia.
Adapun vaksin QDENGA hanya memiliki efek samping yang umumnya bersifat ringan hingga sedang.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty